BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Operasi ganti kelamin belum pernah
dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat. Namun pada saat sekarang
ini para dokter mengatakan bahwa hal itu merupakan bentuk dari penyakit “transeksual/transgender“,
yaitu individu dengan gangguan psikologis laki-laki yang seperti
wanita atau wanita seperti laki-laki dengan tanpa disertai kelainan fisik/ alat
kelamin (genital).
Atau dengan istilah lain, bahwa sang penderita atau pasien merasakan
bahwa dirinya adalah jenis lain yang bukan pada dirinya. Seakan ia merasakan
bahwa jiwanya adalah perempuan padahal fisiknya adalah laki-laki, atau ia
merasakan bahwa jiwanya adalah laki-laki padahal bentuk fisiknya adalah
perempuan. Antara jiwa dan fisik tidak dapat saling menyatu.
B.
Perumusan Masalah
1.
Apakah operasi kelamin itu?
2.
Bagaimanakah pandangan agama islam terhadap operasi kelamin?
3.
Adakah bentuk operasi kelamin yang diperbolehkan?
BAB II
PEMBAHASAN
Islam
sejak dini telah mengajarkan kepada kita untuk memisahkan tempat tidur
laki-laki dan perempuan ketika sudah berumur 10 tahun, salah satu tujuannya
agar mereka tidak berkepribadian ganda dikemudian hari. Kesimpulannya,
bahwa operasi merubah kelamin dari orang yang mempunyai kelamin normal dalam
bentuk yang pertama seperti ini hukumnya haram, karena tidak ditemukan hubungan
antara ketidak normalan fisik atau organ tubuh seseorang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang merasa kurang puas
dengan keputusan Allah SWT. Mereka berusaha untuk mengubah jenis kelaminnya,
entah karena merasa rendah diri dengan jenis kelaminnya, pergaulan yang salah,
meniru gaya dan mode barat, kemauan hawa nafsu, kebebasan hak, atau
faktor-faktor lainnya. Akibatnya, semakin banyak bermunculan manusia-manusia
yang dinamakan bernama “waria” [1].
Di antara para waria tersebut ada yang masih berkelamin asli dan ada yang telah
mengganti kelaminnya dengan operasi.
Operasi kelamin tersebut telah menyebar pada dekade terakhir di
negara-negara barat. Faktor penyebabnya, para penderita penyakit ini tidak
menerima dan tidak suka akan jenis kelamin yang telah ditetapkan Allah SWT karena
salah pendidikan dan salah pergaulan sejak dini atau sebab-sebab lainnya[2].
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan operasi mengganti alat kelamin yang dilakukan
dengan sengaja. MUI juga meminta kepada Kementerian Kesehatan membuat regulasi
pelarangan terhadap operasi alat kelamin. "Mengubah alat kelamin dengan
sengaja tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan, hukumnya haram[3]
MUI
juga melarang kepada siapa saja untuk membantu melakukan operasi ganti kelamin.
Organisasi profesi kedokteran diminta untuk membuat kode etik kedokteran
terkait larangan praktik operasi ganti kelamin MUI hanya memperbolehkan
penyempurnaan alat kelamin. Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin
juga diperbolehkan. "Bagi seseorang guna menyempurnakan kelaki-lakiannya
atau sebaliknya, hukumnya boleh," katanya Kedudukan hukum bagi seseorang
yang telah melakukan operasi kelamin, MUI memandang, jenis kelaminnya tetap
sama sebelum dilakukan operasi, meski telah ada penetapan dari pengadilan. "MA
diminta membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan
penggantian jenis kelamin dari hasil operasi," tegasnya. MUI juga meminta
agar ulama dan psikiater lebih aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang
yang memiliki kelainan psikis yang mempengaruhi seksual, agar kembali normal[4]
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman bagi siapa saja yang secara
sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah mengubah
jenis kelamin mendapat
sambutan. Pakar fikih Dr. Ahmad Zain An Najah, MA menilai, fatwa yang
dikeluarkan MUI tersebut telah ikut menutup adanya bentuk kerusakan (mafsadah).“Setidaknya,
fatwa itu telah ikut menutup adanya bentuk-bentuk kerusakan yang akan terjadi
di masyarakat[5]
Selama
ini banyak terjadi di masyarakat beberapa kalangan yang secara seenaknya
mengganti kelamin tanpa adanya alasan yang jelas. Ia mencontohkan sejumlah
artis dan beberapa orang yang “mengganti” bagian tubuhnya hanya karena alasan
nafsu, Ya disebut karena nafsu, karena ‘mengganti’ hanya untuk kepingin lebih
cantik, ingin terkenal, atau ingin lebih nyaman saja,[6]
seseorang
dapat melakukan operasi
kelamin jika ada alasan medis atau karena
ada penyakit yang membahayakan. Itu pun, dibolehkan atas atas rekomendasi dari para
dokter muslim yang jujur.“Jadi tak sekedar dokter biasa, harus dokter muslim
yang jujur,“ tambahnya. Sebab, menurutnya, secara umum, dalam hukum Islam,
‘mengganti’, memotong bagian tubuh itu hukumnya haram. Meski demikian, ia
menganggap fatwa MUI itu tidak boleh dipukul rata. Sebab ada orang yang sejak
lahir memiliki hormon kewanitaan dan susah diubah, ada pula pria yang
berperilaku kewanita-wanitaan akibat salah asuh. Menurut Islam, bagi yang salah
asuh, ia harus dikembalikan dan harus berusaha kembali dalam keadaan asli,
alias pria. Sedangkan bagi yang bawaan, para ulama masih berbeda pendapat dalam
penghukuman. Sebagaimana diketahui
Selasa
(28/7) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi siapa saja
yang secara sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah mengubah jenis kelamin.
MUI bahkan meminta Pemerintah dan DPR RI membuat aturan hukum terkait dengan
praktik operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin. "Mengubah jenis
kelamin yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin,
hukumnya haram,"[7]
MUI
juga memutuskan tidak boleh menetapkan keabsahan status
jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin, sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar`i terkait perubahan
tersebut[8]
Pandangan Syariat Islam Tentang
Operasi Kelamin
Syariat Islam menilai jenis operasi (ganti kelamin) ini termasuk operasi
yang haram dikarenakan beberapa argumen sebagai berikut[9]:
1. Operasi ini termasuk mengubah ciptaan Allah
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ
وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلْأَنْعَـٰمِ
وَلَءَامُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ
ٱلشَّيْطَـٰنَ وَلِيًّۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًۭا مُّبِينًۭا
﴿١١٩﴾
Dan Aku benar-benar akan
menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan
menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka
benar-benar memotongnya[351], dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah),
lalu benar-benar mereka meubahnya[352]". barangsiapa yang menjadikan
syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian
yang nyata. (QS al-Nisa [4]: 119)
[351] menurut kepercayaan Arab
jahiliyah, binatang-binatang yang akan dipersembahkan kepada patung-patung
berhala, haruslah dipotong telinganya lebih dahulu, dan binatang yang seperti
Ini tidak boleh dikendarai dan tidak dipergunakan lagi, serta harus dilepaskan
saja. [352] merubah ciptaan Allah dapat
berarti, mengubah yang diciptakan Allah seperti mengebiri binatang. ada yang
mengartikannya dengan meubah agama Allah.
Ayat ini menunjukkan haramnya mengubah ciptaan Allah . Dan tidak diragukan
bahwa operasi jenis kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah[10].
2. Operasi termasuk larangan tasyabbuh kepada
lawan jenis
Dalil larangan ini adalah hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari jalan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ
وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat kaum lelaki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang
menyerupai lelaki. (HR al-Bukhari: 4/38)
Hadis ini menunjukkan haramnya dan terlaknatnya kaum laki-laki menyerupai
perempuan dan juga sebaliknya. Jenis operasi ini termasuk dosa besar[11]
karena seorang laki-laki ketika meminta operasi ini bermaksud hendak menyerupai
perempuan, dan begitu pula sebaliknya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Hikmah terlarangnya
hal ini (menyerupai lawan jenis) adalah karena mengeluarkan sesuatu dari sifat
yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Mahabijaksana. Hal ini diisyaratkan dalam
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang
menyambung rambut palsu, ‘Wanita yang mengubah ciptaan Allah.’ ” [12]
Apa yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di atas mencakup juga masalah
kita sekarang ini, karena hal ini merupakan sarana menuju keharaman. Dengan
demikian maka membantunya termasuk tolong-menolong dalam dosa dan keharaman.
3. Operasi ini mengandung pelanggaran syariat tanpa udzur
Sebab, di dalam proses operasi dokter membuka aurat laki-laki dan wanita yang
jelas diharamkan oleh syariat padahal tidak ada kebutuhan mendesak. Dengan
demikian, kita harus kembali kepada hukum asal keharamannya dan keharaman
setiap sarananya.
4. Operasi ini melawan ketentuan Allah
Persaksian para ahli kedokteran bahwa operasi tersebut tidak ada satu pun
faktor pendorongnya dari segi kedokteran, kecuali hanya keinginan untuk melawan
ketentuan Allah yang menetapkannya sebagai laki-laki atau wanita.[13]
5. Operasi ini termasuk larangan mengebiri
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para ahli fikih Hijaz dan Kufah bahwasanya mengebiri anak
Adam tidak halal dan tidak boleh karena termasuk merusak.” [14]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mengebiri hukumnya haram tanpa ada
perselisihan, ditambah lagi adanya beberapa bahaya seperti menyiksa diri, menghilangkan
kelelakian, mengubah ciptaan Allah, kufur nikmat karena kelelakian itu adalah
nikmat yang besar, kalau seandainya hal itu dihilangkan berarti menyerupai
perempuan dan memiliki kekurangan.” [15]
Kalau mengebiri yang berkaitan dengan satu organ tubuh (zakar) saja
diharamkan, lantas bagaimana dengan operasi yang mengubah jenis kelamin semua
anggota tubuh manusia. Tentu saja hal itu lebih tidak boleh dan lebih haram
hukumnya. Oleh karena itu, tidak boleh dokter atau siapa pun baik laki-laki
maupun perempuan melakukan operasi ini.
6. Operasi ini termasuk penipuan
Penipuan jelas diharamkan dalam Islam, sedangkan perubahan jenis kelamin
termasuk penipuan yang sangat nyata. Bagaimanakah seandainya ada seorang yang
ingin melamarnya padahal dia tidak tahu hakikatnya?! Apalagi wanita (pria yang
berganti kelamin menjadi wanita,) biasanya dalam kondisi seperti itu tidak bisa
melahirkan, bukankah ini suatu penipuan?!
7. Operasi ini membawa bahaya yang sangat banyak
Dalam ajaran Islam, kita dilarang untuk membahayakan diri sendiri dan orang
lain. Operasi ini dengan fakta kedokteran sangat berbahaya dan tidak memberikan
manfaat. Apalagi hal itu juga akan mempersulit seseorang dalam masalah
kewajiban agama, sebab dalam Islam ada beberapa kewajiban yang berbeda antara
lelaki dan perempuan.
Dengan argumen-argumen di atas, operasi kelamin jenis ini tidak diragukan
lagi keharamannya. Maka tidak boleh siapa pun bantu-membantu di dalamnya.
Apa yang kami paparkan di atas adalah bagi seorang yang sehat dan jelas
status kelaminnya. Namun, bagaimanakah dengan seorang yang tidak jelas
kelaminnya baik dengan memiliki alat kelamin pria dan wanita sekaligus, tidak
memiliki alat pria dan wanita sama sekali, dan sebagainya. Mereka dalam kitab
fikih biasa disebut dengan khunsa[16].
Orang yang model seperti ini ada dua keadaan:
1. Seorang yang memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol
untuk digolongkan kepada salah satu jenis kelamin baik pria atau wanita.
2. Seorang yang tidak memiliki tanda-tanda yang lebih
menonjol untuk digolongkan kepada salah satu jenis kelamin baik pria atau
wanita.
Bagaimana pandangan agama terhadap dua golongan ini?! Jawabannya, melakukan
operasi kelamin untuk dua golongan ini adalah boleh, berdasarkan argumen-argumen
berikut:
1. Dua macam tadi termasuk penyakit yang diperbolehkan
syariat Islam untuk diobati berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menganjurkan
pengobatan dan menghilangkan penyakit. Dan ini sama sekali bukanlah termasuk
mengubah ciptaan Allah karena tujuannya bukanlah untuk kepentingan selera hawa
nafsu melainkan untuk menghilangkan kecacatan dan mengembalikan badan kepada
bentuk yang positif.
2. Syariat Islam datang dengan membawa maslahat dan
menghilangkan mudarat sebagaimana hal ini termasuk kaidah dasarnya yang sangat
agung. Dan sebagaimana dimaklumi bersama bahwa membiarkan dua golongan tadi
dalam penyakit mereka tanpa pengobatan berarti membiarkan mereka dalam mudarat,
kesusahan, dan beban mental, sebab khunsa (banci) adalah cacat dalam pandangan
manusia dan dalam hukum fikih. Oleh karena itu, para fukaha menyebutkan bahwa
budak yang banci adalah cacat sehingga boleh untuk dikembalikan[17]
dan mereka juga menegaskan bahwa apabila salah seorang dari pasangan suami
istri terbukti banci maka boleh bagi yang lain untuk mundur dari pernikahan.[18]
3. Syariat Islam terkadang memberikan kewajiban tertentu
pada jenis kelamin tertentu, seperti mewajibkan bagi kaum lelaki untuk salat
Jumat, jihad, dan sebagainya, sebagaimana mewajibkan bagi perempuan untuk
berjilbab dan sebagainya. Maka orang yang khunsa akan bergantung hukumnya dan
tidak jelas, berbeda halnya apabila diobati dan dipositifkan maka akan jelas
perkaranya.
Namun, perlu diperhatikan bersama bahwa perbolehan operasi jenis ini
terikat dengan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Adanya penelitian dari para ahli kedokteran terlebih
dahulu tentang kebenaran adanya kebancian pada pasien tersebut karena bisa jadi
hanya sekadar sebagai alasan saja.
2. Operasi ini hanyalah cara satu-satunya, tidak
ditemukan cara selain operasi. Jika memang ditemukan cara lain maka cara itulah
yang diprioritaskan.
3. Menurut dugaan kuat operasi ini membawa hasil yang
positif sebagaimana diharapkan yaitu kejelasan status jenis kelamin pasien
setelah operasi.[19]
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan
atau sebaliknya hukumnya adalah haram. Maka tidak boleh bagi dokter untuk
membantu operasi ini.
2. Seorang khunsa (banci) yang jenis kelaminnya ada yang
lebih jelas atau tidak jelas maka boleh disempurnakan menjadi positif setelah
melalui penelitian para dokter.[20]
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Maktabah
Shahabah, Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah. Emirat, cet. ketiga,
1424 H.
2. Dr. Muhammad Khalid Manshur. Dar Nafais. Al-Ahkām al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi
al-Nisā’. Yordania, cet kedua 1424 H.
3. Dr. Shalih bin Muhammad al-Fauzan. Dar Tadmuriyyah, Al-Jirāhah
al-Tajmīliyyah. KSA, cet. pertama, 1428 H.
4. Dr. Zarwati Rabih, Dar Ibn Hazm. Taghyīr Khalqillāh., Beirut,
cet. pertama, 1428 H.
5. KH Ma’ruf Amin dkk. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
edisi ketiga, cetakan CitravisiADVERTSIGN. Jakarta 2010.
[1]
Waria (akronim): wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku
seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi III, 2005)
[2]
Jirāhah al-Tajmīl Bayna al-Mafhūm al-Thibbiy wa al-Mumārasah karya dr. Majid Abdul Majid Thahbub hlm. 424
[3]
Sekertaris
Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh Hal ini disampaikan Niam saat membacakan
7 fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman,
Jakarta Barat, Selasa (27/7/2010)
[4]
Sekertaris
Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh Hal ini disampaikan Niam saat membacakan
7 fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman,
Jakarta Barat, Selasa (27/7/2010)
[6] Pakar fikih Dr.
Ahmad Zain An Najah doktor fikih lulusan Al-Azhar
[7] Sekretaris
Komisi C yang membahas tentang fatwa Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta
[8] Musyawarah
Nasional (Munas) VIII
[9]
Ahkām al-Jirāhah al-Thibbiyyah hlm. 134–136, al-Ahkām
al-Thibbiyyah al-Muta’alliqah Bi al-Nisā’ hlm. 203–205, al-Jirāhah
al–Tajmīliyyah hlm. 537–543 yang diterjemahan oleh, Shofwu Mikwanil
Muttaqin bin Aunur Rafiq - jazāhu-Allahu khayran
[11]
Tafsir al-Qurthubiy: 5/6, Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah:
11/650-651, al-Kabair karya al-Dzahabi hlm.7
[12] Fath
al-Bariy karya Ibnu Hajar: 1/333
[13] dr. Majid Abdul Majid Thahbub (Jirāhah al-Tajmīl Bayna al-Mafhūm
al-Thibbiy wa al-Mumārasah hlm. 424)
[16] (Arab: خنثى /khuntsā/) ‘banci’
[20]
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 561, keputusan
Majma’ al-Fiqh al-Islāmiy di Mekah, 13–20/7/1409 H, keputusan Dar al-Iftā’
al-Mishriyyah, dan keputusan muktamar Islam tentang kedokteran 20/8/1407 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar