Rabu, 25 April 2012

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

 
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH (ASWAJA)
                                
Silabus :
1.      Definisi ; etmologis dan terminologis (substanial dan formal/institusionsl)
2.      Sejarah ; -periode Rasul SAW   -periode sahabat   -periode tabi’in   -periode mazhab 
4   -periode Al-Asy’ari dan Al-Maturidi   -periode Al-Ghazali dan Al-Junaid
3.      Aswaja sebagai mazhab baru
4.      Aswaja sebagai manhaj al-fikr
5.      Kontroversi aswaja
6.      Perkawinan aswaja dengan NU
7.      Tasamuh, Tawazun, Ta’addul, dan Tawasuth
8.      Pembentukan sikap aswaja.
Literatur :
1.      Aktualisasi Paham Aswaja, DR. KH Noer Iskandar Al-Barsani
2.      Aswaja An-Nahdliyah, LTN NU Jatim
3.      Aswaja, KH U Balukia Syakir
4.      Aqidah Aswaja, Drs Tgk H Z A Syihab
5.      Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Aswaja, DR. KH Noer Iskandar Al-Barsani
6.      Hujjah NU (Aqidah-Amaliah-Tradisi), KH Muhyidin A
7.      Islam Aswaja di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU
8.      Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari Ttg Aswaja, A Muhibin Z
9.      Konsep Dasar Pengertian Aswaja, KH Drs Achmad Masduqi

Definisi / batasan :
A.      Etimologis / bahasa ;
Ahl                ; golongan, pengikut, keluarga
As-Sunnah   ; tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan dan      tindakan Rasulullah SAW
 Wa                ; dan atau serta
Al-Jama’ah  ; jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul SAW. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.

Maka secara etimologis, aswaja berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasul SAW dan jalan hidup para sahabatnya (lebih khusus sahabat 4.
*jalan hidup Rasul SAW adalah ekspresi nyata dari isi kandungan Al-Qur’an
*para sahabat (khususnya sahabat 4) adalah generasi pertama dan utama dalam melazimi perilaku Rasul SAW.

                                                              
B.      Teminologis / istilah ;

1.      Substansial (jauhari yang bersifat umum).
Menurut Abul Fadl bin As-Syekh Abdus Syakur Al-Anshari dalam kitab “Al-Kawakibul Lama’ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlis Sunnah wal Jama’ah ;
Aswaja adalah golongan yang senantiasa berpegang teguh (commited) mengikuti sunnah Rasul SAW dan petunjuk (thariqah) para sahabatnya, baik dalam lingkup aqidah, ibadah, maupun dalam lingkup ahlak.

Kata lain ;

 Aswaja ialah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasul SAW dan jejak hidup para sahabatnya, dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalil/Hadits ;

     عن عبد الله بن عمرو قال , قال رسول الله  ص م : إن بنى اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة , وتفترق امتى على ثلاث وسبعين ملة كلهم فى النار الا ملة واحدة , قالوا من هى يارسول الله ؟  قال ما انا عليه واصحابى . ( رواه الترمدَى )
      
      والدَى نفس محمد بيده , لتفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة , فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار , قيل من هم يارسول الله ؟  قال : اهل السنة والجماعة . ( رواه الطبرانى )

      فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين , تمسكوا بها وعضوا عليهما بالنواجدَ . ( رواه ابوداوود )
  

2.      Formal / institusional (‘aradli yang bersifat khas, setelah melalui konteks historis
dan mengalami revitalisasi) ;

Aswaja adalah sebuah paham yang dalam lingkup fiqh mengikuti salah satu dari mazhab 4 ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ), dalam lingkup kalam mengikuti salah satu dari pemikiran Al-Asy’ari atau Al-Maturidi, dan dalam lingkup tasawuf mengikuti pemikiran Al-Ghazali dan Al-Junaid.

Tetapi ketiga lingkup tersebut substansinya tetap merujuk kepada sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an  dan As-Sunnah.

Tugas :

Tulislah 3 (tiga) buah hadits tentang firqah umat Islam dengan huruf dan bahasa Arab lengkap artinya !.

Sejarah

1.      Periode Rasul SAW

Ketika Rasul SAW masih hidup, ajaran Islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat dan tidak menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pribadi Rasul SAW sbagai pembawa Islam dan sebagai suri tauladan, terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahi.  Dan  para  sahabat  terbimbing  dan  terkontrol langsung oleh Rasul    SAW. Amaliah Rasul mustahil menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an. Amaliah Rasul yang mempribadi kemudian disebut sebagai As-Sunnah.  Amaliah  para  sahabat yang
meneladani Rasul SAW secara langsung, kemudian melekat menjadi jalan hidup mereka, dan selanjutnya disebut sebagai thariqah sahabat.
                                                              
2.      Periode Sahabat

Pasca Rasul SAW , sejak Abu Bakar As-Siddiq di bai’at menjadi khalifah sampai berakhirnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, kehidupan umat Islam bernuansa lain dan mulai muncul perpecahan.

-Pada masa Khalifah Abu Bakar muncul gerkan pembangkang zakat yang menjadi sendi Islam, juga muncul gerakan anti Islam melalui nabi-nabi palsu ( Musailamah Al-Kazzab, Aswad Al-Ansi, Tuhailah bin Khuwailid ).
-Meluasnya wilayah pemerintahan Islam dizaman Khalifah Umar bin Khattab, menimbulkan dendam dari para penguasa yang ditaklukkan. Mereka menyusupkan ajaran agama mereka ke dalam ajaran Islam, bahkan terjadi kasus pembunuhan terhadap Khalifah Umar.
-Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, fenomena perpecahan mulai lebih jelas lagi. Issu nepotisme merebak. Provokator ulung Abdullah bin Saba’ (yahudi yang pura-pura muslim) berhasil mempengaruhi para elit politik. Kontra politik dibesar-besarkan hingga terjadi pemberontakan diberbagai daerah ( a l : Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat lain ). Muncul pula mazhab “wishayah” yang diciptakan oleh Abdullah bin Saba’ ( berupa doktrin bahwa Rasul telah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti kedudukan khalifah ). Mazhab wishayah diperkut lagi dengan paham yang disebut “haq Ilahi” yang juga dicetuskan  Abdullah bin Saba’ ( kedudukan khalifah adalah hak Tuhan, dan hak Tuhan itu jatuh kepada Ali melalui wasiat Rasul ).
-Pada masa Usman golongan non aswaja sudah mulai berani menampakkan diri, terlebih pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Partai-partai politik mulai bermunculan dan terjadi perpecahan diantara umat Islam yang menjadi sumber perbedaan paham ajaran Islam. Selain Syi’ah, ada pula partai Khawarij yaitu orang-orang yang keluar dari golongan Ali.  Tetapi  sesungguhnya  pengikut  paham-paham

yang muncul dan keluar dari rel ajaran Rasul tidak sebanyak dibanding golongan aswaja.

Golongan mayoritas secara substansial adalah golongan aswaja, tetapi golongan mayoritas ini belum disebut sebagai golongan aswaja. Para ulama menyebutnya dengan istilah berbeda-beda, a l ;
a.      Jumhur al-Ummah al-Islamiyah ( mayoritas umat Islam )
b.      Jama’iyah ( umat terbesar )
c.       As-Sawad al-A’dham ( kelompok terbesar )
d.      As-Salaf as-Shalih ( para pendahulu yang shalih-shalih )
e.      Ahl al-Haq ( golongan yang haq/benar ).          

      3. Periode Tabi’in

            Yang dimaksud periode tabi’in dalam hal ini yaitu periode pasca kekhalifahan Ali bin
            Abi Thalib yang ditengarai oleh munculnya sekte-sekte Islam seperti :
                                                             
a.      Qadariyah
b.      Murji’ah
c.       Mu’tazilah
d.      Jabariyah

a). Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad Al-Juhani dan Gailan Al-Dimasyqi, antara lain berpendapat bahwa manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan sama sekali dari Tuhan.

b). Murji’ah yang dipelopori Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Shalah As-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, berpendapat tentang penangguhan hukuman duniawi hingga hari kiamat.

c). Jabariyah pendirinya Jaham bin Sofwan (sering disebut sekte Jahamiyah) menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh qadar Tuhan.

d). Mu’tazilah ( Ahlul ‘Adl wat Tauhid ) yang pendirinya Wasil bin Atha AL-Ghazal terlalu berlebihan memuja kemampuan akal. Pendapatnya antara lain ; -Al-Qur’an adalah mahluk dan bersifat hadits. – Tuhan Esa tanpa bersifat.

Sampai periode tabi’in ini, istilah aswaja belum muncul secara institusional. Namun golongan yang secara substansial berada di dalamnya tetap berjumlah mayoritas.

3.      Periode Imam Mazhab Empat

Periode Imam Mazhab 4 merupakan periode kemunculan aliran (mazhab) dibidang fiqh, yang jumlahnya semula sangat banyak. Tetapi kemudian tinggal 4 mazhab saja yang hingga kini diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam, yaitu ;
1.      Mazhab Hanafi, pendirinya bernama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, lahir di Kufah tahun 80 H  dan  wafat tahun 150 H. --- Ahlur Ra’yi / Qiyas 
2.      Mazhab Maliki, pendirinya Malik bin Anas Al-Ashbahy, lahir di Madinah tahun 93 H  dan  wafat tahun 179 H. --- Ahlul Hadits
3.      Mazhab Syafi’i, pendirinya Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi, lahir di Ghazza/Ghuzzah tahun 150 H  dan  wafat di Mesir  tahun 204 H. --- Perpaduan 1 dan 2
4.      Mazhab Hambali, pendirinya Ahmad bin Hambal As-Syaebani, lahir di Baghdad tahun 164 H  dan  wafat tahun 248 H. --- Ahlul Hadits.

Ke empat Imam Mazhab tersebut adalah para penegak substansi paham aswaja.
                                                              
4.      Periode Al-Asy’ari  dan  Al-Maturidi
                                                               
Periode ini merupakan periode institusi aswaja, khususnya dalam lingkup kalam (teologi). Semenjak kemunculan dua tokoh besar Al-Asy’ari dan Al-Maturidi sedemikian melembaganya nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.    

1.      Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, lahir di Basrah tahun 260 H / 873 M  dan  wafat tahun 324 H / 935 M. Semula Al-Asy’ari tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, bahkan Al-Asy’ari yang cerdas dan mahir berargumentasi menjadi penganut setia mu’tazilah dan ditokohkan. Namun kemudian Al-Asy’ari berdiri sendiri dengan aliran kalam yang dicetuskannya dan menjadi guru bagi banyak orang.
2.       Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi, lahir di Maturid – Samarkand tahun 248 H / 862 M  dan  wafat tahun 333 H / 944 M.

Ke dua tokoh ini sama-sama berjuang keras menegakkan akidah aswaja dengan menolak paham Mu’tazilah yang saat itu berkembang dan mendapat dukungan politis dari Daulah Bani Abbasiyah ( terutama Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wasiq ). Meskipun kemasan institusi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi hanya dalam lingkup kalam, tetapi segera mendapat sambutan dari berbagai pihak dan penjuru memperkuat institusi aswaja sebagai sebuah paham mayoritas kaum muslimin.  
    
5.      Periode Al-Ghazali dan Al-Junaid

1.      Al-Ghazali bernama lengkap Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, lahir di Tus (distrik Khurasan) tahun 450 H / 1058 M dan wafat tahun 505 H / 1111 M. Beliau seorang tokoh yang sangat populer dikalangan umat Islam.
2.      Sebelum Al-Ghazali, lebih dahulu telah muncul seorang tokoh dibidang tasawuf yaitu Al-Junaid yang bernama lengkap Abul Qasim Al-Junaid bin Muhammad bin Junaid Al-Baghdadi, wafat tahun 297 H / 909 M.



Kedua tokoh ini mempermantap institusi aswaja, khususnya dalam lingkup tasawuf (ahlak). Dan sampai disini, batasan formal (‘aradli) tentang paham aswaja mengalami revitalisasi sebagaimana disebut di muka.

Aswaja Sebagai Mazhab Baru

Mazhab menurut bahasa berarti jalan. Adapun menurut istilah, mazhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid. ( KH Zainuddin Dimyathi, Al-Idza’ah Al-Muhimmah, hal. 18 ).

المدَهب هو الأحكام فى المسائل التى دَهب واعتقد واختارها الإمام المجتهد

*hukum-hukum berbagai masalah = hasil ijtihad
*mazhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para    ulama.  Mazhab itu ada  dan  terbentuk  karena  terdapat  beberapa  persoalan  yang   masih menjadi perselisihan dikalangan ulama, kemudian hasil pendapat ulama (mujtahid) itu disebar luaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
                                                                    
Paham aswaja adalah paham Islam secara menyeluruh. Para ulama tidak berbeda pendapat, bahwa Islam secara makro meliputi lingkup aqidah (kalam), ibadah (fiqh), dan ahlak (tasawuf). Dan selanjutnya masing-masing disebut aqidah (kalam) aswaja, ibadah (fiqh) aswaja, dan ahlak (tasawuf) aswaja.

Substansi paham aswaja dalam lingkup aqidah yang tetap mengikuti sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah institusi yang dicetuskan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Meskipun pemikiran kalam mereka berdua tidak sama persis, tetapi tetap committed terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak sampai mensejajarkan apalagi memujuanya. Institusi kalam mereka berdua kemudian disebut Al-Asy’ariyah atau Al-Maturidiyah. Keduanya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh pengikut yang menyebarkan dan mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskannya sehingga menjadi aliran (mazhab) kalam yang berkembang dan diikuti oleh mayoritas umat Islam.

Institusi fiqh atau syari’ah yang sejalan dengan konteks substansi paham aswaja ialah fiqh empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Bahkan mazhab Hanafi dianut pula oleh Al-Maturidi, sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula oleh Al-Asy’ari. Meskipun antara keempat mazhab fiqh tersebut ditengarai banyak perbedaan, tetapi perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam koridor ikhtilaf rahmah. Keempat mazhab tersebut masih sama-sama committed terhadap petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah, sama-sama taqdimun Nas ‘alal Aql. Mereka menggunakan akal sebatas untuk beristinbath, tidak sampai mensejajarkan apalagi mengabaikan Nash.


Dalam lingkup ahlak (tasawuf), aswaja mengikuti wacana ahlak yang dikembangkan oleh  tokoh-tokoh seperti  Al-Ghazali, Al-Junaid  dan  tokoh-tokoh lain  yang sepaham termasuk Abu Yazid Al-Bustami. Pemikiran ahlak mereka memang tidak melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagimana dalam lingkup aqidah dan fiqh. Namun wacana mereka sejalan dengan substansi paham aswaja serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam.

Ketiga lingkup (aqidah, fiqh, dan ahlak) itu satu dengan yang lain tidak terpisahakan, semuanya integral dan diamalkan secara bersamaan oleh kaum sunni. Dan corak pemikiran dalam ketiga lingkup itu menjadi paham (mazhab) aswaja.

Tugas :
1.      Nama kitab karya Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, masing-masing 4 buah.
2.      Nama murid/tokoh pendukung dan pengembang paham Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah, masing-masing 4 nama/orang.
3.      2 nama kitab karya salah satu mazhab empat.
4.      2 nama kitab karya Al-Ghazali.

Ketrangan :
1.      Pilih 2 dari 4 tugas tersebut di atas
2.      Tulis dalam lembar kertas bergaris dengan mencatumkan nama, kelas, dan nomer urut absen.

Aswaja Sebagai Manhaj Al-Fikr

Pola pikir yang diisyaratkan oleh paham ahlussunnah wal jama’ah adalah taqdimun nash dan rasional, atau mengutamakan nas tetapi dalam memahami nas itu  digunakan logika filsafat yang rasional.

1.      Taqdimun nash

Pola pikir mendahulukan petunjuk nash terindikasi oleh komitmen tegas aswaja dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam.   Menjadikan  Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber rujukan vital dalam setiap aspek kehidupan (aqidah, ibadah, dan ahlak), sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya pada periode awal kelahiran Islam.

Dengan pola pikir taqdimun nash ini, ajaran Islam akan terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim. Dalam lingkup aqidah terhindar dari pemikiran kalam liberal yang terlalu mendewakan kemampuan akal. Dalam lingkup ibadah terlepas dari egoisme pembenaran pendapat pribadi ataupun mazhab. Dan dalam lingkup ahlak akan terhindar dari pemikiran mistis non Islam.

Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi pedoman kebenaran mutlak. Peran logika-filsafat dalam pemikiran kalam  tetap  ternaungi  oleh  kebenaran  mutlak Al-Qur’an dan As-
Sunnah.   Perbedaan  pendapat  fiqhiyah  yang  memang interpretable tetap menjadi ikhtilaf rahmah. Dan pemikiran-pemikiran tasawuf pun tetap sejalan dengan garis-garis nash.

2.      Rasional

Taqdimun nash tidak berarti menganulir atau menafikan kebenaran rasio (akal). Bahkan dalam paham aswaja, akal mendapat tempat yang sangat terhormat sejalan dengan penghormatan yang diberikan oleh semangat nash itu sendiri (banyak ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah mengungkap tentang penggunaan akal).

Aswaja memberi porsi untuk berpola pikir rasional, tetapi mengingat kemampuan akal sangat terbatas dan variatif, mustahil dapat menembus kebenaran mutlak dan hasilnya bervariasi antara akal satu dengan yang lain. Maka menjadi logis jika disebut ; akal bukan bandingan naql (nash). Dan menjadi irrasional jika sampai mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal dengan kebenaran naql (sama dengan membandingkan kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan).

Pola pikir yang dikembangkan aswaja ialah menempatkan rasio/akal sebagai alat bantu untuk memahami kandungan naql, itupun terbatas pada apa yang bisa dijangkau oleh kemampuan akal.   Penggunaan  ta’wil (penafsiran metafores/majazi)                                                                 
terbatas pada ayat-ayat mutasyabihat dengan pena’wilan yang terbatas pula (tidak terlalu mendalam).

Dengan pola pikir yang demikian, maka paham aswaja senantiasa representatif dalam setiap zaman, sejalan dengan representasi ajaran Islam sampai kapan pun dan dimana pun, bahkan dalam keadaan bagaimana pun (Islam aktual dan up to date).
 
Kontroversi Aswaja

Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah cukup luas dalam berbagai sisi. Sebagai gambaran dapat disampaikan beberapa contoh :

Hadits mengenai firqah umat Islam

Hadits yang melansir tentang prediksi perpecahan umat Islam diantaranya diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, Nasai, Ibn Majah dan Hakim.  Tirmidzi meriwayatkan hadits ini dari 4 jalur sanad yaitu  Abu Hurairah, Sa’ad, Abdullah bin Amr, dan Auf bin Malik dengan teks (lafaz) beragam. Menurut Ibnu Isa hadits ini hasan shahih, dan dikalangan ahli hadits lainnya status hadits ini tidak dipersoalkan otoritasnya sebagai hujjah. (Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari, dari Albani, Silsilah Ahadits As-Shahihah wa Syai’un Min Fiqhiha wa Fawaidiha, hal. 33).


Dalam teks lain dari jalur Abdullah bin Umar menurut riwayat Tirmidzi terdapat tambahan kata-kata  (kulluhum fin nar illa millatan wahidah,  qaaluu  waman hiya ya rasulallah, qaala maa anaa ‘alaihi wa ashhabii). Karena hanya ada satu jalur periwayatan, maka Tirmidzi menyebut bahwa hadits ini berstatus hasan gharib. Awalnya hadits tersebut berstatus lemah (dla’if), karena salah satu periwayat yakni Abdur Rahman bin Ziyad Al-Ifriqi menjadi penyebab  status kedla’ifannya. Tetapi karena ada hadits penguat dari jalur lain, maka berstatus hasan. (ibid, dari Al-Mabarakafuri, Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi).

Nama Ahlussunnah wal Jama’ah

Al-Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk kata As-Sunnah dan Al-Jama’ah sebagaimana yang menjadi pengertian populer tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an terdapat kata As-Sunnah dibanyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan Allah bagi pola hidup manusia sebagai individu maupun kelompok. Demikian halnya dengan kata Al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, sekalipun memang banyak kata derivasinya seperti  kata    jami’an,  yajma’un,  jami’un   dan  lain-lain   dengan  pengertian  yang                                                                                                                                                                                beragam. Term Ahlussunnah wal Jama’ah ditemukan dari hadits tentang firqah umat Islam dan kemudian melembaga setelah melalui konteks historis.  Dan selain aswaja,
ada istilah lain yang juga digunakan untuk mengidentifikasi kelompok sunni (disamping 5 nama yang sudah disebut dimuka) yaitu :
                                                           
1.      Ahlussunnah wal Jama’ah wal Atsar
2.      Ahlul Hadits was Sunnah
3.      Ahlussunnah wa Ashhabul Hadits
4.      Ahlussunnah wal Istiqamah
5.      dan Ahlul Haq was Sunnah

Kelompok / golongan mana ?

Jika dirunut dari pemahaman substansi Ahlus Sunnah, maka pengertiannya sangat longgar dan relatif dapat merangkum semua umat Islam, kecuali yang mengingkari sunnah. Tetapi kata Al-Jama’ah sebagaimana yang dipahami mengikuti thariqah sahabat (terutama sahabat 4 / Al-Khulafaur Rasyidun) telah menafikan golongan syi’ah.

Secara substansi mayoritas umat Islam yang commited terhadap sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah sunni. Pengertian ini membuat setiap aliran dalam Islam (yang menyatakan bagian dari Islam) secara normatif berhak mengklaim diri sebagai aswaja. Tetapi pada era Al-Asy’ari batasan aswaja (kalam) telah jelas dan menjadi sebuah aliran. Revitalisasi batasan aswaja dalam wilayah paham (fiqh, aqidah, dan tasawuf) sesuai dengan kurun waktu para imam mazhabnya (antara abad ke 2 sampai abad ke 5 H), sehingga paham dan kaidah-kaidahnya telah membedakan aswaja dengan paham lain.

Masalah internal (khususnya di Indonesia)

Mengidentifikasi masalah yang muncul dikalangan komunitas sunni tentu cukup sulit, karena kompleksitas problem membutuhkan penelitian tersendiri. Beberapa hal yang gaung kontroversinya cukup kuat di masyarakat (Indonesia), bahkan terkadang menjadikan perselisihan dan sengketa, antara lain pada masalah :
-sistem kemazhaban dan atau klaim mazhabnya paling benar
-ijtihad dan taqlid                                                         
-aqaid 20 / 50 dan asmaul husna
-ritual ziarah kubur, tawassul, istighasah, syafa’at, qunut, adzan dua,maulid, thariqat dll
-dan lain-lain

Akar masalah dari beberapa perselisihan itu antara lain :

-pengetahuan manhaj al-fikr aswaja lemah
-tidak sampainya referensi buku/kitab karya para penegak (mazhab) dalam aswaja ke    para pelajar menengah ke bawah
-fanatisme sempit dan radikalisme
-aktualisasi paham kurang memadahi.

Perkawinan Aswaja dengan NU
                                                   
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai perkawinan aswaja dengan NU, perlu dikemukakan antara lain mengenai ; corak Islam di Nusantara, paham ke-Islam-an ulama pesantren, tujuan organisasi NU, dan implementasi aswaja di NU.

Corak Islam di Nusantara

Tinjauan historis tentang masuknya Islam di Nusantara dari aspek asal, waktu, dan pembawanya (muballigh) masih terdapat perbedaan pendapat dan menyisakan perdebatan antara para sejarawan. Namun mayoritas sejarawan sepakat mengenai corak Islam yang dibawa oleh para penyebar yang masuk ke Nusantara adalah Islam Sunni, dan mayoritas muslim Indonesia bermazhab Syafi’i. Meski tak bisa dibantah adanya sedikit pengaruh (varian) paham syi’ah, tetapi sejak awal Islam datang di Indonesia pengaruh paham sunni lebih dominan.

Paham ke-Islam-an Ulama Pesantren

Dari beberapa media proses penyiaran ajaran Islam di Nusantara, salah satunya melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengamalan ajaran Islam, sekaligus berfungsi sebagai pusat penyebaran Agama Islam.

Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan  tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke 18. Tetapi terdapat ceritera bahwa tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim ( w. 1419 M ). Dari situlah  kemudian  Raden Rahmat  atau  Sunan Ampel  mendirikan  pesantren di Kembang Kuning – Surabaya, kemudian ia mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selanjutnya bermunculan pesantren-pesantren, seperti pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran-Lamongan, Raden Fatah di Demak. Menurut para penulis sejarah, tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah para ulama yang dikenal dengan julukan Wali Sanga (sembilan wali).

Peran pesantren menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia sangat efektif. Para santri (kemudian menjadi ulama yang juga disebut kiai, ajengan, tengku, tuan guru) tersebar keberbagai daerah di Nusantara dan sangat berjasa dalam mewarisi pendidikan model pesantren dan dakwah Islamiyah. Pengaruh ulama / kiai dalam pengajaran dan pengamalan Islam pada komunitas muslim sangat kuat. Paham ke-Islam-an ulama pesantren pada umumnya adalah paham ahlussunnah wal jama’ah. Maka paham ke-Islam-an masyarakat pun pada umumnya adalah aswaja.
  
            Tujuan organisasi NU

Nahdlatul Ulama ( NU ) merupakan organisasi sosial keagamaan ( jam’iyah diniyah Islamiyah ) yang didirikan oleh para ulama (kiai) pesantren. Pilar utamanya adalah K H M Hasyim Asy’ari (tokoh kharismatik sebagai sumber legitimasi) dan K H Wahab Chasbullah (inspirator, motor penggerak, dan fasilitator pembentukan organisasi).

 Nahdlatul  Ulama  didirikan  sebagai  wadah  persatuan  para  ulama dalam tugasnya                                                             
memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin. Tujuan utamanya adalah berlakunya ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama’ah didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsistensi NU dan warga nahdliyin dalam memelihara, melestarikan, dan mengembangkan Islam ala ahlissunnah wal jama’ah selalu solid, karena NU lahir untuk mengawal paham ahlussunnah wal jama’ah. Maka istilah aswaja sangat populer dan familier dikalangan nahdliyin karena sering disebut-sebut oleh para tokohnya.

Implementasi aswaja di NU

Implementasi paham aswaja di NU sebagaimana koridor yang telah disebutkan dalam manhajul fikr yaitu ;  taqimun nash dan rasional. Ada beberapa tipikal pendekatan ajaran Islam di NU, yang perlu dikemukakan disini, antara lain ;

1.      Dalil hukum Islam (yang disepakati mayoritas ahli ushul) adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hierarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Empat sumber hukum ini berdasarkan Q S An-Nisa’ : 59.

يايها الدَين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم   فإن تنازعتم فى
 شيئ فردوه الى الله والرسول  . . .  الاية

Al-Qur’an secara keseluruhan terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat, terbagi dalam 30 juz. As-Sunnah berupa qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah sesuai dengan klasifikasinya (mutawatir, shahih, dla’if). Ijma’ (kesepakatan para mujtahid disuatu  zaman  tentang  satu  permasalahan  hukum  yang terjadi ketika itu) baik yang sharih (melalui pernyataan) maupun yang sukuti (melalui diam). Qiyas [menyamakan hukum cabang (far’u) kepada asal (ashlu) karena ada kesamaan illat (sebab) hukumnya] yang jaly, khafi, musawi maupun aulawi. Adapun dalil lain (yang diperselisihkan) adalah urf, syar’u man qablana, mazhab shahabi, istihsan, istishab, istishlah, dan saddudz dzara’i.
2.      Ijtihad (mencurahkan segala upaya / kemampuan pikir untuk  menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, Qiyas serta dalil lainnya) harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang dan membutuhkan jawaban dari sisi agama. Tetapi guna menjaga kualitas keabsahan  hukum Islam, maka seorang mujtahid dituntut memenuhi persyaratan ;
-menguasai bahasa Arab (termasuk qawa’idul lughah dan balaghah)
-menguasai dan memahami Al-Qur’an
-menguasai dan memahami Al-Hadits
-mengetahui ijma’ sahabat
-memahami qiyas
-menguasai ushul fiqh
-memahami maqashidus syar’i
-memahami sebab-sebab ikhtilaf
-menguasai patokan  dalam menghadapi ta’arudl (kontradiksi antar dalil)
-memahami sosio historis dan ciri umum budaya umat
-mampu mengaplikasikan istinbath hukum secara sistimatis.
3.      Taqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut) diperbolehkan.  Allah  tidak   mewajibkan   secara                                                           
fardu ‘ain untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Disamping itu, untuk melakukan  ijtihad harus memenuhi persyaratan yang berat, dan tidak setiap orang memiliki kesempatan dan kesanggupan menguasai  ilmu-ilmu dimaksud.
4.      Bid’ah terbagi menjadi ; hasanah (inovasi baik) dan bid’ah sayyi’ah (inovasi jelek). Bid’ah hasanah diklasifikasikan menjadi bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Sedangkan bid’ah sayyi’ah diklasifikasikan menjadi bid’ah makruhah dan muharramah.
5.      Bermazhab fiqh secara qauliy (pengutipan utuh qaul yang sudah terbukukan), maupun manhajiy (pemecahan problem hukum berpedoman kepada metode istiqra’ suatu mazhab) hanya kepada empat mazhab, dengan pertimbangan :
-kualitas individu dan keilmuan mereka terkenal dan diakui seluruh umat Islam
-merupakan mujtahid muthlaq mustaqil
-murid-muridnya konsisten menulis dan mengajarkan mazhabnya (jalur   periwayatannya valid)
-diantara mereka terdapat hubungan intelektual.
6.      Kaidah fiqhiyah yang dirumuskan oleh para ulama, yang populer antara lain :
-Al-Muhafadhah ‘alal Qadimish Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kaidah ini memberikan ruang pelestarian nilai-nilai yang baik pada kebiasaan lama dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.
-Al-‘Adah Muhakkamah (adat dapat menjadi hukum). Rumusan hukum yang tidak bersifat absolut (qath’i) dapat ditata selaras dengan subkultur masyarakat menurut ruang dan waktu untuk kesejahteraan dan kebaikan masyarakat tersebut.
-Al-Hukmu Yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah keputusan itu   terkait dengan sebabnya). Sebuah kebijakan (hukum) yang dilakukan dipengaruhi oleh alasannya.
-Ma La Yatimmul Wajibu illa Bihi Fahuwa Wajib (jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu juga menjadi keharusan). Sebuah idealisasi harus diupayakan dengan memperhatikan faktor lain yang berkaitan.
-Idza Ta’aradla Mafsadatani Ru’iya A’dhamuhuma Dlararan Birtikabi Akhaffihima (jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan, maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar, dengan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya). Kaidah ini merupakan solusi untuk mempertimbangkan resiko buruk dengan cara memilih kebijakan yang dampak buruknya paling ringan.
-Dar’ul mafasidi Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih (mencegah bahaya lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan). Memilih langkah menghindari bahaya itu lebih baik dari pada mengupayakan kebaikan yang beresiko tinggi.
-Tasharruful Imam Man’utun bi Mashlahatil Ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya).
- dll.

Dari uraian tersebut diatas, maka nampak bahwa paham aswaja yang telah ada       sejak awal masuknya Islam di Indonesia, mendapat pengawalan dari ulama pesantren dan Nahdlatul Ulama ( NU ), sehingga pertemuan aswaja-NU menemukan formulanya.


Tawasuth, Tawazun, Tasamuh, dan Ta’addul

Pola umum Islam aswaja sebagai aliran pemikiran yang membedakan dengan aliran / paham lain adalah kecenderungan pemikiran tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta’addul.
                                                                
1.      Tawasuth ( tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim ). Suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrim (tatharruf). Misalnya  dalam  kalam  antara   Qadariyah   dengan   Jabariyah,   antara   kaum

tekstualis Mujassimah dengan rasionalism Mu’tazilah. Sikap ini disarikan dari Q S Al-Baqarah : 143

وكدَالك جعلناكم امة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا . . . الاية

Pengambilan jalan tengah bagi kedua ekstrimitas itu juga disertai dengan  sikap Al-Iqtishad (moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda.

2.      Tawazun ( seimbang ) dalam segala hal. Corak ini dibangun terutama dalam dimensi sosial politik. Dengan  prinsip tawazun, aswaja berusaha mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat Islam. Dengan tawazun, muncul keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan, muncul konsep penyatuan antara tatanan duniawi dan tatanan agama. Landasan pola tawazun terdapat dalam Q S Al-Hadid : 25.

لقد ارسلنا رسلنا بالبينت وانزلنا معهم الكتب والميزان ليقوم الناس بالقسط .(الاية)

3.      Tasamuh ( toleran ) merupakan corak pemikiran aswaja terhadap realita pluralitas pemikiran. Aswaja juga memberikan pengakuan dan tempat bagi berbagai pemikiran yang pernah tumbuh dalam perjalanan sejarah umat Islam. Toleransi ini sangat tampak dalam pemikiran hukum Islam yang banyak menyentuh aspek relasi sosial. Demikian juga dalam sosial budaya, aswaja sangat toleran terhadap tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan berusaha mengarahkannya.  Tasamuh ini bisa dipahami dari Q S Thaha : 44

فقولا له قولا لينا لعله يتدَكر او يخشى . . . ( الاية )
                  Q S Ali Imran : 159

فبما رحمة من الله لنت لهم   ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك . .( الأية )

4.      Ta’adul / i’tidal (tegak lurus / adil ). Al-Qur’an secara tegas memerintahkan untuk tegak membela kebenaran dan berlaku adil. Keadilan diyakini merupakan nilai / spirit Islam yang aktual. Lihat Q S Al-Maidah : 8

يايها الدَين أمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط   ولايجرمنكم شنان قوم على الا تعدلوا  اعدلوا هو اقرب للتقوى . . . ( الاية )

           

Pembentukan Sikap-sikap Aswaja

Kepentingan masyarakat Islam merupakan orientasi gerakan perjuangan NU. Maka pada muktamar ke 13 tahun 1935, NU merumuskan konsep pembentukan sikap masyarakat yang ideal (guna amar ma’ruf nahi munkar berpedoman Q S Ali ‘Imran : 110 dan). Konsep pembentukan sikap ini merupakan prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada  setiap  pribadi  muslim  yang  terformulasiakn  dalam “Mabadi’ Khaira Ummah” (dasar, landasan, atau langkah awal membangun umat yang baik).

Mabadi’ khaira ummah merupakan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masayarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik itu dengan penanaman nilai-nialai : as-shidq (kejujuran), al-amanah wal wafa’ bil ‘ahdi (komitmen dan memenuhi janji), dan at-ta’awun (komunikatif dan solutif).

Pada Munas Alim Ulam di Bandar – Lampung tnggal 21-25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk menambah (menyempurnkan) mabadi’ khaira ummah dengan al-istiqamah (kontinuitas/konsisten) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan). Maka prinsip-prinsip mabadi’ khaira ummah menjadi ada lima :

As-Shidq mengandung pengertian kejujuran / kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sehingga dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konsepsi, dan implementasi. Prinsip kejujuran otomatis akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunitas, distorsitas, dan manipulatif. Jujur kepada diri sendiri, kepada sesama, dan kepada Allah. As-shidq juga mengandung pemahaman transparasi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama.

Adapun as-shidq dalam arti kesungguhan mendorong manusia agar serius, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai kegiatan dan tugas. ( lihat Q S Al-Baqarah : 177, Q S At-Taubah : 119 )

. . . اولئك الدَين صدقوا  واولئك هم المتقون .

ياايها الدَين أمنوا اتقواالله وكونوا مع الصادقين.

Al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi. Al-Amanah adalah pemenuhan terhadap beban  (maknanya lebih luas dari al-wafa’ bil ‘ahdi), sedangkan al-wafa’ bil ‘ahdi adalah pemenuhan tugas yang terkait dengan perjanjian. Manusia dituntut untuk berupaya menjadi pribadi yang dapat dipercaya dan setia menepati komitmen, baik yang berkaitan dengan agama, negara, maupun sosial. Kepercayaan membutuhkan konsistensi tanggung jawab, dan merupakan sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Manusia yang suka khianat dan ingkar janji, tidak akan mendapat keparcayaan dari kawan, sejawat dan relasi. ( lihat Q S An-Nisa’ : 58 ).

إن الله يأمركم ان تؤدوا الأمنت الى اهلها . . . ( الاية )

At-Ta’awun artinya tolong menolong. Prinsip at-ta’awun menjunjung tinggi sikap solidaritas sesama manusia dan berinteraksi bahu membahu dalam hal kebaikan, baik bersifat material maupun spiritual. At-ta’awun bukanlah prinsip dasar untuk menopang tindakan destruktif yang dapat memperburuk kondisi sosial budaya ataupun keberagamaan. ( lihat Q S Al-Maidah : 2 ).

. . . وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان . . . ( الأية )

Al-‘Adalah artinya keadilan. Prinsip keadilan mengandung pengertian obyetif, proporsional, dan taat asas. Prinsip keadilan mendorong manusia untuk berpegang pada kebenaran obyetif dan bertindak proporsional. Bersikap adil berarti mencita-citakan kebaikan dimuka bumi, karena dengan keadilan akan terwujud obyetifitas, proporsionalitas, dan supremasi hukum. Keadilan dan kebaikan merupakan dua sisi mata uang yang harus ditegakkan bersama-sama. ( lihat Q S An-Nahl : 90 ).

إن الله يأمر بالعدل والإحسان وايتائ دَى القربى . . . ( الاية )

Al-Istiqamah artinya tegak, mantap, kesinambungan, dan kontinuitas. Prinsip al-istiqamah ini mendorong manusia untuk kukuh dalam memegang ketentuan Allah, Rasul-Nya, para salafus shalih, dan norma yang telah disepakati barsama. Prinsip al-istiqamah menumbuhkan kepercayaan atas adanya proses, adanya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara satu periode dengan periode yang lain, merupakan kesatuan yang saling menopang dan terkait. Al-istiqamah juga membawa sikap progresif dan anti kejumudan yang akan menjamin proses mencapai kemajuan peradaban. Q S Ar-Rum : 43 memberi ilustrasi :

فأقم وجهك للدين القيم من قبل ان يأتى يوم لامرد له من الله يومئدَ يصدعون
                                                            
K H Ahmad Shiddiq menjelaskan  bahwa prinsip-prinsip tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta’addul (i’tidal) dalam tataran praktis dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut :

1.      Akidah
a.      Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli
b.      Memurnikan aqidah dari pengaruh luar Islam
c.       Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah, atau kafir
2.      Syari’ah
a.      Berpegang teguh pada Al-Qu’an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
b.      Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang jelas (sharih / qath’i)

c.       Dapat memerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi interpretatif (dhanni).
3.      Tasawuf / ahlak
a.      Tidak mencegah bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan  dengan prinsip-prinsip hukum Islam
b.      Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu
c.       Berpedoman pada ahlak yang luhur. Misal sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadlu’ (antara sombong dan rendah diri), sikap dermawan (antara kikir dan boros).  
4.      Pergaulan antar golongan
a.      Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing
b.      Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda
c.       Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai
d.      Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5.      Kehidupan bernegara
a.      NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa
b.      Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
c.       Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah
d.      Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6.      Kebudayaan
a.      Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama
b.      Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal
c.       Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan
7.      Dakwah
a.      Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridlai Allah SWT
b.      Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas
c.       Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

Dengan memahami uraian di atas ; mulai dari batasan, sejarah, mazhab, manhajul fikr, kaidah-kaidah, maupun mabadi’ khaira ummah, telah nampak kerangka bangunan paham aswaja, baik dalam kontek keagamaan, ekonomi, politik, sosial, budaya maupun lainnya. Adapun implementasi aswaja dan aktualisasinya, materi tersebut tentu  belum mencukupi, dan masih perlu upaya pendalaman materi teologi, fiqh, dan tasawuf serta cabang-cabang ilmu terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar