Senin, 02 Juli 2012

Operasi Kelamin ( Tugas Masailul Fiqh )


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Operasi ganti kelamin belum pernah dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat. Namun pada saat sekarang ini para dokter mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk dari penyakit “transeksual/transgender“, yaitu individu dengan gangguan psikologis laki-laki yang seperti wanita atau wanita seperti laki-laki dengan tanpa disertai kelainan fisik/ alat kelamin (genital). Atau dengan  istilah lain, bahwa sang penderita atau pasien merasakan bahwa dirinya adalah jenis lain yang bukan pada dirinya. Seakan ia merasakan bahwa jiwanya adalah perempuan padahal fisiknya adalah laki-laki, atau ia merasakan bahwa jiwanya adalah laki-laki padahal bentuk fisiknya adalah perempuan.  Antara jiwa dan fisik tidak dapat saling menyatu.

B.     Perumusan Masalah
1.      Apakah operasi kelamin itu?
2.      Bagaimanakah pandangan agama islam terhadap operasi kelamin?
3.      Adakah bentuk operasi kelamin yang diperbolehkan?









BAB II
PEMBAHASAN
Islam sejak dini telah mengajarkan kepada kita untuk memisahkan tempat tidur laki-laki dan perempuan ketika sudah berumur 10 tahun, salah satu tujuannya agar mereka tidak berkepribadian ganda dikemudian hari. Kesimpulannya, bahwa operasi merubah kelamin dari orang yang mempunyai kelamin normal dalam bentuk yang pertama seperti ini hukumnya haram, karena tidak ditemukan hubungan antara ketidak normalan fisik atau organ tubuh seseorang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang merasa kurang puas dengan keputusan Allah SWT. Mereka berusaha untuk mengubah jenis kelaminnya, entah karena merasa rendah diri dengan jenis kelaminnya, pergaulan yang salah, meniru gaya dan mode barat, kemauan hawa nafsu, kebebasan hak, atau faktor-faktor lainnya. Akibatnya, semakin banyak bermunculan manusia-manusia yang dinamakan bernama “waria” [1]. Di antara para waria tersebut ada yang masih berkelamin asli dan ada yang telah mengganti kelaminnya dengan operasi.
Operasi kelamin tersebut telah menyebar pada dekade terakhir di negara-negara barat. Faktor penyebabnya, para penderita penyakit ini tidak menerima dan tidak suka akan jenis kelamin yang telah ditetapkan Allah SWT karena salah pendidikan dan salah pergaulan sejak dini atau sebab-sebab lainnya[2].
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan operasi mengganti alat kelamin yang dilakukan dengan sengaja. MUI juga meminta kepada Kementerian Kesehatan membuat regulasi pelarangan terhadap operasi alat kelamin. "Mengubah alat kelamin dengan sengaja tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan, hukumnya haram[3]
MUI juga melarang kepada siapa saja untuk membantu melakukan operasi ganti kelamin. Organisasi profesi kedokteran diminta untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan praktik operasi ganti kelamin MUI hanya memperbolehkan penyempurnaan alat kelamin. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan. "Bagi seseorang guna menyempurnakan kelaki-lakiannya atau sebaliknya, hukumnya boleh," katanya Kedudukan hukum bagi seseorang yang telah melakukan operasi kelamin, MUI memandang, jenis kelaminnya tetap sama sebelum dilakukan operasi, meski telah ada penetapan dari pengadilan. "MA diminta membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi," tegasnya. MUI juga meminta agar ulama dan psikiater lebih aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang yang memiliki kelainan psikis yang mempengaruhi seksual, agar kembali normal[4]
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman bagi siapa saja yang secara sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah mengubah jenis kelamin mendapat sambutan. Pakar fikih Dr. Ahmad Zain An Najah, MA menilai, fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut telah ikut menutup adanya bentuk kerusakan (mafsadah).“Setidaknya, fatwa itu telah ikut menutup adanya bentuk-bentuk kerusakan yang akan terjadi di masyarakat[5]
Selama ini banyak terjadi di masyarakat beberapa kalangan yang secara seenaknya mengganti kelamin tanpa adanya alasan yang jelas. Ia mencontohkan sejumlah artis dan beberapa orang yang “mengganti” bagian tubuhnya hanya karena alasan nafsu, Ya disebut karena nafsu, karena ‘mengganti’ hanya untuk kepingin lebih cantik, ingin terkenal, atau ingin lebih nyaman saja,[6]
seseorang dapat melakukan operasi kelamin jika ada alasan medis atau karena ada penyakit yang membahayakan. Itu pun, dibolehkan atas atas rekomendasi dari para dokter muslim yang jujur.“Jadi tak sekedar dokter biasa, harus dokter muslim yang jujur,“ tambahnya. Sebab, menurutnya, secara umum, dalam hukum Islam, ‘mengganti’, memotong bagian tubuh itu hukumnya haram. Meski demikian, ia menganggap fatwa MUI itu tidak boleh dipukul rata. Sebab ada orang yang sejak lahir memiliki hormon kewanitaan dan susah diubah, ada pula pria yang berperilaku kewanita-wanitaan akibat salah asuh. Menurut Islam, bagi yang salah asuh, ia harus dikembalikan dan harus berusaha kembali dalam keadaan asli, alias pria. Sedangkan bagi yang bawaan, para ulama masih berbeda pendapat dalam penghukuman. Sebagaimana diketahui
Selasa (28/7) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi siapa saja yang secara sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah mengubah jenis kelamin. MUI bahkan meminta Pemerintah dan DPR RI membuat aturan hukum terkait dengan praktik operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin. "Mengubah jenis kelamin yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram,"[7]
MUI juga memutuskan tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin, sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar`i terkait perubahan tersebut[8]
Pandangan Syariat Islam Tentang Operasi Kelamin
Syariat Islam menilai jenis operasi (ganti kelamin) ini termasuk operasi yang haram dikarenakan beberapa argumen sebagai berikut[9]:
1.    Operasi ini termasuk mengubah ciptaan Allah                  
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلْأَنْعَـٰمِ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيْطَـٰنَ وَلِيًّۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًۭا مُّبِينًۭا ﴿١١٩﴾
Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya[351], dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya[352]". barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (QS al-Nisa [4]: 119)
[351]  menurut kepercayaan Arab jahiliyah, binatang-binatang yang akan dipersembahkan kepada patung-patung berhala, haruslah dipotong telinganya lebih dahulu, dan binatang yang seperti Ini tidak boleh dikendarai dan tidak dipergunakan lagi, serta harus dilepaskan saja. [352]  merubah ciptaan Allah dapat berarti, mengubah yang diciptakan Allah seperti mengebiri binatang. ada yang mengartikannya dengan meubah agama Allah.
Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah . Dan tidak diragukan bahwa operasi jenis kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah[10].
2.    Operasi termasuk larangan tasyabbuh kepada lawan jenis
Dalil larangan ini adalah hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai lelaki. (HR al-Bukhari: 4/38)
Hadis ini menunjukkan haramnya dan terlaknatnya kaum laki-laki menyerupai perempuan dan juga sebaliknya. Jenis operasi ini termasuk dosa besar[11] karena seorang laki-laki ketika meminta operasi ini bermaksud hendak menyerupai perempuan, dan begitu pula sebaliknya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Hikmah terlarangnya hal ini (menyerupai lawan jenis) adalah karena mengeluarkan sesuatu dari sifat yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Mahabijaksana. Hal ini diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang menyambung rambut palsu, ‘Wanita yang mengubah ciptaan Allah.’ ” [12]
Apa yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas mencakup juga masalah kita sekarang ini, karena hal ini merupakan sarana menuju keharaman. Dengan demikian maka membantunya termasuk tolong-menolong dalam dosa dan keharaman.
3.    Operasi ini mengandung pelanggaran syariat tanpa udzur
Sebab, di dalam proses operasi dokter membuka aurat laki-laki dan wanita yang jelas diharamkan oleh syariat padahal tidak ada kebutuhan mendesak. Dengan demikian, kita harus kembali kepada hukum asal keharamannya dan keharaman setiap sarananya.
4.    Operasi ini melawan ketentuan Allah
Persaksian para ahli kedokteran bahwa operasi tersebut tidak ada satu pun faktor pendorongnya dari segi kedokteran, kecuali hanya keinginan untuk melawan ketentuan Allah yang menetapkannya sebagai laki-laki atau wanita.[13]
5.    Operasi ini termasuk larangan mengebiri
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih Hijaz dan Kufah bahwasanya mengebiri anak Adam tidak halal dan tidak boleh karena termasuk merusak.” [14] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mengebiri hukumnya haram tanpa ada perselisihan, ditambah lagi adanya beberapa bahaya seperti menyiksa diri, menghilangkan kelelakian, mengubah ciptaan Allah, kufur nikmat karena kelelakian itu adalah nikmat yang besar, kalau seandainya hal itu dihilangkan berarti menyerupai perempuan dan memiliki kekurangan.” [15]
Kalau mengebiri yang berkaitan dengan satu organ tubuh (zakar) saja diharamkan, lantas bagaimana dengan operasi yang mengubah jenis kelamin semua anggota tubuh manusia. Tentu saja hal itu lebih tidak boleh dan lebih haram hukumnya. Oleh karena itu, tidak boleh dokter atau siapa pun baik laki-laki maupun perempuan melakukan operasi ini.
6.    Operasi ini termasuk penipuan
Penipuan jelas diharamkan dalam Islam, sedangkan perubahan jenis kelamin termasuk penipuan yang sangat nyata. Bagaimanakah seandainya ada seorang yang ingin melamarnya padahal dia tidak tahu hakikatnya?! Apalagi wanita (pria yang berganti kelamin menjadi wanita,) biasanya dalam kondisi seperti itu tidak bisa melahirkan, bukankah ini suatu penipuan?!
7.    Operasi ini membawa bahaya yang sangat banyak
Dalam ajaran Islam, kita dilarang untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain. Operasi ini dengan fakta kedokteran sangat berbahaya dan tidak memberikan manfaat. Apalagi hal itu juga akan mempersulit seseorang dalam masalah kewajiban agama, sebab dalam Islam ada beberapa kewajiban yang berbeda antara lelaki dan perempuan.
Dengan argumen-argumen di atas, operasi kelamin jenis ini tidak diragukan lagi keharamannya. Maka tidak boleh siapa pun bantu-membantu di dalamnya.
Apa yang kami paparkan di atas adalah bagi seorang yang sehat dan jelas status kelaminnya. Namun, bagaimanakah dengan seorang yang tidak jelas kelaminnya baik dengan memiliki alat kelamin pria dan wanita sekaligus, tidak memiliki alat pria dan wanita sama sekali, dan sebagainya. Mereka dalam kitab fikih biasa disebut dengan khunsa[16]. Orang yang model seperti ini ada dua keadaan:
1.    Seorang yang memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol untuk digolongkan kepada salah satu jenis kelamin baik pria atau wanita.
2.    Seorang yang tidak memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol untuk digolongkan kepada salah satu jenis kelamin baik pria atau wanita.
Bagaimana pandangan agama terhadap dua golongan ini?! Jawabannya, melakukan operasi kelamin untuk dua golongan ini adalah boleh, berdasarkan argumen-argumen berikut:
1.    Dua macam tadi termasuk penyakit yang diperbolehkan syariat Islam untuk diobati berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menganjurkan pengobatan dan menghilangkan penyakit. Dan ini sama sekali bukanlah termasuk mengubah ciptaan Allah karena tujuannya bukanlah untuk kepentingan selera hawa nafsu melainkan untuk menghilangkan kecacatan dan mengembalikan badan kepada bentuk yang positif.
2.    Syariat Islam datang dengan membawa maslahat dan menghilangkan mudarat sebagaimana hal ini termasuk kaidah dasarnya yang sangat agung. Dan sebagaimana dimaklumi bersama bahwa membiarkan dua golongan tadi dalam penyakit mereka tanpa pengobatan berarti membiarkan mereka dalam mudarat, kesusahan, dan beban mental, sebab khunsa (banci) adalah cacat dalam pandangan manusia dan dalam hukum fikih. Oleh karena itu, para fukaha menyebutkan bahwa budak yang banci adalah cacat sehingga boleh untuk dikembalikan[17] dan mereka juga menegaskan bahwa apabila salah seorang dari pasangan suami istri terbukti banci maka boleh bagi yang lain untuk mundur dari pernikahan.[18]
3.    Syariat Islam terkadang memberikan kewajiban tertentu pada jenis kelamin tertentu, seperti mewajibkan bagi kaum lelaki untuk salat Jumat, jihad, dan sebagainya, sebagaimana mewajibkan bagi perempuan untuk berjilbab dan sebagainya. Maka orang yang khunsa akan bergantung hukumnya dan tidak jelas, berbeda halnya apabila diobati dan dipositifkan maka akan jelas perkaranya.
Namun, perlu diperhatikan bersama bahwa perbolehan operasi jenis ini terikat dengan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1.    Adanya penelitian dari para ahli kedokteran terlebih dahulu tentang kebenaran adanya kebancian pada pasien tersebut karena bisa jadi hanya sekadar sebagai alasan saja.
2.    Operasi ini hanyalah cara satu-satunya, tidak ditemukan cara selain operasi. Jika memang ditemukan cara lain maka cara itulah yang diprioritaskan.
3.    Menurut dugaan kuat operasi ini membawa hasil yang positif sebagaimana diharapkan yaitu kejelasan status jenis kelamin pasien setelah operasi.[19]







KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.    Mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya adalah haram. Maka tidak boleh bagi dokter untuk membantu operasi ini.
2.    Seorang khunsa (banci) yang jenis kelaminnya ada yang lebih jelas atau tidak jelas maka boleh disempurnakan menjadi positif setelah melalui penelitian para dokter.[20]














DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Maktabah Shahabah, Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah. Emirat, cet. ketiga, 1424 H.
2. Dr. Muhammad Khalid Manshur. Dar Nafais.  Al-Ahkām al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi al-Nisā’. Yordania, cet kedua 1424 H.
3. Dr. Shalih bin Muhammad al-Fauzan. Dar Tadmuriyyah,  Al-Jirāhah al-Tajmīliyyah. KSA, cet. pertama, 1428 H.
4. Dr. Zarwati Rabih, Dar Ibn Hazm. Taghyīr Khalqillāh., Beirut, cet. pertama, 1428 H.
5. KH Ma’ruf Amin dkk. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, edisi ketiga, cetakan CitravisiADVERTSIGN. Jakarta 2010.














[1] Waria (akronim): wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, 2005)
[2] Jirāhah al-Tajmīl Bayna al-Mafhūm al-Thibbiy wa al-Mumārasah karya dr. Majid Abdul Majid Thahbub hlm. 424
[3] Sekertaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh Hal ini disampaikan Niam saat membacakan 7 fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman, Jakarta Barat, Selasa (27/7/2010)
[4] Sekertaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh Hal ini disampaikan Niam saat membacakan 7 fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman, Jakarta Barat, Selasa (27/7/2010)
[5] Hidayatullah.com, Rabu (28/7) siang
[6] Pakar fikih Dr. Ahmad Zain An Najah doktor fikih lulusan Al-Azhar
[7] Sekretaris Komisi C yang membahas tentang fatwa Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta
[8] Musyawarah Nasional (Munas) VIII
[9] Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah hlm. 134–136, al-Ahkām al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi al-Nisā’ hlm. 203–205, al-Jirāhah al–Tajmīliyyah hlm. 537–543 yang diterjemahan oleh, Shofwu Mikwanil Muttaqin bin Aunur Rafiq - jazāhu-Allahu khayran
[10] Taghyīr Khalqillah karya Dr. Zarwati Rabih.
[11] Tafsir al-Qurthubiy: 5/6, Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah: 11/650-651, al-Kabair karya al-Dzahabi hlm.7
[12] Fath al-Bariy karya Ibnu Hajar: 1/333
[13] dr. Majid Abdul Majid Thahbub (Jirāhah al-Tajmīl Bayna al-Mafhūm al-Thibbiy wa al-Mumārasah hlm. 424)
[14] Tafsīr al-Qurthubiy: 5/391
[15] Fath al-Bāriy: 9/119
[16]  (Arab: خنثى /khuntsā/) ‘banci’
[17] Rawdhah al-Thālibīn: 3/461, al-Asybah wa al-Nazhāir hlm. 424 dan al-Mughniy: 6/236
[18] Mughni al-Muhtāj: 3/203, al-Mughniy: 10/59, Kasyaf al-Qanā’: 5/110
[19] al-Jirāhah al-Tajmīliyyah hlm. 544–564 dan al-Ahkām al-Thibbiyyah hlm. 207–208
[20] Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 561, keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islāmiy di Mekah, 13–20/7/1409 H, keputusan Dar al-Iftā’ al-Mishriyyah, dan keputusan muktamar Islam tentang kedokteran 20/8/1407 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar