SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MADRASAH
Tugas Terstruktur Mata Kuliah :
Kurikulum PAI di Madrasah
Dosen Pembimbing : Drs.
H. Rahmad Raharjo, M. Ag
Disusun Oleh :
Nama : 1. Ahmad Saeful
Ansor NIM.
2103943
2. Muhammad Syaeful Abdulloh NIM. 2103958
3. Ismiati NIM.
2104158
4. Sayidatur Rosyidah NIM.
2103966
Prog./ Kelas : S1 / PAI / D
Semester : IV (EMPAT)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MADRASAH” dengan lancar. Dalam
penulisan makalah ini kami tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terimakasih kepada Drs. H.
Rahmad Raharjo, M. Ag. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Kurikulum Perkembangan Pendidikan Islam, dan semua pihak yang telah membantu selesainya penyusunan makalah ini.
Kami sadar bahwa
sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan dan kehilafan. Oleh karena itu kami selaku penyusun
makalah ini mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan,
selanjutnya kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Kebumen, Maret 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Membahas masalah Konsepsi Pendidikan Islam dalam rangaka Pendidikan
Nasional, harus dimulai dari konsep manusia secara integral dan utuh (kaffah).
Ketetapan megkaji dan merumuskan masalah ini akan memerlukan landasan yang kuat
dan tepat untuk membahas masalah filsafat, dasar dan tujuan pendidikan, yang
selanjutnya dijadikan pangkal tolak ukur dalam menyatukan dan mengaitkan
hubungan, sebagai bagian integral dari mata rantai dalam kesatuan Sistem
Pendidikan Nasional.
Konsepsi pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi tentang
kejadian manusia yang sejak awal kejadian manusia yang dari sejak awal
kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai ciri dasar dengan dibekali
potensi hidayah akal dan ilmu, di samping pada sisi lain menjalankan misi untuk
mengabdi dalam arti yang luas sebagai khalifah di bumi memikul amanat dan
tanggung jawab. Oleh karena itu, pengertian pendidikan menurut ajaran Islam adalah
merupakan usaha dasar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan segala potensi yang dianugrahkan Allah kepadanya agar mampu mengemban
amanat dan tanggung jawabnya sebagai
khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya terhadap Allah.
Konsepsi Pendidikan Islam yang demikian harus dilakukan terhadap
dua hal:
a.
Memperoleh
kejelasan tentang pengertian dan konsepsi pendidikan Islam, yang secara
mendasar harus diletakan pada kejadian dan misi manusia sebagai khalifah Allah
di muka bumi ini.
b.
Menempatkan
kelembagaan Pendidikan Islam dengan isi program pendidikannya bukan hanya
sempit dalam pengertiannya, tetapi juga relevansinya dengan kepentingan umat
Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern, tuntutan perkembangan ilmu dan
teknologi serta kebutuhan pembangunan di segala bidang.
B.
Rumusan Masalah
Madrasah adalah salah satu pendidikan Islam, dari latar belakang
masalah di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah kelahiran madrasah di dunia Islam berikut pertumbuhan dan perkembangan
madrasah?
2.
Bagaimana
madrasah pada awal pertumbuhannya?
BAB II
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN MADRASAH
A. Institusi
Pendidikan Islam
Salah satu sistem yang
memungkinkan peruses kependidikan islam berlangsung secara konsisen dan
berkesinambungan dalam angka mencapai tujuannya adalah intitusi atau
lembaga pendidikan islam. Dalam sejarah
pendidikan islam sejak nabi melaksanakan tugas agama secara aktif ,di kota
mekah telah didirikan lembaga di ,ana nabi memberikan pelajaran tentang agama
islam secara menyeluruh di rumah rumah dan dimasjid –masjid. Salah satu
rumah yang terkenal dijadikan tempat berlangsungya pendidikan islam ialah Dar
al-Arqam di mekah dan dimasjid yang
terkenal dipergunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar ialah yang sekarang
terkenalMasjid al–Haram di mekah dan di masjid Annabawy di Madinah
al-Munawwarah .Di dlam masjid inilah berlangsungya peroses belajar mengajar berkelompok dalam halaqah dengan masing masing gurunya yang
terdiri dari para sahabat nabi .
Sejalan dengan semakin perkembangaya jumlah pemeluk islam dan juga
keinginan untuk memperoleh efektifitas belajar mengajar yang cukup
memadai,berpikirlah baru para sahabat dan tabiin tetang pendidikan yang
berkelanjutan sampai munculnya kerajaan islam di timur tengah dan sepanyol. Mereka
mendirikan berbagai model kelembagaan pendidikan islam yang lebih teratur dan
terarah dalam kegiatan belajar dan mengajar secara klasikal yang berbentuk
madrasah.
Mula mula berdiri lembaga pendidikan
yang bernama kuttab salah satu lembaga pendidikan dasar yang di dalamnya di
ajarkan cara membaca dan menulis huruf Al Qu’an serta pengajaran ilmu agama serta ilmu al Qur’an .
Orang yang pertama kali menulis belajar menulis dari penduduk mekah
adalah Sufyan bin Umayah dan Abu Qais bin abdul manaf bin sahrah bin Kilab,
sedangkan pengajaranya ialah Basyar bin abdul malik yang pernah belajar menulis
di irak .Dari mekalah inilah kegiatan belajar menulis dan membaca Al –quran
menyebar keseluruh penjuru jazirah Arab .Motivasi utama dari kegiatan belajar
menulis dan membaca Alquran bersumberkan dari wahyu perama yang diturunkan kepada rosululloh yang tersebut dalam Surah
Al ‘Alaq.
Dari kemampuan menulis dan membaca inilah umat islam memperoleh
sarana yang ampuh untuk belajar ilmu
ilmu yang lain .Oleh karna itu , membaca dan menulis dapat di pandang sebagai
sumbernya ilmu pengetahauan manusia yang semakin berkembang .
Perkembangan ilmu pengetahuan islam dapat kita sajikan dalam berbagai
periode dari daulah Umayyah , daulah abbasiyyah ,daulah fathimiyyah , dan
Daulah Ussmaniyyah pada abad abad ke-4 H
atau 10 Masehi .Pengaruhnya sampai abad abad kemudian tampak jelas dalam
perkembangan peradaban bangsa bangsa di Negara neara Barat seperti sepayol ,
perancis , dan sebagainya .Di samping itu dapat pula dikenali para pujagaga
muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti flasafah ,kimia,astronomi
,aljabar ,kedokteran ,dan arsitektur dalam sejarah kebudayaan islam pada abad
abad tersebut di atas .
Bahkan sarjana
sejarah berkebangsaan inggris ,
Philip k. hitti dalam tulisannya menunjukan wakta tentang kemajuan umat islam
pada abad pertengahan dengan menyatakan “Yang tercipta oleh bangsa Arab bukan hanya suatu kerajaan
,melainkan juga suatu kebudayaan .Merekaadalah ahli waris dari kebudayaan lama yang berkembang di tepi sungai Tigris dan Eurat serta di
lembah sungai Nil dan pesisir timur laut tengah . kemudian sifat sifat utama
dari kebudayaan yunani –romawi juga di pelajari dan di kembangkan . oleh karena
itu, merekalah yang memberikan bayak pengaruh kebudayaan ini ke Benua eropa
pada abad pertengahan , sehingga Eropa terbangun dari tidurya dan berkembanglah
renaissance modern.
Dalam permulaan abad pertengahan itu tidak ada suatu bangsa pun yang
besar subangannya bagi proses kemajuan manusia kecuali bangsa arab yang saat
ini sudah asyik mempelajari falasafah Arisoteles sementara Kare Agung (kaisar nama l prancis
saat itu)berserta pembesar pembesarnya masih asik belajar menuliskan namanya. Para
mahasiswa di cordova (Spanyol Islam ),sebuah kota yang memiliki tujuh belas
perpustakaan dan satu antaranya mempunyai lebih dari 100.000 buah buku ,gemar
sekali mandi pemandian yang inda indah
,semantara itu pada saat yang sama mahasiswa
mahasiswa Universitas Oxford (inggris )
Kemajuan peradaban umat islam pada masa itu mrupakan hasil dari
kemampuan membaca dan menulis yang pertama
tama di perintahkan oleh oleh Alloh
melalui wahyu kepada utusa Nya Muhammad saw.Kegiatan belajar mengajar
yang diawali dengan membaca dan menulis itu ,akhirnya mendorong umat islam untuk belajar dalam bidang bidang ilmu pengetahuan di luar ilmu agama, di
samping karna kebutuhan hidup yang semakin berkembang, terutama tentang ilmu
alam, serta kemasyarakatan, dan falsafah .
Oleh
karena itu sistem kuttab tidak mampu menampung aspirasi dari kebutuhan belajar
yang lebih luas dan dalam maka bentuklah
system pendidikan klasikal yang di kenal dengan madrasah atau sekolah. Madrasah yang
pertama ialah Madrasah an Nidhamiyah yang di dirikan oleh Nidham al-Mulki
seorang Menteri Sultan Malik Syah as
Seljuqy pada tahun 460-475 Hdi kota Baghdad dan Naesabur dengan mengunakan namaya. Imam al Gozalai
pernah menjadi guru madrasah tersebut di Baghdad kemudian di Naesabur ,pada
akhir abad ke -5m.
Kemudian disusul berdirinya madrasah – madrasah lainya seperti Madrasah
an-Nasiriyah ,Madrasah al –Qumhiyah dan as- saefi’ yah dari daulah Ayyubijah .Pada akhirnya bermunjulan berbagai
jenis madrasah tersebutr di timur tengah seperti di Syiria,terkenal madrasah
an-Nuriyah yang didirikan oleh nuruddin Zangky. Di mesir dengan mandrasah al- Kamaliyah (didirikan oleh malik al
–kamil al-Ayyub ). Madrasah al dhahiriyah di mana fikih mazhab as –Sayfi’y dan
Hanafy di ajarkan .
Madrasah al
Manshuriyah merupakan madrasah yang mengajarkan fikih dari keempat mazhab,
hadits, serta ilmu kedokteran. Masdrasah an Nashiriyah mengajarkan keempat
mazhab fikih begitu juga madrasah sultan hasan yang yang didirikan pada tahun
758 M terkenal karena besarnya bangunan
, arsitektur nya yang indah serta bentuknya yang hebat yang tak ada tandinganya
di seluruh dunia islam. Madrasah ini didirikan
pada zaman Kerajaan Malik di Mesir .
Pada setiap madrasah
yang di dirikan itu selalu di lengkapai dengan pepustakaan dengan beribu ribu jilid buku di dalamnya .
system madrasah (klasikal ), pendidikan islam berkembang pula dalam institusi
kependidikan yang disebut Zawiyah yaitu
suatu tempat belajar di sudut masjid (menurut asal usulnya ). Kemudian pengetian zawiyah ini mejadi meluas sehingga akhirnya di kenal
sebagai “tempat belajar yang terpisah dari
bangunan masjid “yang hampir menyamai
fungsi madrasah, oleh karena zawiyah ini tidak lagi di gunakan untuk
melakukan itikaf , atau taabbud terutama bagi kaum sufi atau tarikat,dan
akhirnya menjadi tempat mengajarkan al-Qur’an
dan agama serta dasar-dasar ilmu
pengetahuan umum. Fungsi Zawiyah
hampir
sama dengan fungsi madrasah, lembaga ini berkembang pada abad ke-8 H di Negara
Negara Maghribi (Afrika Utara).
Institusi kependidikan islam berkembang dalam bentuk formal (madrasah) semua
jenjang sampai dengan Universitas (al-Jamiyah) dan
bentuk nonformal (masjelis taklim, pesantren) Dan
pendidikan individual (langsung dengan guru, ulama).
B. Madrasah
Nizamiyah
Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang
panjang dan berkembang seiring dengan laju peradaban Islam, Kedatangan Islam
mengantarkan transformasi yang sangat berarti bagi masyarakat Arab. Sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Arab belum memiliki model pendidikan formal yang
sistematis. Mereka hidup dalam suatu tatanan yang disebut dengan Jahiliyyah.
Oleh karena itu, kehadiran Islam, dengan segala usaha pendidikannya, menjadi
semacam ‘pencerahan’ bagi masyarakat Arab dan juga bagi peradaban dunia pada
umumnya.[1]
Pada mana yang paling awal, pendidikan Islam
bersifat sangat sederhana dan baru dilaksanakan secara informal di rumah-rumah,
kuttab dan masjid. Pada perkembangan selanjutnya, setelah masyarakat Muslim
mulai terbentuk, pendidikan diselenggarakan dalam bentuk formal, sehingga
pendidikan Islam kemudian menjadi salah satu pilar dari peradaban Islam. Dalam
hal ini, pendidikan Islam bentuk formal ditandai oleh munculnya madrasah
sebagai lembaga pendidikan dan sekaligus sebagai jalur pendidikan. Di dalam
madrasah berlangsung proses komunikasi pedagogis antara pendidik -peserta
didik, yang darinya diharapkan mengarah kepada tercapainya tujuan
instruksional. Dapat dikatakan bahwa secara historis kelahiran madrasah menjadi
lambang kebangkitan dari sistem pendidikan Islam.
Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis,
di dalam tulisan ini akan ditelusuri kelahiran madrasah dalam perkembangan
pendidikan Islam. Objek kajian ini utamanya terfokus pada madrasah Nizamiyyah
di Baghdad. Pasalnya, madrasah tersebut adalah salah satu di antara
madrasah-madrasah yang diperdebatkan oleh pemerhati sejarah pendidikan Islam.
Suatu polemik yang selalu muncul di antara
pemerhati sejarah pendidikan Islam adalah mengenai madrasah yang pertama kali
muncul dalam pendidikan Islam. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa madrasah
al-Baihaqiyyah di Nishapur (Naisabur), Iran adalah yang pertama kali muncul.
Madrasah itu berdiri pada akhir abad ke-4 Hijrah (perempat pertama abad ke-11
M). Melalui suatu penelitian, Richard W. Bulliet misalnya menyimpulkan bahwa
sebelum lahirnya madrasah Nizamiyyah, telah muncul beberapa madrasah. Untuk
membuktikan pendapatnya, Bulliet membuat daftar Hama madrasah di Nishapur yang
muncul lebih awal. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa madrasah Nizamiyyah di
Baghdad adalah yang kali pertama muncul, yaitu tahun 459 Hijrah (1067 M).
Di antara kedua pendapat tersebut, sebenarnya
terbuka suatu jalan tengah, atau kompromi. Madrasah di Nishapur memang yang
pertama kah muncul. Akan tetapi kabar (informasi) tentang eksistensi madrasah,
baru menyebar secara luas semenjak madrasah Nizamiyyah
dibangun di Baghdad. Selain itu, ditinjau dari sudut manajemen pendidikan,
madrasah Nizamiyyah di Baghdad adalah madrasah pertama yang berbentuk lembaga,
yang kemudian secara sistematis mengantarkan puncak perkembangan pendidikan
Islam.
1. Kelahiran
Madrasah Nizamiyyah
Madrasah Nizamiyyah didirikan pada masa pemerintahan Bani Saljuq oleh
Perdana Menteri (Wazir) Ghawam al-Din Abu- 'Ali Hasan Ibn Ishaq Khauja, yang
dikenal dengan panggilan akrab Nizam al-Mulk (1018-1092 M). Nizam al-Mulk
adalah ilmuwan Muslim yang mengarang buku Siyasat Nama, suatu karya yang oleh
Mehdi Nakosteen dinilai sebagai karya klasik di bidang pendidikan Islam. Di
samping itu, buku tersebut juga menunjukkan bahwa Nizam al-Hulk adalah seorang
politisi yang ilmuwan. Di dalam buku tersebut dikupas perihal karakter dan
proses pendidikan bagi para penguasa, para menteri, dan para pejabat pemerintah
lainnya. Salah satu terra central buku itu adalah persatuan Islam atas dasar
doktrin ortodoks, yang dilaksanakan melalui pembangunan berbagai madrasah.
Madrasah-madrasah yang didirikan oleli Nizam al-Mulk disebut sebagai
madrasah Nizamiyyah, suatu penamaan yang menisbatkan nama pendirinya.
Kemasyhuran madrasah ini sangat dikenal di seluruh wilayah Islam. Keberadaannya
dapat ditemui hampir di setiap kota, antara lain di Baghdad, Balkh, Naisabur,
Herat (Iran), Basrah, Isfahan, Merv, Mosul (Irak), dan sebagainya. Perkembangan
madrasah ini memang tak bisa dilepaskan dari dari peran aktif Nizam al-Mulk.
Mulanya ia hanya membangun beberapa madrasah.
Kemudian, tatkala ia pergi ke suatu daerah dan menemukan orang yang
berpengetahuan luas dan cukup dikenal, maka di tempat itu pula Nizam al-Mulk
membangun madrasah baru. Orang ditemuinya tersebut kemudian diangkat sebagai
pengajar.
Dari sekian banyak madrasah, madrasah Nizamiyyah di Baghdad merupakan yang
terbesar dan yang terkenal. Madrasah ini terletak di pinggir sungai Dajlah
(Tigris), di tengah-tengah pasar Selasa di Baghdad, dan dibangun antara tahun
457 H (1065 M) hingga tahun 459 H (1067 M). Orang-orang yang ditetapkan sebagai
pengajar antara lain adalah Abu Ishaq al-Syirazi (w.476 H/ 1083 M), Abu Nasr
al-Sabbagh (w. 477 H/1084 M), Abu- al-Qasim al-'Alawi (w. 482 R/1089 M), Abu-
'Abdillah al-Tabari (w.495 H/1101 M), Abu Hamid al-Ghozali (w.505 H/1111 M),
al-Qazwaini (w.575 H/1179 M) dan at-Fairuzzabadi (w. 817 H/1414 M). Menurut
Montgomery Watt, al-Imam al-Haramain al-Juwaini pernah menjabat sebagai
pimpinan madrasah Nizamiyyah hingga wafatnya di tahun 1085 M. Melihat para
pengajar di atas, dapat dikatakan bahwa madrasah Nizamiyyah adalah madrasah
fiqih, dan bukan madrasah filsafat. Apalagi jika diingat bahwa zaman itu
merupakan zaman penindasan filsafat dan para filosofnya.
2. Tujuan
Pendirian Madrasah Nizamiyyah
Tujuan utama pembangunan madrasah Nizamiyyah di Baghdad adalah untuk
mengajarkan hukum mazhab Syafi'i dengan penekanan pada pengajaran fidih dan
teologi. Menurut Azra, madrasah tersebut mempunyai komitmen kuat untuk
berpegang teguh kepada doktrin Asy'ariyah dalam teologi Islam (kalam) dan
ajaran Syafi'i dalam hukum Islam (fiqih). Karenanya, madrasah Niza-miyyah dapat
dikatakan sebagai madrasah Sunni. Selain tujuan utama tersebut, pembangunan
madrasah Nizamiyyah juga didasarkan pada beberapa motif. Dalam hal ini, Hasan
Asari menyebutkan ada empat Motif, yaitu:
1. Pendidikan. Selain sebagai politisi, Nizam al-Mulk juga
seorang sarjana sehingga perhatiannya pada dunia pendidikan berupa pembangunan
madrasah merupakan hal yang pantas dan wajar.
2. Konflik antar kelompok
keagamaan. Sebelum Nizam
alMulk berkuasa, kedudukan Perdana Menteri dipegang oleh al-Kunduri yang
beraliran Mu'tazilah. Salah satu kebijakan al-Kunduri adalah mengusir dan
menganiaya para penganut Asy'ariyah. Ketika Nizam al-Mulk menjabat sebagai Perdana
Menteri, ia juga harus berhadapan dengan kelompok Mu'tazilah. Dalam konteks
ini, oleh Nizam al-Mulk pembangunan madrasah dimaksudkan sebagai salah satu
usaha untuk melawan kelompok Mu'tazilah.
3. Pendidikan bagi
pegawai pemerintah. Sebagai seorang wazir, Nizam al-Mulk menjalankan sistem administrasi
negara secara sentralistik. Penduduk yang dipimpinnya memiliki latar belakang
suku bangsa, budaya, dan agama yang bervariasi. Atas kenyataan ini, pendidikan
di madrasah dimaksudkan untuk menghadirkan para lulusan yang memiliki kesamaan
visi guna mendukung pemerintahannya.
4. Politik. Bagi Nizam al-Mulk, madrasah Nizamiyyah juga
berfungsi sebagai alai politik. Dengan madrasahnya, ia berusaha membangun
hubungan baik dengan para ulama dan masyarakat sehingga posisi pemerintahannya
tetap stabil.
Selama masa hidupnya, Nizam al-Mulk secara ketat mengontrol scinua madrasah
Niza-miyyah, termasuk di dalamnya sistem pendanaan madrasah yang berasal dari
wakaf pemerintah. Kontrol atas madrasah tersebut dimuat di dalam Dokumen Wakaf
Madrasah Nizamiyyah. Substansi dari dokumen tersebut, sebagaimana diungkapkan
oleh A.S. Tritton, adalah sebagai berikut.
·
Madrasah Nizamiyyah adalah wakaf yang disediakan untuk
kepentingan mazhab Syafi'i.
·
Harta benda yang diwakafkan kepada madrasah Nizamiyyah
adalah demi kepentingan penganut mazhab Syafi'i. Pejabat-pejabat utama madrasah
Nizamiyyah harus bermazhab Syafi'i.
·
Madrasah Niza-miyyah harus memiliki seorang tenaga
pengajar di bidang kajian al-Qur'an dan bahasa Arab. Setiap staf menerima
bagian tertentu atas penghasilan yang bersumber dari harta wakaf madrasah
Nizamiyyah.
·
Sebagai suatu lembaga pendidikan, madrasah Nizamiyyah memiliki
sarana-sarana yang cukup lengkap, antara lain ruang belajar dalam jumlah
banyak, ruang perpustakaan yang cukup besar, sejumlah asrama untuk pelajar,
staf, dan para gurunya, dan juga satu masjid yang terletak tidak jauh dari
lokasi madrasah. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, madrasah Nizamiyyah
merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat “modern” pada masanya.
C. Madrasah
Madrasah adalah satu jenis yang lain dari
lembaga pendidikan tinggi, dan ia mulai muncul pada akhir abad ke IV Hijriyah.
Berkembangnya madrasah-madrasah dalam waktu
yang cepat itu merupakan satu manifestasi yang bertujuan untuk melawan golongan
Syi’ah yang telah kuat dan berkembang di seluruh pelosok dunia Islam pada abad
ke IV Hijriyah. Gerakan Syi’ah ini bukan saja merupakan gerakan politik yang
dikembangkan oleh pengikut-pengikut Ali untuk mengendalikan pemerintahan, akan
tetapi dalam waktu yang sama ia juga merupakan satu gerakan ilmu pengetahuan
yang sejalan dengan falsafah pendapat-pendapat golongan mystik yang beraliran
extrem. Gerakan ini telah mendapat tentantan yang hebat dari penganut mazhab
ahlus-Sunnah. Munculnya orang-orang Sljuq pada abad ke XI Masehi yang merupakan
golongan pendukung mazhab ahlussunnah yang fanatik terhadap kepercayaan agama,
dan jatuhnya sebagian besar dari kerajaan Islam dalam tangan mereka, dan sikap
mereka yang sangat setia kepada khilafah, kesemuanya ini merupakan
faktor-faktor yang utama yang dapat mengukuhkan mazhab ahlussunnah dan
melemahkan pengaruh dan kedudukan golongan Syi'ah. Munculnya madrasah-madrasah
yang banyak dalam abad ini telah merupakan satu alat untuk menyatakan satu
sikap baru dalam berpikir dan untuk melahirkan gelora semangat keagamaan yang
meluap-luap pada masa ini, sehingga terjadinya perang salib di antara umat
Islam dan Kristen. Madrasah-madrasah tersebut tersebar hampir di- seluruh
dunia Islam untuk memperkuat mazhab ahlussunnah dengan cara memberi perhatian
yang besar terhadap mempelajari ilmu fiqh yang terdapat di dalam empat buah
mazhab.[2]
Al-Maqrizi mengatakan tentang madrasah sebagai
berikut. Madrasah itu tidak dikenal pada masa sahabat dan Tabi'in. la
diciptakan sesudah 400 tahun dari tahun Hijriyah. Madrasah yang mina-mina
didirikan dalam Islam ialah madrasah yang didirikan oleh penduduk Nisyapur.
Madrasah yang didirikan mereka itu adalah al-Madrasah al-Baihaqiyah. Di sini
pula didirikan sebuah sekolah oleh Amif Nashr bin Sabkatkin. Di antara madrasahmadrasah
yang didirikan masa dahulu itu adalah madrasah Nizhamiyah di Bagdad. Sekolah
ini didirikan oleh perdana menteri Nizhamul Mulk, dan didirikan pada tahun 457
H. Di sini mengajar Syaikh Abu Ishaq Al-Syirazi al-Firuzbadi, pengarang kitab
"al-Tanbih" dalam ilmu Fiqh, dalam mazhab al-Imam al-Syafi'i. Sejak
itu ia telah diikuti oleh orang-orang dari Iraq, Khorasan, Mawaraun-nahr, dan
dari Jazirah dan di Ar -Bakr.
Adapun di Mesir, madrasah-madrasah barn
didirikan sesudah lii!angnya kerajaan Fatimiyah dan sesudah berdirinya kerajaan
Ayyubiyah. Pada masa kerajaan Ayyubiyah inilah didirikan madrasah-madrasah
sehingga ia tersebar sangat lugs. Penebaran madrasah-madrasah ini tetap
berjalan terus pada masa Al-Mamalik, demikian pula di Syria madrasah-madrasah
banyak didirikan pada masa ini.
Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk salah
seotang ahli fiqh yang termasyhur dalam salali satu mazhab yang empat. Umpamanya
Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa
Madrasah untuk mazhab lianal-i dan Syafi'i, dan telah dibangun pula sebuah
madrasah untuk kedua mazhab ini di kota Mesir.
Madrasah itu tidak berbeda dari Mesjid atau
Jami', baik dari segi bangunan, tugas, maupun tujuannya. Hanya madrasah itu
lebih lengkap persiapannya untuk study dan untuk tempat tinggal bagi
pelajar-pelajar yang belajar secara ful timer. Madrasahpun telah digunakan
pula untuk melaksanakan tujuan-tujuan masjid, seperti digunakan untuk melakukan
shalat sebagaimana dilakukan di Masjid-masjid, kemudian madrasah itu juga
digunakan sebagai pengadilan. Namun demikian madrasah itu mempunyai tugas
pokok yang tersendiri, yaitu untuk mengajar fiqh yang sejalan dengan satu atau
lebih dari mazhab ahlussunnah yang empat itu, dengan cara menarik para
pelajar-pelajar untuk menggunakan waktu mereka sepenuhnya dalam belajar, dan
memberikan gaji tetap bagi para guru, sehingga mereka tidak usah mencari
pekerjaan lain untuk mencari penghidupan mereka.
Walaupun tadi telah dikatakan bahwa tugas
pokok bagi madrasah-madrasah adalah untuk mengajar ilmu fiqh semata-mata, akan
tetapi ada juga sebagian madrasah yang memberi pelajaran kedokteran di samping
ilmu fiqh.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan dalam
bentuk pendidikan formal sudah dikenal sejak awal abad ke- 11 atau 12 M, atau
abad ke- 5-6 H, yaitu sejak dikenal adanya Mdrasah Nidzamiyah yang didirikan di
Baghdad oleh Nizam Al- Mulk, seorang wazir dari Dinasti Saljuk. Pendirian
Madrasah ini telah memperkaya khasanah lembaga pendidikan di lingkungan
masyarakat islam, karena pada masa sebelumnya masyarakat islam hanya mengenal
pendidikan trdisional yang di selenggarakan di Masjid-Masjid dan dar
al-khuttab. Di Timur tengah institusi madrasah berkembang untuk
menyelenggarakan pendidikan keislaman tingkat lanjut (advance/tinggi),
yaitu melayani mereka yang masih haus ilmu sesudah sekian lama menimbanya
dengan belajar di masjid-masjid. Dengan
demikian, pertumbuhan madrasah sepenuhnya merupakan perkembangan lanjut dan
alamiah dari dinamika internal yang tumbuh dari dalam masyarakat islam itu
sendiri.
Di Indonesia, keadaannya tidak
demikian. Madrasah merupakan fenomena moderen yang muncul pada awal abad ke-20.
Berbeda dengan di Timur Tengah di mana madrasah adalah lembaga pendidikan yang
memberikan pelajaran ilmu agama tingkat lanjut, sebutan madrasah di Indonesia
mengacu kepada lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran agama islam tingkat
rendah dan menengah. Perkembangannya diperkirakan merupakan reaksi terhadap
faktor-faktor yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara
tradisional sudah ada, terutama munculnya pendidikan modern Barat. Dengan kata
lain, tumbuhnya madrasah di Indonesia adalah hasil tarik menarik antara
pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu
sisi, dengan pendidikan Barat (modern) di sisi lain.
Apabila ditelusuri masuknya agama islam di
Indonesia, maka agama islam datang ke indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang
dari Gujarat, disiarkan secara damai tanpa paksaan, dalam penyiaran islam pada
tahun-tahun pemulaan dilakukan oleh pemuka masyarakat yang dikenal dengan
sebutan para wali. Para wali
inilah yang berjasa mengembangkan agama islam, terutama di Pulau Jawa, yang
dikenal dengan sebutan Wali Songo.
Para wali menyiarkan agama islam dengan cara
bijaksana, kebiasaan yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat
sepenuhnya tidak dihilangkan, bahkan adat istiadat dan kebiasaan dilindungi dan
dikembangkan, disesuaikan dan diisi dengan ajaran agama islam. Karena itu maka tidak heran apabila sampai sekarang kita masih
melihat adanya adat istiadat nenek moyang yang masih melekat pada umat islam.
Orang-orang yang kemudian masuk islam ingin mempelajari dan mengetahui lebih
lanjut tentang ajaran islam, orang ingin bisa mengerjakan shalat, bisa membaca
Al Qur’an dan berdo’a. Dari sinilah mulai tumbuh pendidikan agama islam, pada
mulanya mereka belajar dari rumah-rumah, di Langgar, di Masjid, dan kemudian
berkembang menjadi Pondok Pesantren.
Dalam perkembangan selanjutnya
lembaga pesantren ini mendapatkan perhatian para sultan, sesuai dengan
kedudukan tinggi para wali di mata sultan, tidak sedikit pesantren yang
mendapatkan perhatian dan bantuan dari sultan. Contohnya nama Tegalsari yang
merupakan hadiah dari sultan kepada kyai atas jasa-jasanya. Pondok Pesantren
Tegalsari sampai aad ke-19 merupakan Pndok terkemuka di Jawa, bahkan santrinya
banyak yang berasal dari Sumatra, Kalimantan, dan dari luar Pulau lainnya.
Sebagai pembuktian sejarah dapat disebutkan di
sini bahwa pada waktu serombongan kapal laut yang berbendera Belanda di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1596, mereka
melihat kenyataan bahwa di Pulau Jawa ini terdapat perguruan Rakyat yag telah
dipengaruhi paham Agama, yaitu Hindu dan Islam. Perguruan semacam ini tetap bertahan dalam perkembangan sejarah
yang panjang, kemudian dikenal dengan sebutan Pesantren atau Pondok Pesantren.
Landasan Yuridis Formal bagi madrasah yaitu
denagn lahirnya Keputusan Bersama Tiga Menteri c.q. Menteri Agama, menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1975, No. 037/U/1975,dan No. 36 tahun 1975 setelah
lahirnya UU No. 2/1989 kedudukan lembaga pendidikan agama diperkukuh (pasal 11
ayal (16)).[3]
D. Pertumbuhan dan
Perkembangan Madrasah
1. Dilema
Kelembagaan dan Pendidikan Madrasah
Salah satu hal yang penting dan perlu disimak
dalam sejarah perkembangan penyelenggaraan sekolah-sekolah agama ialah lahirnya
Keppres No. 34 tahun 1974 tantang tanggungjawab fungsional pendidikan dan
latihan serta Inpres No. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keppres No. 34 tahun
1974.[4]
Dalam
realitas pendidikan Islam di tanah air, saat dibicarakan tentanglembaga
pendidikan Islam, selain pesantren, maka yang segera terbayang di benak kita
adalah madrasah. Institusi pendidikan ini lahir pada awal abad XXM., yang dapat
dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di
Indonesia. Memasuki abad XXM., banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari
bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang
menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen, dan perjuangan
untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan
kegiatan dengan cara-cara tradisionaldalam menggerakan Islam.[5]
Munculnya
kesadaran “kritis” di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak bisa
dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah
yang telah banyak menyerap semangat pembaruan (modernisme) di sana.
Sekembalinya ke tanah air, mereka melakukan pengembangan institusi pendidikan
baru yang lazim disebut madrasah dengan menerapkan metode dan kurikulum yang
juga baru. Dari sini, tidak mengherankan bila kemudian terjadi beberapa
perubahan mendasar dalam dinamika Islam Indonesia yang setidaknya didorong oleh
empat faktor penting, yaitu:
1. Diberbagai tempat di dunia Islam muncul
kecenderungan kuat untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadist nabi yang dijadikan
titik tolak menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
2. Gejolak dan sifat perlawanan nasional terhadap
penguasa kolonial Belanda.
3. Usaha yang kuat dari umat Islam untuk
memperkokoh organisasinya di bidang sosial ekonomi, demi kepentingan mereka
sendiri maupun untuk kepentingan rakyat banyak.
4. Pemburuan pendidikan Islam yang disebabkan karena
munculnya ketidakpuasan terhadap pola tradisional.
Terkait dengan hal itu, kemunculan madrasah
dipandang oleh para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan
pendidikan Islam di Indonesia. Argumen yang bisa dikemukakan adalah bahwa secara
historis, awal kemunculan madrasah dapat dikembalikan pada dua situasi: pertama,
adanya pembaruan Islam di Indonesia, dan kedua, adanya respons
pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia-Belanda. Dengan demikian,
jika dilihat dari sudut pandang pesantren itu sendiri maka kehadiran madrasah
mengandung dimensi “kritik” karena ia adalah bagian dari upaya pembaruan untuk
menjembatani sistem tradisional yang diselenggarakan oleh pesantren dengan
sistem pendidikan modern. Selain itu kehadiran madrasahjuga merupakan upaya
penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang
lebih memungkainkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan
sekolah umum. Sementara itu, apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan modern
Barat kolonial, kehadiran madrasah mengandung dimensi “akulturatif” karena ia
merupakan manifestasi dan realisasi pembaruan sistem pendidikan Islam yang
diinginkan oleh sebagian umat Islam yang tengah menganggap positif sistem
pendidikan Barat.
Pendek
kata, tumbuhnya madrasah di tanah air adalah hasil dari tarik-menarik antara
pesantren sebagai lembaga pendidikan asli (tradisional) yang sudah ada di satu
sisi, dengan pendidikan Barat (modern) di sisi yang lain. Setidaknya, terdapat
dua kecenderungan yang dapat diidentifikasi dari kemunculan format madrasah: pertama,
madrasah-madrasah Diniyyah-Salafiyah yang terus tumbuh dan berkembang
dengan peningkatan jumlah maupun penguatan kualitas sebagai lembaga tafaqquh
fi ad-din (lembaga yang semata-mata berorientasi mendalami agama), dan kedua,
madrasah-madrasah yang selain mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
Islam, juga memasukan beberapa materi yang diajarkan di sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada
masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam begitu
dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar, bahkan
pemerintah kolonial telah memproduk peraturan-peraturan yang membatasi, atau
justru mematikan sekolah-sekolah partikelir, termasuk madrasah, dengan
mengeluarkan peraturan yang disebut Wilde Shcoolen Ordonantie pada 1993.
Sebelum ini, pemerintah kolonial juga telah mengeluarkan peraturan yang dikenal
dengan “Ordonasi Guru” (Ordonasi 1905 dan 1925) yang menyebutkan bahwa izin tertulis
untuk mengajar harus diberlakukan kepada Islam; bahwa daftar mata pelajaran dan
murid-murid harus diketahui; dan bahwa metode pengawasan pemerintah juga harus
dibuat. Ordonasi itu secara khusus dimaksudkan untuk membatasi gerakan
guru-guru agama, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam.
Dengan kata lain, pemerintah kolonial bersikeras, melalui berbagai
kebijakannya, menolak peranan Islam dalam kehidupan publik. Akibat kebijakan
diskriminatif pemerintah kolonial tersebut, pendidikan Islam, termasuk
madrasah, menghadapi kesulitan-kesulitan dan bahkan terisolasi dari arus
modernisasi. Sebagai akibatnya, muncul hal-hal berikut:
Pertama,
pendidikan Islam, termasuk madrasah, terpinggirkan dari arus modernisasi.
Kendatipun keadaan ini tidak selama nya negatif, ternyata telah menjadikan
pendidikan Islam cenderung pada sifat ketertutupan dan ortodoksi. Kedua,
adanya kebijakan yang sangat diskriminatif dari pemerintah kolonial terhadap
pendidikan Islam sehingga lembaga pendidikan ini terkondisikan menjadi milik
rakyat pinggiran (pedesaan). Lembaga pendidikan seperti ini menpunyai konotasi
pendidikan “kampungan”: terbelakang dan sangat ortodoks. Sebab, lembaga
pendidikan semacam ini biasanya memeng berada dikawasan pinggiran (pedesaan),
dengan kondisi masyarakatnya yang agraris dan merupakan kelompok masyarakat
ekonomi lemah. Ketiga, is atau muatan pendidikan cenderung berorientasi
pada praktitk-praktik ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu
pengetahuan dan teknologi; isi pendidikan masih bercorak dualisme sehingga
antara pengajaran ilmu keagamaan dengan ilmu pengetahuan umum sama sekali
terpisah. Keempat, pendidikan Islam mengalami berbagai kelemahan
menejemen, meskipun tidak seharusnya harus dianggap sebagai sesuatu yang
negatif. Dalam hal ini, kelemahan menejemen ditunjukan oleh sifatnya yang
tertutup dan tidak berorientasi ke luar sehingga perkembangan madrasahpun
menjadi lamban atau justru statis.
Setelah
masa kemerdekaan, pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dimasukan ke dalam
sistem pendidikan nasional. Paradigma dualisme yang diwariskan pemerintah
kolonial tetap mengakar kuat dalam dunia pendidikan di tanah air. Pemerintah
Indonesia mewarisi sistem pendidikan yang dualistis, yaitu:
1. Sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah
umum yang sekuler.
2. Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang
tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam, baik yang bercorak isolatif
tradisional maupun yang bercorak sintesis. Pada 1950, terjadi aksiden sejarah
dalam dunia pendidikan kita, yaitu ketika Presiden Soekarno menetapkan
berdirinya Universitas Gadjah Mada yang diperuntukan bagi golongan nasionalis
dan dalam waktu yang bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agana Islam Negri
{PTAIN) Yogyakarta yang diperuntukan umat Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, polarisasi
kedua institusi pendidikan tersebut membentuk polarisasi yang lebih menyeluruh.
Implikasi lebih jauh dari polarisasi yang terjadi adalah (1) universitas umum
seakan-akan bukan milik golongan Islam; (2) dualisme dan dikotomi terus
bertahan; dan (3) sekolah atau perguruan tinggi umum menjadi hinaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan sementara perguruan tinggi agama Islam berada di
bawah hinaan Departemen Agama. Setidaknya, kenyataan ini mengakibatkan jauhnya
pendidikan Islam kedalam dikotomi atau dualisme: pertama, dikotomi
pendidikan yang sekuler dan penddidikan yang mempunyai ciri khas keislaman; kedua,
pendidikan Islam terperangkap ke dalam dualisme pengelolaan , antara
pengelolaan pendidikan di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan Pendidikan
Islam di bawah Departemen Agama.
Selain persoalan di atas, pendidikan Islam
juga masih dihadapkan pada persoalan lain yang tidak kalah seriusnya. Pada saat
itu, meskipun pendidikan Islam terus eksis, ia masih belum bisa memperoleh
perhatian sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seakan
dibiarkan hidup “apa adanya” kendati dalam keadaan yang sangat sederhana dan
berjalan sebisanya. Secara konstitusional, dalam hal ini pemerintah memang
masih terikat dengan Undang- Undang Pendidikan Nasional No. 4 tahun 1950 jo.
No. 2 tahun 1954, yang belum memihak pada pemberdayaan madrasah sebagai bagian
dari program pendidikan nasional sehingga kebijakan pemerintah yang terkesan
“gamang” tampaknya masih terbatas pada penguatan struktur madrasah itu sendiri.
Setidaknya terdapat dua langkah awal sehubungan dengan penguatan struktur
madrasah: pertama, melakukan formalisasi yang ditandai dengan upaya
meningkatkan status beberapa madrasah swasta menjadi madrasah negri, dan kedua,
strukturasi madrasah yang sesuai dengan tuntutan pendidikan nasional, terutama
menyangkut penyeragaman dan penyempurnaan kurikulum. Pada sekitar pertengahan
dekade tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai ditunjukan pada pembinaan
madrasah secara lebih sistematis, misalnya, dengan lahirnya kurikulum 1973 dan
SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 yang menegaskan bahwa kedudukan madrasah
sejajar dengan sekolah formal lain. Akan tetapi, langkah paling signifikan
dalam uoaya mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional
adalah dengan diratifikasinya UU No. 2 tahun 1989tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN). Dalam UU tersebut, pendidikan madrasah diakui sebagai sekolah
umum yang berciri khas agama Islam; madrasah mendapatkan pengakuan sebagai subsistem
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam PP No. 28 tahun 1990 tentang
Pendidikan Dasar.
Masuknya madrasah kedalam subsistem pendidikan nasional memiliki berbagai
konsekuensi antara lain: (1) dimulainya suatu pola pembinaan mengikuti satu
ukuran yang mengacu pada sekolah-sekolah pemerintah; (2) madrasah mengikuti
kurikulum nasional; (3) madrasah ikut serta dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS), dan berbagai peraturan yang diatur oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Dengan demikian, keuntungan positif yang
diperoleh melalui UU tahun 1989 dan PP tahun 1990 ternyata juga melahirkan
berbagai kendala.
Dualisme antara Departemen Agama dan Departemen P dan K itu terus
berlangsung. Hal yang sama juga terjadi dalam pembinaan pendidikan dasar.
Kesemrawutan menejemen pendidikan dasar ini tentunya juga berdampak pada
pembinaan sekolah-sekolah yang ada di bawah Departemen Agama. Dengan
sendirinya, tejadi dualisme dalam pembinaan sekolah tersebut yang tidak selalu
menguntungkan sekolah-sekolah yang ada di bawah naungan Departemen Agama.
Ingrasi dan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum baru terbatas pada aspek
struktur dan muatan kurikulumnya saja.
Selama sepuluh tahun lebih sejak UU No. 2 tahun 1989 dilahirkan, ia
terbukti belum mampu mengangkat citra madrasah sebagai lembaga pendidikan
alternatif, kecuali beberapa madrasah khusus yang berkulitas tinggi saja
sebagai hasil binaan masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap madrasah sejauh
ini terasa masih diskriminatif. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila muncul
usulan agar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989
segera diganti supaya lebih sesuai dengan upaya pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan efisiensi dalam
menejemen. Sebab, pelaksanaan UUSPN tersebut terasa amat sentralistis, tidak
demokratis, dan otoritas kekuasaan terlalu dominan. Paradigma-paradigma yang
digunakan oleh pemerintah selama ini dalam penyelenggaraan pendidikan nasional,
termasuk pendidikan madrasah, dalam praktiknya telah menimbulkan berbagai anomali,
di antaranya:
1.
Kecenderungan untuk menegerikan madrasah yang telah
didirikan melalui prakarsa masyarakat, meskipun kalau dilihat dari
persentasenya, jumlah madrasah yang dinegrikan memang relatif kecil karena
tidak lebih dari 5%. Seperti yang telah dijelaskan bahwa madrasah merupakan
lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat. Namun demikian,
kehidupan madrasah yang lahir dari strata masyarakat yang miskin menyebabkan
suatu keinginan untuk menegerikan madrasah-madrasah. Hal ini memang mempunyai
segi-segi yang positif , yaitu adanya kucuran dana dari pemerintah melalui
INPRES SD, INPRES WAJIB BELAJAR, dan sebagainya. Demikian pula menejemen
madrasah mendapat bantuan dari pemerintah, dan mungkin pula memperoleh
tenaga-tenaga guru negeri yang diperbantukan.
2.
Kecenderungan ke arah sentralisasi kurikulum. Dengan
adanya suatu keinginan untuk menyetarakan pendidikan madrasah dengan
sekolah-sekolah negeri maka kurikulum madrasah diarahkan pada kurikulum
nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti kurikulum 1994.
Kurikulum madrasah 1994 yang dikembangkan di MI, MTs, dan MA untuk mata
pelajaran umum sepenuhnya mengacu pada kurikulum SD, SLTP, dan SMU sehingga isi
pendidikan madrasah tidak memiliki perbedaan yang esensial dan substantif
dengan sekolah umum. Sementara mata pelajaran agama sebagai ciri khas
pendidikan Islam bagi madrasah dikembangkan menjadi lima mata pelajaran , yaitu
Al-Qur’an Hadist, Fiqh, Akidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa
Arab, atau dengan kata lain, terjadi arus sentralisasi kurikulum. Akan tetapi,
dalam perkembangannya, “ciri khas Islam” pada madrasah menimbulkan keprihatinan
di kalangan Departemen Agama karena dinilai telah banyak bergeser, khususnya
ditingkat Madrasah Aliyah yang berkembang dengan jurusan-jurusan umum. Praksis
pendidikan yang mengarah pada sentralisasi kurikulum akan menghilangkan
kebebasan madrasah, termasuk kebebasan ilmiah karena seluruhnya diatur di dalam
prosedur serta sumber-sumberpenyelenggaraan, fasilitas, dan sumber-sumber
belajar yang ditentukan oleh pemerintah.
3.
Kecenderungan uniformitas dalam madrasah itu sendiri.
Seperti kita ketahui, madrasah lahir dari dan untuk masyarakat setempat. Oleh
karena itu, karakteristik madrasah sebenarnya bukanlah bersifat uniform,
melainkan variatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kecenderungan
untuk menegerikan atau menyamakan dengan negeri, dan sentralisasi kurikulum
telah mengikis keragaman madrasah sebagai institusi pendidikan yang semula
tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat sehingga sangat mungkin madrasah
tercabut dari akar budaya masyarakat setempat. Diera otonomisasi dan
desentralisasi ini, sentralisme kurikulum yang dikeluarkan DEPDIKNAS yang
kemudian dilengkapi dengan “kurikulum DEPAG”, menurut Azyumardi Azra, mestilah
disederhanakan dengan hanya menggariskan kebijakan, prinsip minimal yang pada
intinya bertujuan untuk menjamin adanya standar dasar umum bagi pendidikan
nasional secara keseluruhan. Selebihnya, muatan kurikulum itu perlu
didesentralisasikan sehingga memberi peluang yang lebih besar dan maksimal pada
daerah dan sekolah atau madrasah bisa merumuskan kurikulumnya sendiri berdasarkan
kepentingan aktual stakeholders di daerah. Paling kurang terdapat lima
pesaham (stakeholders) dalam pendidikan, yaitu (1) masyarakat lokal; (2)
orang tua; (3) peserta didik; (4) negara; dan (5) pengelola profesional
pendidikan.
Untuk mengeliminir anomali-anomali dalam perubahan madrasah, ada beberapa
usulan yang telah ditawarkan. Menurut A. Malik Fadjar, kerangka kebijakan
perubahan madrasah hendaknya tetap mempertimbangkan tiga kepentingan. Pertama,
kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama
umat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan
praktek hidup islami. Kedua, kebijakan itu harus memperjelas dan
memperkokoh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas,
berpengetahuan, berkepribadian dan produktif setara dengan sistem sekolah. Ketiga,
kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespons
tuntutan-tuntutan masa depan. Sementara itu, H. A. R. Tilaar memandang perlu
dilakukan reaktualisasi madrasah menuju ke arah: (1) pendidikan yang berbasis
masyarakat, yaitu dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penyelenggaraan dan
pengelolaan pendidikan; (2) keterakaran pada nilai-nilai luhur budaya; (3)
otonomi daerah.
Institusi
madrasah secara kelembagaan berdiri pada awal abad ke- 20 M. Abad tersebut bisa
dikatakan merupakan periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam
di Indonesia. Keberadaan madrasah pertama kali ditemukan misalnya dengan
munculnya Madrasah Mamba’ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah
Adabiyah yang didirikan oleh Syeh Abdullah Ahmad di Sumatra Barat tahun 1909.
Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan Islam yang telah
ada. Berdirinya madrasah adalah bagian dari kesadaran umat Islam Indonesia
untuk membangun kekuatan melawan kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen serta
keinginan untuk maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain di Asia.[6]
2.
Madrasah di Masa Penjajahan
Pada saant orang Eropa meninjakan
kaki di Bumi Nusantara, telah menjumpai bahwa sebagian besar penduduknya
beragama Islam. Di wilayah ini sudah terdapat model pendidikan tradisional
pribumi yang secara umum berlangsung di langgar-langgar, masjid atau rumah
orang yang merasa terpanggil untuk melestarikan tradisi islam. Mereka sengaja
menyediakan diri secara sukarelamemberikan pelajaran agama kepada anak-anak
yang tinggal di sekitarnya. Materi pelajaran biasanya berkisar pada baca-tulis
Al-Qur’an dan hal-hal yang secara esensial terkait dengan pelaksanaan ibadah
pokok sehari-hari, seperti shalat, puasa, akidah, akhlak, dan lain-lain. Bagi
yang sampai pada tingkat kedalaman tertentu mereka pergi kepesantren untuk
nyantri atau mondok, agar disamping dapat menimba ilmu dari kyai sekaligus
membiasakan diri hidup sebagai seorang santri.
Ketika orang belanda melalui
rombongan dagang VOC dan kemudian pemerintahan kolonial Hindia Belanda
menguasai wilayah Nusantara sejak tahun 1617, dalam jangka waktu yang lama
mereka membiarkan saja Madrasah dan Pondok Pesantren berjalan apa adanya. Untuk
keperluan pandidikan bagi anak-anaknya sendiri, belanda mula-mula sangat
mengandalkan pada sekolah-sekolah swasta Kristen. Namun tatkala, keperluan akan
tenaga terampil tingkat rendah mulai meningkat, pemerintah kolonial juga
menyelenggarakan pengajaran melalui sistem persekolahan yang diselenggarakan
sangat diskriminatif, terutama bila hal yang menyangkut pribumi.[7]
Pada zama pemerintahan Deandles,
pihak penjajah beranggapan bahwa hannya sekolah-sekolah pemerintah atau staats
ondrways saja yang mendatangkan hasil bagi kepentingan penjajah. Perbaikan mohammedaans
gods dienst onderwys, yaitu Pondok Pesantren, Langgar, Surau, rangka lain
tedak perlu. Alasannya, sekolah-sekolah itu hanya merupakan alat meninggikan
akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Oleh karena
itu, diadakan peraturan umum tentang persekolahan (stbl 1818 No.4), yaitu yang
mengatur tentang ketentuan-ketentuan pengawasan penyelenggaraan pendidikan.
Kebijakan VOC terhadap pendidikan
tentu didasarkan pada perinsip komersil atau bisnis, yaitu berdasar untung rugi
dalam hukum-hukum ekonomi. Perkembangan selanjutnya setelah pemerintahan
diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda oleh VOC (akibat kemunduran
perusahaan), maka kebijakan pendidikan zaman pemerintahan Hindia Belanda adalah
: Dikelurkan keputusan Raja Belanda Nomor 95 tahun 1848 yang memberi wewenang
kepada Gubernur Jendral untuk mendirikan Sekolah Dasar bagi bumi putera guna
dididiksebagai calon pegawai negeri. Dan kemudian dikeluarkan keputusan raja
Nomor 25 tahun 1892 tentang diberlakukannya reorganisasi kebijakan pendidikan
dasar, yaitu :
1.
Sekolah Dasar kelas satu untuk anak-anak, para pemuda dan
orang-orang terhormat bumi putera.
2.
Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak bumi putera pada umumnya.
3.
Sekolah dasar kelas satu kemudian dikembangkan untuk anak-anak
orang Belanda dan anak bangsawan dengan dibentuk HIS (Hollandsch Inlandsche School)
Pada tahun 1876 didirikan sekolah rendah bagi
gadis-gadis (noni-noni Belanda) dan tahun 1882 didirikan sekolah menengah atau
HBS (Hollandsch Burgelijke School), selanjutnya pada tahun 1902 sekolah
kedokteran 7 tahun diberi gelar dokter Bumi Putera yang diberi nama STOVIA (School
Tot Opleiding Voor Indische Artsen).
Kemudian pada tahun 1901 datang ethische
politiek dalam koloniale politiek sebagai pengganti exploitatie
politiek, maka sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia
Belanda terbagi-bagi kepada beberapa bagian, seperti : Sekolah untuk keturunan
orang Eropa, Bumi putera golongan bangsawan, dan Bumi putera untuk golongan
rakyat biasa. Pembagian
sekolah ini mengakibatkan kepada setatus sosial yang sekaligus menentukan
golongan mana yang boleh duduk dalam pemeintahan. Selanjutnya pemerintah Hindia
Belanda tidak pernah memperhatikan perguruan agama (Gods dienst onderwys)
perguruan agama dibiarkan hidup sendiri tanpa pengakuan apa-apa, pendidikan
islam dianaktirikan, dikategorikan sebagai sekolah liar, dicurigai dan dikekang
dalam bentuk guru ordonantie yang merugikan masyarakat, antara
lain dengan dikeluarkan peraturan yang dikenal dengan wilde schoolen
ordonansi tahun 1933.
Dengan adanya berbagai praktik
diskriminasi yang diperlihatkan secaranyata oleh pemerintah kolonial tersebut,
terutama dibidang pendidikan termasuk ketidak pedulian terhadap pendidikan
swasta islam, menimbulkan perasaan antipati terhadap Belanda. Semakin dirasakan
bahwa hubungan antara masyarkat dengan pemerintah (kolonial) bukan hubungan
antara rakyat dengan pemerintah sebagai pengayom masyarakat melainkan hubungan
antara terjajah dengan penjajah.
Dipacu oleh semangat Pan Islamisme dan gerakan
pembaruan islam di Timur Tengah dan Mesir yang imbasnya merambah ke Tanah air
melalui pelajar-pelajar yang kembali setelah menyelesaikan studinya, baik di
Mesir maupun yang telah bermukim di Mekkah dan Madinah dengan tujuan belajar
agama islam, mereka membangkitkan geraka pembaharuan di Indonesia yang pada
akhirnya gerakan tersebut memicu gerakan pembaruan dibidang pendidikan islam. Di Sumatera muncul antara lain Madrasah Adabiyah yang didirikan di
Padang oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1908. Pada tahun 1915 Madrasah ini
berubah menjadi HIS Adabiyah. Sementara itu pada tahun 1910 Syaikh Muhammad
Taib Umar juga mendirikan Madrasah Schoel di Batusangkar, sedangkan H. Mahmud
Yunus pada tahun 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah
Schoel.
Sekh Abdul Karim Amrullah mendirikan
Madrasah Tawalib di Padang Panjang. Di Jambi, H. Abdul Somad mendirikan
Pesantren dan Madrasah Nurul Iman (1913). Sedangkan Madrasah Saadah al-Darain
didirikan oleh H. Achmad Syakur, Madrasah Nurul Iman oleh H. Muhammad Saleh dan
Madrasah Juharain olehH. Abdul Majid pada tahun 1922.
Di Aceh didirikan Madrasah yang
pertama pada tahun 1930 yang bernama Saadah Adabiyah oleh Tengku Daud Beureuh.
Madrasah Al-Muslim oleh Tengku Abdul Rahman Munasah Mencap, Madrasah Sarul Huda
dan masih banyak Madrasah yang lainnya.
Di antara para ulama yang berjasa dalam
perkembangan Madrasah di Indonesia antara lain : Syaikh Amrullah Amad (1907) di
Padang, K.H. Ahmad Dahlan (1912) di Yogjakarta, K.H. Wahab Hasbullah bersama
K.H. Mas Mansyur (1914) di Surabaya. Rangkayo Rahman Al-Yunisi (1915) di Padang
Panjang, K.H. Hasyim As’ari (1919) mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng
Jombang.
Secara mendasar dapat dikatakan bahwa Madrasah
mempunyai karakter yang sangat spesifik bukan hanya melaksanakan tugas
pendidikan dan pengajaran agama, tetapi juga mempunyai tugas untuk memberikan
bimbingan hidup di dalam Masyarakat.
3.
Nasionalisme Melayu-Islam Menuju Kemerdekaan
Status
Islam pada orang Melayu telah membuat mereka seakan identik secara ideologis
dan teologis dalam pertarungan antara berbagai kekuatan politik Melayu modern.
Kelompok Melayu-Muslim yang terilhami ide-ide modernisme Jamaluddun Al-Afgani
dan Muhammad Abduh, yang kemudian dikenal sebagai kaum modernis Melayu
disebutan juga dengan Kaum Muda sedikit banyak berpengaruh pada Nasionalisme
Melayu. Pada episode kebangkitan Kaum Muda, antara 1920-1930-an, yang kemudian
disebut gerakan Ishlah, mereka mengkritik sinkretisme pada adat
Melayu dan, karena itu, mendesakan “pemurnian” iman. Mereka juga mengangkat
persoalan-persoalan menyangkut peran Islam, seperti kepemimpinan Islam dan
masalah kemasyarakatan lainnya. Praktik ibadah yang dianggap heterodoks dan
menyimpang, bentuk dan sistem pengajaran pada beberapa pondok, tak luput dari
perhatian mereka. Kaum Muda berhasrat mengembalikan posisi muslim Melayu yang
selama ini termasuk dalam kategori terbelakang, kurang terdidik dengan tingkat
melek huruf dan intelektual yang rendah, ke dalam posisi yang lebih tinggi.
Artikulasi dan terminologi yang mereka gunakan ternyata tidak selamanya
diterima kalangan mubaligh dan ulama lainnya, karena corak dan kecenderungan
beragama masyarakat yang sangat beragam.[8]
Sifat
gerakan Ishlah Kaum Muda yang sejak awal gigih mengecam praktek keagamaan yang
sinkretis dan tradisional dan paham ‘status quo’, menyebabkan mereka
berseberangan dengan ulama dan guru agama tradisional, yang biasa disebut tuan,
tok guru, atau tok Lebai. Bentuk dan sistem pengajaran pondok yang dianggap
terbelakang, tidak memberikan sebuah alternatif, dan tidak lagi sesuai dengan
tantangan zaman yaitu sistem madrasah, yang lebih mempunyai sistem pembelajaran
yang lebih teratur. Madrasah yang termasuk paling awal adalah Madrasah
al-Masyhur al-Islamiyah di Pulau Penang, yang dibangun untuk meneruskan
pemikiran-pemikiran tokoh ishlah seperti Sayed Syekh Ahmad bin Ahmad al-Hadi
(1869-1956), Syeh Tahir Jalaluddin (1869-1934) dan Syeh Abdullah al-Maghribi.
Selain Madrasah al-Masyhur al-Islamiyah, terdapat juga Madrasah al-Hadi di
Malaka. Madrasah Idrisiyyah, dan Madrasah ad-Diniyah Kampung Lalang di Perak.di
Kedah muncul Madrasah al-Hamidiyah di Limbong Kapal, yang dibangun oleh ulama
terkemuka Haji Wan Sulaiman. Di Kelantan, atas inisiatif Majelis Agama Islam
dan Istiadat Melayu, dibangun Madrasah Muhammadiyah. Di Terengganu berdiri
Madrasah Arabiyah di Paya Bunga, selanjutnya Madrasah Sultan Zainal Abidin, dan
di Perlis dibangun Madrasah Alawiyah ad-Diniyah.
4.
Madrasah pada Awal Masa Kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, tidak dengan
sendirinya Madrasah dimasukan kedalam sistem pendidikan nasional. Madrasah
memang terus hidup tetapi tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari
pemerintah.madrasah dan dunia pendidikan islam pada umumnya dibiarkan hidup
meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan hidup apa adanya. Perhatian
peerintah pada saat itu hanyalah sebatas dorongan moral seperti pada :
a.
Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 No.15 Berita RI tahun II No.4 dan
No.5 hlm 20 kolom 1 (agar pendidikan di langgar-langgar dan madrasah berjalan
terus dan diperpesat)
b.
Keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat
perhatian dan bantuan dari pemerintah)
c.
Laporan Panitia Penyelidikan Pengajaran RI tanggal 2 Mei 1946 yang
diketuai Ki Hajar Dewantara dengan 51 anggota (pengajar yang bersifat pondok
pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi
serta diberi bantuan berupa biaya sesuai dengan keputusan BP KNIP).[9]
Lahir
nya proklamasi kemerdekaan memberi corak baru kepada pendidikan agama.
Dengan adanya guru-guru agama yang bertugas di SD, SLTP, dan SLTA, maka
langgar-langgar dan mesjid-mesjid banyak yang menjadi sunyi dari
pengajian-pengajian anak-anak dan orang dewasa. Pesantren-pesantren tidak
banyak lagi menjalankan tugasnya, sedangkan madrasah-madrasah berkambang dengan
sangat pesatnya. Kalau dulu hanya beberapa saja yang memberikan pengetahuan
umum, maka kini banyak madrasah-madrasah yang memberikan mata pelajaran umum
kepada murid-muridnya sesuai dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh
Departemen P dan K.
Madrasah-madrasah
itu semuanya adalah hasil usaha partikelir yang, yang mendapat pengawasan dari
Departemen Agama. Madrasah-madrasah yang sudah mendapat pengakuan dari
Departemen Agama menerima bantuan dari Departemen itu: dengan hitungan
tiap-tiap murid pada madrasah-madrasah milik perseorangan menerima Rp. 10,-
tiap tahun, sedangakan madrasah milik organisasi menerima untuk tiap-tiap murid
Rp. 30,- tiap tahun (Sejak tahun 1966 bantuan berupa uang dari Departemen Agama
ditiadakan).[10]
Madrasah-madrasah
yang memenuhi syarat-syarat, yang ditentukan oleh Dep. Pdan K mendapat subsidi
dari Departemen Pdan K yang lebih besar, tidak lagi dari Departemen Agama. Subsidi
itu menjadi Rp. 7,50 bagi tiap-tiap murid tiap bulan. Syarat pokok yang harus
ditaati oleh madrasah yang menghendaki subsidi dari Departemen P dan K, ialah
memberikan pengetahuan umum kepada murid-muridnya yang sesuai dengan isi
rencana pelajaran di SD Negeri dan pelajaran Agama hanya sebanyak-banyaknya 4
jam pelajaran dalam satu minggu.
Anak-anak
berhasrat untuk melanjutkan pelajarannya ke SLTP Dep. Pdan K harus menempuh
ujian masuk ke SLTP, yang diselenggarakan oleh Dep. P dan K sendiri.
Berdasarkan
ketetapan Pemerintah, belajar pada madrasah yang telah diakui oleh Departemen
Agama, dipandang telah melaksanakan kewajiban belajar. Suatu madrasah diakui
oleh Departemen Agama, bila sekurang-kurangnya dalam seminggu memberikan 6 jam
pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok.
Di
daerah-daerah Aceh, Lampung, dan Surakarta banyak madrasah yang telah dijadikan
Sekolah Dasar Islam Negeri (SDIN), dan berada di bawah Departemen Agama. Lama
belajar di sekolah ini selama 6 tahun.
Susunan
madrasah itu bertingkat-tingkat, ada tingkat rendah dan ada tingkat lebih
tinggi. Sebelum perang beberapa kalangan, seperti Sumatera Thawalib,
Muhammadiyah, Al Irsyad, PUI, Persis, NU, dan Al Ja’miyatul Washliyah
menyelenggarakan madrasah-madrasah dengan tingkatan sebagai berikut:
1. Awaliyah, khusus memberikan pelajaran agama
pada anak-anak yang bersekolah di Sekolah Desa, lama belajar 6 tahun.
2. Ibtidaiyah, lanjutan Awaliyah atau lanjutan
Sekolah Desa yang telah menamatkan Qur’an, lama belajar 4 tahun.
3. Tsanawiyah, sama dengan Mulo, lama belajar 3
tahun.
4. Sekolah Menengah Islam (SMI), sama dengan AMS,
lama belajar 4 tahun.
Susunan
Madrasah seperti tatanan di atas itu sekarang tidak kita jumpai lagi. Sekarang
susunannya menjadi:
1. Madrasah Rendah/ Dasar (Ibtidaiyah), sama
dengan SD dan lama belajar 6 tahun.
2. Madrasah Lanjutan Pertama (Tsanawiyah), sama
dengan SMP dan lama belajar 6 tahun.
3. Madrsah Lanjutan Atas (Aliyah), sama dengan
SMA dan lama belajar 3 tahun.
Madrasah-madrasah
itu kini banyak sekali yang sudah mendapat pengakuan dari Departemen Agama.
Usaha-usaha partikelir dewasa ini sudah sampai pula pada taraf usaha yang lebih
tinggi, yakni dengan mendirikan berbagai Perguruan Tinggi, seperti:
1. Universitas Islam Indonesia (UII) di
Yogyakarta dan Solo.
2. Universitas Islam Bandung (Unisba).
3. Universitas Al-Washliyah (Univa) di Medan.
4. Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) di
Medan.
5. Akademi Tabligh Muhammadiyah di Jogya.
6. Universitas NU di Solo, Jakarta, dan
lain-lain.
7. Universitas “Cokroaminoto” di Solo.
8. Universitas Muhammadiyah sebanyak 17 tersebar
di seluruh Indonesia.
9. Universitas Ibnu Khaldun di Jakarta, Bogor,
dan lain-lain.
10. Universitas Islam Nusantara (Uninus) di
Bandung.
11. Universitas Islam Indonesia di Bangi
12. l didirikan oleh persatuan Islam.
13. Akademi Pendidikan Agama Islam (APAI) “Yayasan
Amal Muslimin Dipatiukur, Cililin Bandung”, atas prakarsa pimpinan Pesantren
Pasir Meong beserta para alumninya (1968).
14. Akademi Pendidikan Rohani Islsm Banbung
(Akpriba) di bawah pemupukan dan pemeliharaan Kodam VI Siliwangi, yang mulai
tahun 1972 ditingkatkan menjadi Institut Siliwangi (Inisi).
15. Fakultas Tarbiyah PUI di Majalengka.
Departemen Agama mendirikan Universiras sendiri yaitu Al Jami’ah
Al-Islamiyah Al-Hukumiyah atau Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang kini
telah memiliki Fakultas-fakultas dan Jurusan-jurusan sebagai berikut.
a. Fakultas Ushuluddin.
b. Fakultas Syari’ah.
c. Fakultas Tarbiyah.
d. Fakultas Adab.
1) Fakultas Ushuluddin mempunyai jurusan-jurusan:
a. Dakwah.
b. Tasawuf.
c. Filsafat.
d. Perbandingan Agama.
2) Fakultas Syari’ah mempunyai jurusan-jurusan:
a. Tafsir/Hadist.
b. Fiqih.
c. Qodlo.
3) Fakultas Tarbiyah mempunyai jurusan-jurusan:
a. Pendidikan Agama.
b. Paedagogik.
c. Bahasa Indonesia.
d. Ethnologie/Sosiologi.
e. Hukum/Ekonomi.
f.Kemasyarakatan.
4) Fakultas Adab mempunyai jurusan-jurusan:
a. Sastera Arab.
b. Sastera Persia.
c. Sastera Urdu.
d. Sejarah/Kebudayaan Islam.
5. Reformasi
Madrasah
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang
seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah muncul dan
berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah
tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan
perkembangan bangsa Indonesia sejak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa
kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah mengubah pendidikan dari bentuk awal
seperti pengajian di rumah-rumah, musala dan mesjid menjadi lembaga formal
sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Demikian
pula dari segi materi pendidikan telah terjadi perkembangan. Kalau semula hanya
belajar mengaji al-Qur’an dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah materi
pelajaran mengalami perluasan seperti tauhid, hadis, tafsir dan bahasa Arab.
Dalam perkembangannya kemudian, madrasah juga mengadopsi pelajaran umum seperti
sekolah-sekolah di bawah pembinaan Dikbud. Dengan begitu, selain terjadi
integrasi ilmu agama dan umum, madrasah telah memberikan program-program
pendidikan yang setara dengan pendidikan yang diberikan oleh Depdikbud.
Pengembangan sistem pendidikan madrasah berawal dari pengembangan sistem pendidikan
pesantren. Karena setelah terjadi perkembangan sistem pendidikan pesantren,
semua pesantren menggunakan sistem pembelajaran yang berjenjang atau berjenis.
Pembelajaran dilakukan secara klasikal, todak lagi sistem tradisional, seperti halaqah
atau sorogan. Meskipunmasi tetap ada, tradisi itu dilaksanakan setiap malam
tertentu dalam satu minggu.[11]
Perkembangan
yang sama juga terjadi dari segi jenjang pendidikan, yakni jenjang Madrasah
Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah (SLTP) dan Madrasah Aliyah (SMU).
Semua
perkembangan tersebut tidak berlangsung secara sekejap. Sejak sistem madrasah
diperkenalkan oleh para pembaharu Islam yang mengembangkan pendidikan Islam
sejak awal abad ke-20, misalnya Jamiat Khair, Sumatra Thawalib, Muhammadiyah,
Persis, dan NU, perkembangan madrasah mengalami masa-masa sulit. Respon yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi ini terhadap kebijakan pendidikan Barat
(Belanda) yang menerapkan sistem pendidikan sekuler berlainan. Beberapa
madrasah yang dikelola oleh organisasi-organisasi Islam melakukan resistensi
untuk tidak menerapkan pendidikan umum. Mereka lebih memperkuat bidang kajian
ilmu agama yang mempertegas sudut perbedaan dengan pendidikan sekuler Belanda.
Sementara madrasah yang dikelola Muhammadiyah, misalnya, menerima mata
pelajaran umum seperti diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, disamping
pelajaran agama. Demikianlah, sampai masa kemerdekaan keberadaan madrasah tetap
diperhitungkan sebgai salah satu lembaga pendidikan Islam, disamping pesantren
yang dalam banyak hal juga melakukan resistensi dan penyesuaian yang sama
terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Belanda. Keanekaragaman corak dan
bentuk pendidikan di madrasah ini menjadikan pembinaan terhadap madrasah
mengalami beberapa kendala.[12]
Sampai
saat ini, upaya pembinaan itu tampaknya belum menunjukan hasil yang diharapkan.
Walaupun telah mengalami beberapa kali perubahan, sistem pendidikan madrasah
masih menunjukan berbagai kelemahan. Salah satu yang mencolok adalah belum
terintegrasinya pendidikan agama dan pengetahuan umum. Meskipun proporsi
pengetahuan umum telah ditambah sampai 70%, sementara pelajaran agama 30%,
tidak serta merta rencana besar mengintegrasikan kedua bidang ilmu ini dapat
terealisasikan.
Keinginan
untuk menjadikan madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum,
tetapi tetap mempunyai pengetahuan agama yang cukup, tampaknya belum terwujud.
Barulah dengan keluarnya Undamg-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2
tahun 1989 yang diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 054/U/1/1993 tentang MI, MTs
dan MA wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama denagn SD, SLTP,
SMU dan ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs dan MA adalah sekolah umum yang
berciri khas agama Islam yang diselenggarakan Departemen Agama.
Madrasah-madrasah
dalam meningkatkan mutu pelajaran umumnya sehingga sederajat denagn
sekolah-sekolah umum yakni pelajaran umum pada SD, SLTP, SMA. Salah satu bentuk
pembinaan yang konkret dan sangat penting terhadap lembaga pendidikan agama
Islam ialah: adanya surat keputusan bersama antara Menteri Agama dan Menteri
Pdan K nomor 0299/V/1984(Dikdud); 645/1984 (Agama) tahun 1984: tentang
pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah, yang isinya
antara lain mengizinkan kepada lulusan sekolah (madrasah) agama untuk
melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi (Dirjen, 2000).[13]
Namun
demikian, peraturan itu tidak juga serta merta mengubah madrasah tumbuh dan
berkembang seperti yang diharapkan. Seperti kita ketahui, madrasah itu lahir,
tumbuh, dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membentuk,
membina, dan mengembangkannya. Dari segi kualitas perkembangan madrasah boleh
jadi sangat pesat, namun dari segi kualitas sangat lamban. Ini mungkin
konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cenderung memekar dan
belum sempat mendalam.
Keterikatan
masyarakat terhadap madrasah ini lebih ditampakkan sebagai “ikatan emosional”
ketimbang pilihan rasional. Ikatan ini muncul dikarenakan bertemunya dua
kepentingan. Pertama, hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperan serta
dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak disekitar tempat
tinggalnya). Kedua, memotivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mendapat
pendidikan agama yang cukup) di samping pendidikan umum.
Kuatnya
ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih
massif, populis dan mencerminkan suatu gerakan masyarakat bawah. Karena itu,
madrasah lebih banyak di pedesaan dan daerah pinggiran, dan lebih memotifasi
secara instrinsik bahwa belajar itu sebagai suatu kewajiban (lihat beberapa
hadis), dan kerja tanpa pamrih atau lillahita’ala. Motivasi agama ini
didukung pula oleh ajaran wakaf yang memberi dorongan bahwa tanah/sarana yang
telah diwakafkan akan terus mengalir amalnya walaupun yang bersangkutan telah
meninggal dunia. Maka tidak heran jika hampir seluruh tanah madrasah adalah
wakaf.
Keterikatan
emosional ini, di satu sis merupakan potensi dan kekuatan madrasah, dalam arti
rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of
responbility) masyarakat terhadap madrasah sangat tinggi karena merekalah
yang mendirikan. Hal ini juga menjadi faktor penting untuk menjamin sustainability
(kelangsungan hidup) madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan yang populis.
Akan tetapi, dipihak lain ia dapat menjadi kendala. Karena merasa sebagai
pemilik dan sebagai pendiri yang membina madrasah sejak awal, sebagian
masyarakat mungkin tidak akan begitu mudah menerima ide-ide reformasi yang diluncurkan
dari atas, kecuali dalam keadaan terdesak. Misalnya masyarakat dan /atau
yayasan merasa tidak mampu lagi membina sekolah dengan baik karena keterbatasan
sumberdaya dan kemampuan menejemen. Dengan kata lain, setiap usaha reformasi
madrasah akan berjalan lamban.
Reformasi
perguruan Agama Islam akan selalu menuntut perlunya perubahan sikap masyarakat
dan pengelola lembaga pendidikan (terutama swasta) dari paradigma baru, yaitu
madrasah sebagai pendidikan umum berciri khas Islam. Mungkin saja ada sebagian
masyarakat dan pengelola merasa keberatan dengan perubahan tersebut dengan
dalil bahwa muatan pendidikan keagamaan pada MI, MTs dan MA menjadi berkurang
dan lulusan madrasah tidak banyak bedanya dengan lulusan sekolah umum lainnya.
6. Madrasah Dewasa
Ini
Belakangan
ini banyak sekali kritik yang dilontarkan oleh para pakar terhadap sistem dan
model pendidikan kita. Di antara kritik tersebut dinyatakan oleh Profesor H. A.
R Tilaar bahwa pendidikan tak mampu lagi menanamkan persatuan bangsa. Pola
indroktinasi ideologi ternyata tidak berhasil karena terdapat kesenjangan
antara nilai-nilai yang diinginkan dengan praktek kehidupan nilai yang
diberikan para pemimpin. Contohnya, pemerintah dan pemimpin yang korup tidak
bisa mengharapkan rakyat melaksanakan nilai-nilai yang baik. Padahal, kata
Tilaar, pendidikan membutuhkan keteladanan.
Kritik
yang sama numun dengan muatan yang berbeda disampaikan oleh Prof. Zaenal Abidin
Eko Putro. Menurutnya, pendidikan agama belakangan ini tidak membawa dampak
apapun terhadap peserta didik terkait dengan persoalan-persoalan kekinian,
seperti kesadaran multikulturalisme, kebhinekaan, Hak Asasi Manusia, Demokrasi
dan Etika profesional. Sementara Profesor Mochtar Bukhori menilai dengan pedas
bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mengalami krisis identitas karena lonceng
kematiannya telah berdentang.[14]
Begitu pila pendidikan Islam telah kehilangan karakteresensialnya, sehingga
gagal menanamkan nilai-nilai luhur dari anak didik di sekolah-sekolah.
Perkembangan
masyarakat termasuk pendidikan madrasah
seperti yang telah diuraikan, tentunya tidak sesuai dengan apa yang
dituntut oleh masyarakat Indonesia baru. Oleh sebab itu diperlukan suatu
peninjauan kembali mengenai posisi madrasah di dalam dinamika kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Denagn kata lain, madrasah perlu merumuskan
kembali posisinya atau reposisi madrasah. Apabial tidak demikian maka madrasah
akan kehilangan identitasnya dan menjadi seperti sekolah yang diselenggarakan
oleh pemerintah selama ini. Hal demikian apakah masih mempunyai dasar untuk
kelanjutan hidup madrasah?
Telah
kita lihat tuntutan masyarakat Indonesia baru, antara lain demokratisasi
pendidikan yang memupuk lahirnya tingkah laku peserta didik yang demokratis,
hubungan yang demokratis antara guru dan peserta didik demi perkembangan
berpikir yang kreatif, pendidikan agama yang membentuk nilai-nilai moral serta
memperkuat iman dan taqwa, menguasai iptek, serta memupuk kerjasama dalam
persaingan sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat global.[15]
Memasuki
abad ke-21, Bangsa Indonesia Dihadapkan pada perubahan global yang menuntut
adanya sistem keterbukaan politik, ekonomi
dan budaya. Era ini disebut dengan era persaingan bebas dan keunggulan
teknologi informasi. Semua aspek kehidupan akan berubah secara drastia yang
beriringan dengan semakin tidak jelasnya batasan regional. Tatanan masyarakat
baru di atas akan melahirkan tuntutan dan tantangan baru pula. Tuntutan adanya
keterbukaan dalam politik, pembagian kekuasaan serta sumberdaya alam, menghargai
hukum dan hak asasi manusia serta transparasi dalam kebijakan pemerintah
semakin kuat. Atas dasar inilah, maka untuk memasuki era baru ini masyarakat
menghendaki adanya desentralisasi, dekonsentralisasi serta otonomi seperti
disebutkan dalam Undang-Undang No. 22tahun 1999tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun
2000tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai derah otonom.
Perubahan
yang terjadi dengan adanya peraturan ini pada gilirannya akan mempengaruhi tata
nilai kehidupan masyarakat yang mungkin sama sekali baru dan berbeda dengan
model nilai yang sekarang dianut masyarakat. Pada proses ini perubahan serta
kesiapan lembaga pendidikan dan institusi lainnya menjadi sangat penting, sebab
masyarakat yang berbeda pada proses transisi kultural sangat labil pada
berbagai benturan nilai.
Lembaga
pendidikan diharapkan dapat berperan besar dalam mengatur irama perubahan
tersebut. Kedudukan yang sentral dan direncanakan secara sistematik, lembaga
pendidikan diharapkan dapat menjadi perisai bagi perkembangan budaya serta
menjadi motor untuk mempercepat perubahan masyarakat. Peran ini akan berjalan
positif bila lembaga pendidikan ditempatkan pada posisi searah dengan cita-cita
sosial yang diinginkan masyarakat. Bila tidak demikian, maka lembaga pendidikan
akan hidup terasing dari masyarakat pendukunnya.[16]
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Pendidikan islam
mempunyai sejarah yang panjang dan berkembang seiring dengan laju peradaban
islam, kedatangan Islam mengantarkan transformasi yang sangat berarti bagi
masyarakat arab. Sebelum kedatangan Islam masyarakat arab belum memiliki model
pendidikan formal yang sistematis. Mereka hidup dalam suatau tatatanan yang
disebut dengan Jahiliyyah. Suatu polemik yang selalu muncul diantara pemerhati
sejarah pendidikan islam adalamengenai madrasah yang pertama kali muncul dalam
pendidikan islam. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa madrasah
al-Baihaqiyyah di Nashapur- Iran yang pertama kali muncul. Madrasah itu berdiri
pada akhir abad ke- 4 Hijrah (perempat
pertama abad ke-11 M). pendapat yang kedua menyatakan bahwa madrasah Nazamiyyah
di Baghdad adalah yang pertama muncul., yaitu tahun 459 H (1067 M ).
Pada awal
kemerdekaan tidak dengan sendirinya Madrasah di masukkan kedalam system
pendidikan Nasional. Madrasah memang terus hidup tetapi tidak memperoleh
bantuan sepenuhnya dari pemerintah. Madrasah dan dunia pendidikan islam pada
umumnya dibiarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan hidup
apa adanya.
Memasuki abad
ke-21, bangsa Indonesia di hadapkan pada perubahan global yang menuntut adanya
system keterbukaan politik, ekonomi, dan budaya. Perubahan yang terjadi
adanya peraturan ini pada gilirannya
akan mempengaruhi tata nilai kehidupan. Lembaga pendidikan diharapkan dapat
berperan besar dalam mengatur irama tersebut. Kedudukan yang sentral dan
direncanakan secara sistematik, lembaga pendidikan diharapkan dapat menjadi
perisai bagi perkembangan budaya serta menjadi motor untuk mempercepat
perubahan masyarakat.
B.SARAN
Dari pembuata
makalah ini, kami dari penyusun mengharapkan makalah ini bermanfaat dan bisa
menambah ilmi bagi para pembaca. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini, untuk itu kami mohon maaf dan mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz/Orientasi system pend. Agama di sekolah/Yogyakarta/Teras/2010.
Djumhur, Sejarah pendidikan,CV. Ilmu, Bandung, 1972.
Dr. H. Saefullah. SA. MA, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2010, Sejarah
dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara.
Dr. Husni Rahim, Arah baru pendidikan Islam di Indonesia, PT. Logos wacana Ilmu, 2001,
Jkt.
Dr. Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
Bulan Bintang, Jkt, 1979.
Dr. Zakiyah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, PT. Bumi
Aksara, 2009.
Dr. Hasan Basri, M.Ag. Ilmu Pendidikan Islam( Jilid II),
Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Abdul Rochaman Shaleh, Jakarta, Rajawali Press, 2004.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M. Sc. Ed, Paradigma Baru, Pendidikan
Nasional, PT. ASDI MAHASATYA,
Jakarta, 2000.
Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta,
Bumi Aksara, 2003.
Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam, Direktorat Pendidikan
Madrasah Kementrian Agama,2010, Tim Direktorat Pendidikan Madrasah , Jakarta
[1] Suyuthi Pulungan, Revitalisasi
Pendidikan Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 2006), h.
19.
[2] Asma Hasan Fahmi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 40-41.
[5]Mahmud
Arif,Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: Lkis, 2008), h.
199.
[6] Tim Direktorat Pendidikan
Madrasah, Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam, (Jakarta: Tim
Direktorat Pendidikan Madrasah, 2010), h. 20.
[7] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah
dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 14-15.
[9] Abdul Rachman Shaleh, Madrasah
dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 22.
[12] Husni Rahim, Arah Baru
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Logos wacana Ilmu, 2001), h.
137-138.
[14] Direktorat Pendidikan
Madrasah Kementrian Agama, Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam,
(Jakarta: Tim Direktorat Pendidikan Madrasah,2010), h. 23-24.
[16] Abdul Rachman Shaleh , Madrasah
dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 79-80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar