AHLUS SUNNAH
WAL JAMA’AH (ASWAJA)
Silabus :
1.
Definisi ; etmologis dan terminologis (substanial dan
formal/institusionsl)
2.
Sejarah ; -periode Rasul SAW
-periode sahabat -periode tabi’in -periode mazhab
4 -periode Al-Asy’ari dan Al-Maturidi -periode Al-Ghazali dan Al-Junaid
4 -periode Al-Asy’ari dan Al-Maturidi -periode Al-Ghazali dan Al-Junaid
3.
Aswaja sebagai mazhab baru
4.
Aswaja sebagai manhaj al-fikr
5.
Kontroversi aswaja
6.
Perkawinan aswaja dengan NU
7.
Tasamuh, Tawazun, Ta’addul, dan Tawasuth
8.
Pembentukan sikap aswaja.
Literatur :
1.
Aktualisasi Paham Aswaja, DR. KH Noer Iskandar Al-Barsani
2.
Aswaja An-Nahdliyah, LTN NU Jatim
3.
Aswaja, KH U Balukia Syakir
4.
Aqidah Aswaja, Drs Tgk H Z A Syihab
5.
Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Aswaja, DR. KH Noer Iskandar
Al-Barsani
6.
Hujjah NU (Aqidah-Amaliah-Tradisi), KH Muhyidin A
7.
Islam Aswaja di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU
8.
Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari Ttg Aswaja, A Muhibin Z
9.
Konsep Dasar Pengertian Aswaja, KH Drs Achmad Masduqi
Definisi /
batasan :
A.
Etimologis / bahasa ;
Ahl ; golongan, pengikut, keluarga
As-Sunnah ;
tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan dan tindakan
Rasulullah SAW
Wa ; dan atau serta
Al-Jama’ah ;
jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul SAW. Maksudnya ialah perilaku atau
jalan hidup para sahabat.
Maka secara etimologis, aswaja berarti golongan yang
senantiasa mengikuti jalan hidup Rasul SAW dan jalan hidup para sahabatnya
(lebih khusus sahabat 4.
*jalan hidup Rasul SAW adalah ekspresi nyata dari isi
kandungan Al-Qur’an
*para sahabat (khususnya sahabat 4) adalah generasi pertama
dan utama dalam melazimi perilaku Rasul SAW.
B.
Teminologis / istilah ;
1.
Substansial (jauhari yang bersifat umum).
Menurut Abul Fadl bin As-Syekh Abdus Syakur Al-Anshari
dalam kitab “Al-Kawakibul Lama’ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlis Sunnah wal
Jama’ah ;
Aswaja adalah golongan yang senantiasa berpegang teguh
(commited) mengikuti sunnah Rasul SAW dan petunjuk (thariqah) para sahabatnya,
baik dalam lingkup aqidah, ibadah, maupun dalam lingkup ahlak.
Kata lain ;
Aswaja ialah
golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasul SAW dan jejak hidup para
sahabatnya, dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalil/Hadits
;
عن عبد الله بن عمرو قال , قال رسول
الله ص م : إن بنى اسرائيل تفرقت على
ثنتين وسبعين ملة , وتفترق امتى على ثلاث وسبعين ملة كلهم فى النار الا ملة واحدة
, قالوا من هى يارسول الله ؟ قال ما انا
عليه واصحابى . ( رواه الترمدَى )
والدَى نفس محمد بيده , لتفترق امتى على
ثلاث وسبعين فرقة , فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار , قيل من هم يارسول
الله ؟ قال : اهل السنة والجماعة . ( رواه الطبرانى )
فعليكم
بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين , تمسكوا بها وعضوا عليهما بالنواجدَ . ( رواه ابوداوود )
2.
Formal / institusional (‘aradli yang bersifat khas, setelah melalui konteks
historis
dan mengalami revitalisasi) ;
Aswaja
adalah sebuah paham yang dalam lingkup fiqh mengikuti salah satu dari mazhab 4
( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ), dalam lingkup kalam mengikuti salah satu
dari pemikiran Al-Asy’ari atau Al-Maturidi, dan dalam lingkup tasawuf mengikuti
pemikiran Al-Ghazali dan Al-Junaid.
Tetapi ketiga lingkup tersebut substansinya tetap
merujuk kepada sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh
kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tugas :
Tulislah 3 (tiga) buah hadits tentang firqah umat
Islam dengan huruf dan bahasa Arab lengkap artinya !.
Sejarah
1.
Periode Rasul SAW
Ketika Rasul SAW masih hidup, ajaran Islam dilaksanakan
secara baik dan benar, tepat dan tidak menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Pribadi Rasul SAW sbagai pembawa Islam dan sebagai suri tauladan,
terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahi. Dan para sahabat terbimbing dan terkontrol
langsung oleh Rasul SAW. Amaliah Rasul
mustahil menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an. Amaliah Rasul yang mempribadi
kemudian disebut sebagai As-Sunnah. Amaliah para sahabat yang
meneladani Rasul SAW secara langsung, kemudian melekat
menjadi jalan hidup mereka, dan selanjutnya disebut sebagai thariqah sahabat.
2.
Periode Sahabat
Pasca Rasul SAW , sejak Abu Bakar As-Siddiq di bai’at
menjadi khalifah sampai berakhirnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, kehidupan umat
Islam bernuansa lain dan mulai muncul perpecahan.
-Pada masa Khalifah Abu Bakar muncul gerkan pembangkang zakat yang menjadi sendi
Islam, juga muncul gerakan anti Islam melalui nabi-nabi palsu ( Musailamah
Al-Kazzab, Aswad Al-Ansi, Tuhailah bin Khuwailid ).
-Meluasnya wilayah pemerintahan Islam dizaman Khalifah Umar bin Khattab, menimbulkan
dendam dari para penguasa yang ditaklukkan. Mereka menyusupkan ajaran agama
mereka ke dalam ajaran Islam, bahkan terjadi kasus pembunuhan terhadap Khalifah
Umar.
-Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, fenomena perpecahan mulai lebih jelas
lagi. Issu nepotisme merebak. Provokator ulung Abdullah bin Saba’ (yahudi yang
pura-pura muslim) berhasil mempengaruhi para elit politik. Kontra politik dibesar-besarkan
hingga terjadi pemberontakan diberbagai daerah ( a l : Kufah, Basrah, Mesir,
dan tempat lain ). Muncul pula mazhab “wishayah” yang diciptakan oleh Abdullah
bin Saba’ ( berupa doktrin bahwa Rasul telah berwasiat kepada Ali bin Abi
Thalib sebagai pengganti kedudukan khalifah ). Mazhab wishayah diperkut lagi
dengan paham yang disebut “haq Ilahi” yang juga dicetuskan Abdullah bin Saba’ ( kedudukan khalifah
adalah hak Tuhan, dan hak Tuhan itu jatuh kepada Ali melalui wasiat Rasul ).
-Pada masa Usman golongan non aswaja sudah mulai
berani menampakkan diri, terlebih pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Partai-partai politik mulai
bermunculan dan terjadi perpecahan diantara umat Islam yang menjadi sumber
perbedaan paham ajaran Islam. Selain Syi’ah, ada pula partai Khawarij yaitu
orang-orang yang keluar dari golongan Ali. Tetapi sesungguhnya pengikut paham-paham
yang muncul dan keluar dari rel ajaran Rasul tidak
sebanyak dibanding golongan aswaja.
Golongan mayoritas secara substansial adalah golongan
aswaja, tetapi golongan mayoritas ini belum disebut sebagai golongan aswaja.
Para ulama menyebutnya dengan istilah berbeda-beda, a l ;
a.
Jumhur al-Ummah al-Islamiyah ( mayoritas umat Islam )
b.
Jama’iyah ( umat terbesar )
c.
As-Sawad al-A’dham ( kelompok terbesar )
d.
As-Salaf as-Shalih ( para pendahulu yang shalih-shalih )
e.
Ahl al-Haq ( golongan yang haq/benar ).
3. Periode Tabi’in
Yang dimaksud periode tabi’in dalam hal ini yaitu periode
pasca kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib yang ditengarai oleh munculnya
sekte-sekte Islam seperti :
a.
Qadariyah
b.
Murji’ah
c.
Mu’tazilah
d.
Jabariyah
a). Qadariyah
dengan pendirinya Ma’bad Al-Juhani dan Gailan Al-Dimasyqi, antara lain
berpendapat bahwa manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan
perbuatannya tanpa campur tangan sama sekali dari Tuhan.
b). Murji’ah
yang dipelopori Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Shalah As-Saman, Sauban dan Dirar
bin Umar, berpendapat tentang penangguhan hukuman duniawi hingga hari kiamat.
c). Jabariyah
pendirinya Jaham bin Sofwan (sering disebut sekte Jahamiyah) menyatakan bahwa
manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan
secara mutlak oleh qadar Tuhan.
d). Mu’tazilah
( Ahlul ‘Adl wat Tauhid ) yang pendirinya Wasil bin Atha AL-Ghazal terlalu
berlebihan memuja kemampuan akal. Pendapatnya antara lain ; -Al-Qur’an adalah
mahluk dan bersifat hadits. – Tuhan Esa tanpa bersifat.
Sampai periode tabi’in ini, istilah aswaja belum
muncul secara institusional. Namun golongan yang secara substansial berada di
dalamnya tetap berjumlah mayoritas.
3.
Periode Imam Mazhab Empat
Periode Imam Mazhab 4 merupakan periode kemunculan
aliran (mazhab) dibidang fiqh, yang jumlahnya semula sangat banyak. Tetapi
kemudian tinggal 4 mazhab saja yang hingga kini diterima dan diakui oleh
mayoritas umat Islam, yaitu ;
1.
Mazhab Hanafi, pendirinya bernama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit,
lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat tahun 150 H. --- Ahlur Ra’yi / Qiyas
2.
Mazhab Maliki, pendirinya Malik bin Anas Al-Ashbahy, lahir di
Madinah tahun 93 H dan wafat tahun 179 H. --- Ahlul Hadits
3.
Mazhab Syafi’i, pendirinya Muhammad bin Idris As-Syafi’i
Al-Quraisyi, lahir di Ghazza/Ghuzzah tahun 150 H dan
wafat di Mesir tahun 204 H. ---
Perpaduan 1 dan 2
4.
Mazhab Hambali, pendirinya Ahmad bin Hambal As-Syaebani, lahir di
Baghdad tahun 164 H dan wafat tahun 248 H. --- Ahlul Hadits.
Ke empat Imam Mazhab tersebut adalah para penegak
substansi paham aswaja.
4.
Periode Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi
Periode ini merupakan periode institusi aswaja,
khususnya dalam lingkup kalam (teologi). Semenjak kemunculan dua tokoh besar
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi sedemikian melembaganya
nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
1.
Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, lahir di Basrah tahun 260 H / 873 M dan
wafat tahun 324 H / 935 M. Semula Al-Asy’ari tekun mempelajari aliran
Mu’tazilah, bahkan Al-Asy’ari yang cerdas dan mahir berargumentasi menjadi
penganut setia mu’tazilah dan ditokohkan. Namun kemudian Al-Asy’ari berdiri
sendiri dengan aliran kalam yang dicetuskannya dan menjadi guru bagi banyak
orang.
2.
Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidi, lahir di Maturid – Samarkand tahun 248 H / 862
M dan
wafat tahun 333 H / 944 M.
Ke dua tokoh ini sama-sama berjuang keras menegakkan
akidah aswaja dengan menolak paham Mu’tazilah yang saat itu berkembang dan
mendapat dukungan politis dari Daulah Bani Abbasiyah ( terutama Khalifah
Al-Makmun, Al-Mu’tasim, dan Al-Wasiq ). Meskipun kemasan institusi Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi hanya dalam lingkup kalam, tetapi segera mendapat sambutan dari
berbagai pihak dan penjuru memperkuat institusi aswaja sebagai sebuah paham
mayoritas kaum muslimin.
5.
Periode Al-Ghazali dan Al-Junaid
1.
Al-Ghazali bernama lengkap Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, lahir di Tus (distrik Khurasan) tahun 450 H /
1058 M dan wafat tahun 505 H / 1111 M. Beliau seorang tokoh yang sangat populer
dikalangan umat Islam.
2.
Sebelum Al-Ghazali, lebih dahulu telah muncul seorang tokoh dibidang
tasawuf yaitu Al-Junaid yang bernama
lengkap Abul Qasim Al-Junaid bin Muhammad bin Junaid Al-Baghdadi, wafat tahun
297 H / 909 M.
Kedua tokoh ini mempermantap institusi aswaja,
khususnya dalam lingkup tasawuf (ahlak). Dan sampai disini, batasan formal (‘aradli)
tentang paham aswaja mengalami revitalisasi sebagaimana disebut di muka.
Aswaja
Sebagai Mazhab Baru
Mazhab menurut bahasa
berarti jalan. Adapun menurut istilah,
mazhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan
dipilih oleh para imam mujtahid. ( KH Zainuddin Dimyathi, Al-Idza’ah Al-Muhimmah,
hal. 18 ).
المدَهب هو الأحكام فى المسائل التى دَهب
واعتقد واختارها الإمام المجتهد
*hukum-hukum berbagai masalah = hasil ijtihad
*mazhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas
(qath’i) dan disepakati para ulama. Mazhab itu ada dan terbentuk karena terdapat
beberapa persoalan yang masih
menjadi perselisihan dikalangan ulama, kemudian hasil pendapat ulama (mujtahid)
itu disebar luaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Paham aswaja adalah paham Islam secara menyeluruh.
Para ulama tidak berbeda pendapat, bahwa Islam secara makro meliputi lingkup
aqidah (kalam), ibadah (fiqh), dan ahlak (tasawuf). Dan selanjutnya
masing-masing disebut aqidah (kalam) aswaja, ibadah (fiqh) aswaja, dan ahlak
(tasawuf) aswaja.
Substansi paham aswaja dalam lingkup aqidah yang tetap mengikuti sunnah
Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah institusi yang dicetuskan oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
Meskipun pemikiran kalam mereka berdua tidak sama persis, tetapi tetap
committed terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas
untuk memahami naql, tidak sampai mensejajarkan apalagi memujuanya. Institusi
kalam mereka berdua kemudian disebut Al-Asy’ariyah atau Al-Maturidiyah.
Keduanya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh pengikut yang menyebarkan dan
mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskannya sehingga menjadi aliran
(mazhab) kalam yang berkembang dan diikuti oleh mayoritas umat Islam.
Institusi fiqh
atau syari’ah yang sejalan dengan konteks substansi paham aswaja ialah fiqh
empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Bahkan mazhab Hanafi
dianut pula oleh Al-Maturidi, sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula oleh
Al-Asy’ari. Meskipun antara keempat mazhab fiqh tersebut ditengarai banyak
perbedaan, tetapi perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam koridor ikhtilaf
rahmah. Keempat mazhab tersebut masih sama-sama committed terhadap petunjuk
Al-Qur’an dan As-Sunnah, sama-sama taqdimun Nas ‘alal Aql. Mereka menggunakan
akal sebatas untuk beristinbath, tidak sampai mensejajarkan apalagi mengabaikan
Nash.
Dalam lingkup ahlak
(tasawuf), aswaja mengikuti wacana ahlak yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Al-Junaid dan tokoh-tokoh lain yang sepaham termasuk Abu Yazid Al-Bustami.
Pemikiran ahlak mereka memang tidak melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri
sebagimana dalam lingkup aqidah dan fiqh. Namun wacana mereka sejalan dengan
substansi paham aswaja serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat
Islam.
Ketiga lingkup (aqidah, fiqh, dan ahlak) itu satu
dengan yang lain tidak terpisahakan, semuanya integral dan diamalkan secara
bersamaan oleh kaum sunni. Dan corak pemikiran dalam ketiga lingkup itu menjadi
paham (mazhab) aswaja.
Tugas :
1.
Nama kitab karya Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, masing-masing 4 buah.
2.
Nama murid/tokoh pendukung dan pengembang paham Asy’ariyah dan
Al-Maturidiyah, masing-masing 4 nama/orang.
3.
2 nama kitab karya salah satu mazhab empat.
4.
2 nama kitab karya Al-Ghazali.
Ketrangan :
1.
Pilih 2 dari 4 tugas tersebut di atas
2.
Tulis dalam lembar kertas bergaris dengan mencatumkan nama, kelas, dan
nomer urut absen.
Aswaja
Sebagai Manhaj Al-Fikr
Pola pikir yang diisyaratkan oleh paham ahlussunnah
wal jama’ah adalah taqdimun nash dan rasional, atau mengutamakan nas tetapi
dalam memahami nas itu digunakan logika
filsafat yang rasional.
1.
Taqdimun nash
Pola pikir mendahulukan petunjuk nash terindikasi oleh
komitmen tegas aswaja dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam. Menjadikan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
sumber rujukan vital dalam setiap aspek kehidupan (aqidah, ibadah, dan ahlak),
sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasul SAW dan para sahabatnya pada periode
awal kelahiran Islam.
Dengan pola pikir taqdimun nash ini, ajaran Islam akan
terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim. Dalam lingkup aqidah terhindar
dari pemikiran kalam liberal yang terlalu mendewakan kemampuan akal. Dalam
lingkup ibadah terlepas dari egoisme pembenaran pendapat pribadi ataupun
mazhab. Dan dalam lingkup ahlak akan terhindar dari pemikiran mistis non Islam.
Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi pedoman kebenaran mutlak. Peran logika-filsafat dalam
pemikiran kalam tetap ternaungi oleh kebenaran
mutlak Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Perbedaan pendapat fiqhiyah yang memang interpretable tetap menjadi ikhtilaf
rahmah. Dan pemikiran-pemikiran tasawuf pun tetap sejalan dengan garis-garis
nash.
2.
Rasional
Taqdimun nash tidak berarti menganulir atau menafikan
kebenaran rasio (akal). Bahkan dalam paham aswaja, akal mendapat tempat yang
sangat terhormat sejalan dengan penghormatan yang diberikan oleh semangat nash
itu sendiri (banyak ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah mengungkap tentang penggunaan akal).
Aswaja memberi porsi untuk berpola pikir rasional,
tetapi mengingat kemampuan akal sangat terbatas dan variatif, mustahil dapat
menembus kebenaran mutlak dan hasilnya bervariasi antara akal satu dengan yang
lain. Maka menjadi logis jika disebut ; akal bukan bandingan naql (nash). Dan
menjadi irrasional jika sampai mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal
dengan kebenaran naql (sama dengan membandingkan kemampuan manusia dengan
kemampuan Tuhan).
Pola pikir yang dikembangkan aswaja ialah menempatkan
rasio/akal sebagai alat bantu untuk memahami kandungan naql, itupun terbatas
pada apa yang bisa dijangkau oleh kemampuan akal. Penggunaan ta’wil (penafsiran metafores/majazi)
terbatas pada ayat-ayat mutasyabihat dengan pena’wilan
yang terbatas pula (tidak terlalu mendalam).
Dengan pola pikir yang demikian, maka paham aswaja
senantiasa representatif dalam setiap zaman, sejalan dengan representasi ajaran
Islam sampai kapan pun dan dimana pun, bahkan dalam keadaan bagaimana pun
(Islam aktual dan up to date).
Kontroversi
Aswaja
Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah cukup luas dalam
berbagai sisi. Sebagai gambaran dapat disampaikan beberapa contoh :
Hadits
mengenai firqah umat Islam
Hadits yang melansir tentang prediksi perpecahan umat
Islam diantaranya diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad bin Hanbal,
Nasai, Ibn Majah dan Hakim. Tirmidzi
meriwayatkan hadits ini dari 4 jalur sanad yaitu Abu Hurairah, Sa’ad, Abdullah bin Amr, dan
Auf bin Malik dengan teks (lafaz) beragam. Menurut Ibnu Isa hadits ini hasan shahih, dan dikalangan ahli
hadits lainnya status hadits ini tidak
dipersoalkan otoritasnya sebagai hujjah. (Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran
KH M Hasyim Asy’ari, dari Albani, Silsilah Ahadits As-Shahihah wa Syai’un Min
Fiqhiha wa Fawaidiha, hal. 33).
Dalam teks lain dari jalur Abdullah bin Umar menurut
riwayat Tirmidzi terdapat tambahan kata-kata (kulluhum fin nar illa millatan wahidah, qaaluu waman hiya ya rasulallah, qaala maa anaa
‘alaihi wa ashhabii). Karena hanya ada satu jalur periwayatan, maka Tirmidzi
menyebut bahwa hadits ini berstatus hasan
gharib. Awalnya hadits tersebut berstatus lemah (dla’if), karena salah satu
periwayat yakni Abdur Rahman bin Ziyad Al-Ifriqi menjadi penyebab status kedla’ifannya. Tetapi karena ada hadits penguat dari jalur lain, maka berstatus
hasan. (ibid, dari Al-Mabarakafuri, Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’
At-Tirmidzi).
Nama Ahlussunnah
wal Jama’ah
Al-Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung
(harfiyah) untuk kata As-Sunnah dan Al-Jama’ah sebagaimana yang menjadi
pengertian populer tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an terdapat kata
As-Sunnah dibanyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian
ketetapan Allah bagi pola hidup manusia sebagai individu maupun kelompok.
Demikian halnya dengan kata Al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam Al-Qur’an,
sekalipun memang banyak kata derivasinya seperti kata jami’an, yajma’un, jami’un dan lain-lain
dengan pengertian yang beragam. Term
Ahlussunnah wal Jama’ah ditemukan dari hadits tentang firqah umat Islam dan kemudian
melembaga setelah melalui konteks historis. Dan selain aswaja,
ada istilah lain yang juga digunakan untuk mengidentifikasi
kelompok sunni (disamping 5 nama yang sudah disebut dimuka) yaitu :
1.
Ahlussunnah wal Jama’ah wal Atsar
2.
Ahlul Hadits was Sunnah
3.
Ahlussunnah wa Ashhabul Hadits
4.
Ahlussunnah wal Istiqamah
5.
dan Ahlul Haq was Sunnah
Kelompok /
golongan mana ?
Jika dirunut dari pemahaman substansi Ahlus Sunnah,
maka pengertiannya sangat longgar dan relatif dapat merangkum semua umat Islam,
kecuali yang mengingkari sunnah. Tetapi kata Al-Jama’ah sebagaimana yang
dipahami mengikuti thariqah sahabat (terutama sahabat 4 / Al-Khulafaur
Rasyidun) telah menafikan golongan syi’ah.
Secara substansi mayoritas umat Islam yang commited
terhadap sunnah Rasul SAW dan thariqah sahabat dengan berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah sunni. Pengertian ini membuat setiap aliran
dalam Islam (yang menyatakan bagian dari Islam) secara normatif berhak
mengklaim diri sebagai aswaja. Tetapi pada era Al-Asy’ari batasan aswaja (kalam)
telah jelas dan menjadi sebuah aliran. Revitalisasi batasan aswaja dalam
wilayah paham (fiqh, aqidah, dan tasawuf) sesuai dengan kurun waktu para imam mazhabnya
(antara abad ke 2 sampai abad ke 5 H), sehingga paham dan kaidah-kaidahnya
telah membedakan aswaja dengan paham lain.
Masalah
internal (khususnya di Indonesia)
Mengidentifikasi masalah yang muncul dikalangan
komunitas sunni tentu cukup sulit, karena kompleksitas problem membutuhkan
penelitian tersendiri. Beberapa hal yang gaung kontroversinya cukup kuat di
masyarakat (Indonesia), bahkan terkadang menjadikan perselisihan dan sengketa,
antara lain pada masalah :
-sistem kemazhaban dan atau klaim mazhabnya paling
benar
-ijtihad dan taqlid
-aqaid 20 / 50 dan asmaul husna
-ritual ziarah kubur, tawassul, istighasah, syafa’at,
qunut, adzan dua,maulid, thariqat dll
-dan lain-lain
Akar masalah
dari beberapa perselisihan itu antara lain :
-pengetahuan manhaj al-fikr aswaja lemah
-tidak sampainya referensi buku/kitab karya para
penegak (mazhab) dalam aswaja ke para
pelajar menengah ke bawah
-fanatisme sempit dan radikalisme
-aktualisasi paham kurang memadahi.
Perkawinan
Aswaja dengan NU
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai
perkawinan aswaja dengan NU, perlu dikemukakan antara lain mengenai ; corak
Islam di Nusantara, paham ke-Islam-an ulama pesantren, tujuan organisasi NU,
dan implementasi aswaja di NU.
Corak Islam
di Nusantara
Tinjauan historis tentang masuknya Islam di Nusantara
dari aspek asal, waktu, dan pembawanya (muballigh) masih terdapat perbedaan
pendapat dan menyisakan perdebatan antara para sejarawan. Namun mayoritas
sejarawan sepakat mengenai corak Islam yang dibawa oleh para penyebar yang
masuk ke Nusantara adalah Islam Sunni, dan mayoritas muslim Indonesia bermazhab
Syafi’i. Meski tak bisa dibantah adanya sedikit pengaruh (varian) paham syi’ah,
tetapi sejak awal Islam datang di Indonesia pengaruh paham sunni lebih dominan.
Paham
ke-Islam-an Ulama Pesantren
Dari beberapa media proses penyiaran ajaran Islam di
Nusantara, salah satunya melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan
nama pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengamalan ajaran
Islam, sekaligus berfungsi sebagai pusat penyebaran Agama Islam.
Secara historis, pesantren sebagai lembaga
pendidikan tempat pengajaran tekstual
baru muncul pada akhir abad ke 18. Tetapi terdapat ceritera bahwa tokoh yang
pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim ( w. 1419 M ).
Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren di Kembang Kuning – Surabaya,
kemudian ia mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selanjutnya bermunculan
pesantren-pesantren, seperti pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di
Tuban, Sunan Drajat di Paciran-Lamongan, Raden Fatah di Demak. Menurut para
penulis sejarah, tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah para ulama
yang dikenal dengan julukan Wali Sanga (sembilan wali).
Peran pesantren menjadi pusat penyebaran Islam di
Indonesia sangat efektif. Para santri (kemudian menjadi ulama yang juga disebut
kiai, ajengan, tengku, tuan guru) tersebar keberbagai daerah di Nusantara dan
sangat berjasa dalam mewarisi pendidikan model pesantren dan dakwah Islamiyah.
Pengaruh ulama / kiai dalam pengajaran dan pengamalan Islam pada komunitas
muslim sangat kuat. Paham ke-Islam-an ulama pesantren pada umumnya adalah paham
ahlussunnah wal jama’ah. Maka paham ke-Islam-an masyarakat pun pada umumnya
adalah aswaja.
Tujuan
organisasi NU
Nahdlatul
Ulama ( NU ) merupakan organisasi sosial keagamaan ( jam’iyah diniyah Islamiyah
) yang didirikan oleh para ulama (kiai) pesantren. Pilar utamanya adalah K H M
Hasyim Asy’ari (tokoh kharismatik sebagai sumber legitimasi) dan K H Wahab
Chasbullah (inspirator, motor penggerak, dan fasilitator pembentukan
organisasi).
Nahdlatul Ulama didirikan sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya
memimpin
umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin. Tujuan utamanya adalah
berlakunya ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama’ah didalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsistensi NU dan warga nahdliyin dalam
memelihara, melestarikan, dan mengembangkan Islam ala ahlissunnah wal jama’ah
selalu solid, karena NU lahir untuk mengawal paham ahlussunnah wal jama’ah.
Maka istilah aswaja sangat populer dan familier dikalangan nahdliyin karena
sering disebut-sebut oleh para tokohnya.
Implementasi aswaja di NU
Implementasi
paham aswaja di NU sebagaimana koridor yang telah disebutkan dalam manhajul fikr
yaitu ; taqimun nash dan rasional. Ada
beberapa tipikal pendekatan ajaran Islam di NU, yang perlu dikemukakan disini,
antara lain ;
1.
Dalil hukum Islam (yang
disepakati mayoritas ahli ushul) adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Hierarki ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Empat
sumber hukum ini berdasarkan Q S An-Nisa’ : 59.
يايها الدَين امنوا اطيعوا الله واطيعوا
الرسول وأولى الأمر منكم فإن تنازعتم فى
شيئ فردوه الى الله
والرسول . . . الاية
Al-Qur’an secara keseluruhan terdiri dari 6.666 ayat, 114
surat, terbagi dalam 30 juz. As-Sunnah
berupa qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah sesuai dengan klasifikasinya
(mutawatir, shahih, dla’if). Ijma’
(kesepakatan para mujtahid disuatu zaman
tentang satu permasalahan hukum yang
terjadi ketika itu) baik yang sharih (melalui pernyataan) maupun yang sukuti
(melalui diam). Qiyas [menyamakan
hukum cabang (far’u) kepada asal (ashlu) karena ada kesamaan illat (sebab)
hukumnya] yang jaly, khafi, musawi maupun aulawi. Adapun dalil lain (yang
diperselisihkan) adalah urf, syar’u man qablana, mazhab shahabi, istihsan,
istishab, istishlah, dan saddudz dzara’i.
2.
Ijtihad (mencurahkan segala upaya
/ kemampuan pikir untuk menemukan hukum
Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits
dengan menggunakan dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’,
Qiyas serta dalil lainnya) harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan
terus berkembang dan membutuhkan jawaban dari sisi agama. Tetapi guna menjaga
kualitas keabsahan hukum Islam, maka
seorang mujtahid dituntut memenuhi persyaratan ;
-menguasai
bahasa Arab (termasuk qawa’idul lughah dan balaghah)
-menguasai
dan memahami Al-Qur’an
-menguasai
dan memahami Al-Hadits
-mengetahui
ijma’ sahabat
-memahami
qiyas
-menguasai
ushul fiqh
-memahami
maqashidus syar’i
-memahami
sebab-sebab ikhtilaf
-menguasai
patokan dalam menghadapi ta’arudl
(kontradiksi antar dalil)
-memahami
sosio historis dan ciri umum budaya umat
-mampu
mengaplikasikan istinbath hukum secara sistimatis.
3.
Taqlid (mengikuti pendapat
orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat
tersebut) diperbolehkan. Allah tidak mewajibkan
secara
fardu
‘ain untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Disamping itu, untuk melakukan ijtihad harus memenuhi persyaratan yang
berat, dan tidak setiap orang memiliki kesempatan dan kesanggupan
menguasai ilmu-ilmu dimaksud.
4.
Bid’ah terbagi menjadi ;
hasanah (inovasi baik) dan bid’ah sayyi’ah (inovasi jelek). Bid’ah hasanah
diklasifikasikan menjadi bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Sedangkan
bid’ah sayyi’ah diklasifikasikan menjadi bid’ah makruhah dan muharramah.
5.
Bermazhab fiqh secara qauliy
(pengutipan utuh qaul yang sudah terbukukan), maupun manhajiy (pemecahan
problem hukum berpedoman kepada metode istiqra’ suatu mazhab) hanya kepada empat
mazhab, dengan pertimbangan :
-kualitas
individu dan keilmuan mereka terkenal dan diakui seluruh umat Islam
-merupakan
mujtahid muthlaq mustaqil
-murid-muridnya
konsisten menulis dan mengajarkan mazhabnya (jalur periwayatannya valid)
-diantara
mereka terdapat hubungan intelektual.
6.
Kaidah fiqhiyah yang dirumuskan oleh para ulama, yang populer antara
lain :
-Al-Muhafadhah ‘alal Qadimish Shalih wal
Akhdzu bil Jadidil Ashlah (menjaga
kesinambungan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih
baik). Kaidah ini memberikan ruang pelestarian nilai-nilai yang baik pada
kebiasaan lama dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.
-Al-‘Adah Muhakkamah (adat dapat menjadi hukum). Rumusan hukum yang tidak
bersifat absolut (qath’i) dapat ditata selaras dengan subkultur masyarakat
menurut ruang dan waktu untuk kesejahteraan dan kebaikan masyarakat tersebut.
-Al-Hukmu Yaduru ma’a ‘illatihi wujudan
wa ‘adaman (sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya). Sebuah kebijakan
(hukum) yang dilakukan dipengaruhi oleh alasannya.
-Ma La Yatimmul Wajibu illa Bihi Fahuwa
Wajib (jika sebuah keharusan tidak
dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain, maka unsur yang lain itu juga
menjadi keharusan). Sebuah idealisasi harus diupayakan dengan memperhatikan
faktor lain yang berkaitan.
-Idza Ta’aradla Mafsadatani Ru’iya
A’dhamuhuma Dlararan Birtikabi Akhaffihima (jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan, maka yang
dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar, dengan cara melaksanakan yang paling
kecil resikonya). Kaidah ini merupakan solusi untuk mempertimbangkan resiko buruk
dengan cara memilih kebijakan yang dampak buruknya paling ringan.
-Dar’ul mafasidi Muqaddamun ‘ala Jalbil
Mashalih (mencegah bahaya lebih
diutamakan dari pada meraih kebaikan). Memilih langkah menghindari bahaya itu
lebih baik dari pada mengupayakan kebaikan yang beresiko tinggi.
-Tasharruful Imam Man’utun bi
Mashlahatil Ra’iyyah (kebijakan
pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya).
- dll.
Dari
uraian tersebut diatas, maka nampak bahwa paham aswaja yang telah ada sejak
awal masuknya Islam di Indonesia, mendapat pengawalan dari ulama pesantren dan
Nahdlatul Ulama ( NU ), sehingga pertemuan aswaja-NU menemukan formulanya.
Tawasuth,
Tawazun, Tasamuh, dan Ta’addul
Pola umum Islam aswaja sebagai aliran pemikiran yang
membedakan dengan aliran / paham lain adalah kecenderungan pemikiran tawasuth,
tawazun, tasamuh, dan ta’addul.
1.
Tawasuth ( tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim ). Suatu
pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrim (tatharruf). Misalnya
dalam kalam antara
Qadariyah
dengan
Jabariyah,
antara kaum
tekstualis
Mujassimah dengan rasionalism Mu’tazilah. Sikap ini disarikan dari Q S Al-Baqarah
: 143
وكدَالك جعلناكم امة وسطا لتكونوا شهداء
على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا . . . الاية
Pengambilan jalan tengah
bagi kedua ekstrimitas itu juga disertai dengan
sikap Al-Iqtishad (moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi
pemikiran yang berbeda.
2.
Tawazun ( seimbang ) dalam segala hal. Corak ini dibangun
terutama dalam dimensi sosial politik. Dengan
prinsip tawazun, aswaja berusaha mewujudkan integritas dan solidaritas
sosial umat Islam. Dengan tawazun, muncul keseimbangan antara tuntutan-tuntutan
kemanusiaan dan ketuhanan, muncul konsep penyatuan antara tatanan duniawi dan
tatanan agama. Landasan pola tawazun terdapat dalam Q S Al-Hadid : 25.
لقد ارسلنا
رسلنا بالبينت وانزلنا معهم الكتب والميزان ليقوم الناس بالقسط .(الاية)
3.
Tasamuh ( toleran ) merupakan corak pemikiran aswaja terhadap
realita pluralitas pemikiran. Aswaja juga memberikan pengakuan dan tempat bagi
berbagai pemikiran yang pernah tumbuh dalam perjalanan sejarah umat Islam. Toleransi
ini sangat tampak dalam pemikiran hukum Islam yang banyak menyentuh aspek
relasi sosial. Demikian juga dalam sosial budaya, aswaja sangat toleran
terhadap tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri
dalam substansinya, bahkan berusaha mengarahkannya. Tasamuh ini bisa dipahami dari Q S Thaha : 44
فقولا له قولا لينا لعله يتدَكر او يخشى .
. . ( الاية )
Q S Ali Imran : 159
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك . .( الأية )
4.
Ta’adul / i’tidal (tegak lurus / adil ). Al-Qur’an secara tegas
memerintahkan untuk tegak membela kebenaran dan berlaku adil. Keadilan diyakini
merupakan nilai / spirit Islam yang aktual. Lihat Q S Al-Maidah : 8
يايها الدَين أمنوا كونوا قوامين لله
شهداء بالقسط ولايجرمنكم شنان قوم على
الا تعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى . . . ( الاية )
Pembentukan Sikap-sikap Aswaja
Kepentingan
masyarakat Islam merupakan orientasi gerakan perjuangan NU. Maka pada muktamar
ke 13 tahun 1935, NU merumuskan konsep pembentukan sikap masyarakat yang ideal
(guna amar ma’ruf nahi munkar berpedoman Q S Ali ‘Imran : 110 dan). Konsep
pembentukan sikap ini merupakan prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan
kepada setiap pribadi muslim yang terformulasiakn dalam “Mabadi’
Khaira Ummah” (dasar, landasan, atau langkah awal membangun umat yang baik).
Mabadi’
khaira ummah merupakan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan
terbentuknya tatanan kehidupan masayarakat yang ideal dan terbaik, yaitu
masyarakat yang mampu melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Proses
pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik itu dengan penanaman nilai-nialai
: as-shidq (kejujuran), al-amanah wal wafa’ bil ‘ahdi (komitmen dan memenuhi
janji), dan at-ta’awun (komunikatif dan solutif).
Pada
Munas Alim Ulam di Bandar – Lampung tnggal 21-25 Januari 1992, para ulama
menyepakati untuk menambah (menyempurnkan) mabadi’ khaira ummah dengan
al-istiqamah (kontinuitas/konsisten) dan al-‘adalah (tegas menegakkan
keadilan). Maka prinsip-prinsip mabadi’ khaira ummah menjadi ada lima :
As-Shidq mengandung pengertian kejujuran / kebenaran,
kesungguhan, dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah kesesuaian antara
pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sehingga dalam diri manusia terdapat
korelasi antara ide, konsepsi, dan implementasi. Prinsip kejujuran otomatis
akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunitas, distorsitas, dan manipulatif.
Jujur kepada diri sendiri, kepada sesama, dan kepada Allah. As-shidq juga
mengandung pemahaman transparasi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam
persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama.
Adapun
as-shidq dalam arti kesungguhan mendorong manusia agar serius, profesional dan
bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai kegiatan dan tugas. ( lihat Q S
Al-Baqarah : 177, Q S At-Taubah : 119 )
. . . اولئك الدَين صدقوا واولئك هم المتقون .
ياايها الدَين أمنوا اتقواالله وكونوا مع
الصادقين.
Al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi. Al-Amanah adalah pemenuhan terhadap beban (maknanya lebih luas dari al-wafa’ bil
‘ahdi), sedangkan al-wafa’ bil ‘ahdi adalah pemenuhan tugas yang terkait dengan
perjanjian. Manusia dituntut untuk berupaya menjadi pribadi yang dapat
dipercaya dan setia menepati komitmen, baik yang berkaitan dengan agama,
negara, maupun sosial. Kepercayaan membutuhkan konsistensi tanggung jawab, dan
merupakan sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Manusia yang suka
khianat dan ingkar janji, tidak akan mendapat keparcayaan dari kawan, sejawat
dan relasi. ( lihat Q S An-Nisa’ : 58 ).
إن الله يأمركم ان تؤدوا الأمنت الى اهلها
. . . ( الاية )
At-Ta’awun artinya tolong menolong. Prinsip at-ta’awun
menjunjung tinggi sikap solidaritas sesama manusia dan berinteraksi bahu
membahu dalam hal kebaikan, baik bersifat material maupun spiritual. At-ta’awun
bukanlah prinsip dasar untuk menopang tindakan destruktif yang dapat
memperburuk kondisi sosial budaya ataupun keberagamaan. ( lihat Q S Al-Maidah :
2 ).
. . . وتعاونوا
على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان . . . ( الأية )
Al-‘Adalah artinya keadilan. Prinsip keadilan mengandung
pengertian obyetif, proporsional, dan taat asas. Prinsip keadilan mendorong
manusia untuk berpegang pada kebenaran obyetif dan bertindak proporsional.
Bersikap adil berarti mencita-citakan kebaikan dimuka bumi, karena dengan
keadilan akan terwujud obyetifitas, proporsionalitas, dan supremasi hukum.
Keadilan dan kebaikan merupakan dua sisi mata uang yang harus ditegakkan
bersama-sama. ( lihat Q S An-Nahl : 90 ).
إن الله يأمر بالعدل والإحسان وايتائ دَى
القربى . . . ( الاية )
Al-Istiqamah artinya tegak, mantap, kesinambungan, dan
kontinuitas. Prinsip al-istiqamah ini mendorong manusia untuk kukuh dalam
memegang ketentuan Allah, Rasul-Nya, para salafus shalih, dan norma yang telah
disepakati barsama. Prinsip al-istiqamah menumbuhkan kepercayaan atas adanya
proses, adanya keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan
antara satu periode dengan periode yang lain, merupakan kesatuan yang saling
menopang dan terkait. Al-istiqamah juga membawa sikap progresif dan anti
kejumudan yang akan menjamin proses mencapai kemajuan peradaban. Q S Ar-Rum :
43 memberi ilustrasi :
فأقم وجهك للدين القيم من قبل ان يأتى يوم
لامرد له من الله يومئدَ يصدعون
K H
Ahmad Shiddiq menjelaskan bahwa
prinsip-prinsip tawasuth, tawazun, tasamuh, dan ta’addul (i’tidal) dalam
tataran praktis dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut :
1.
Akidah
a.
Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli
b.
Memurnikan aqidah dari pengaruh luar Islam
c.
Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah, atau
kafir
2.
Syari’ah
a.
Berpegang teguh pada Al-Qu’an dan Hadits dengan menggunakan metode yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
b.
Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang jelas
(sharih / qath’i)
c.
Dapat memerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki
dalil yang multi interpretatif (dhanni).
3.
Tasawuf / ahlak
a.
Tidak mencegah bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran
Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam
b.
Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu
c.
Berpedoman pada ahlak yang luhur. Misal sikap syaja’ah atau berani
(antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadlu’ (antara sombong dan
rendah diri), sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4.
Pergaulan antar golongan
a.
Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok
berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing
b.
Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda
c.
Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan
menghargai
d.
Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5.
Kehidupan bernegara
a.
NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) harus tetap dipertahankan
karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa
b.
Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang
dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
c.
Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah
d.
Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya
dengan cara yang baik.
6.
Kebudayaan
a.
Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan
diukur dengan norma dan hukum agama
b.
Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat
diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal
c.
Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang
masih relevan
7.
Dakwah
a.
Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi
mengajak masyarakat menuju jalan yang diridlai Allah SWT
b.
Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas
c.
Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas,
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
Dengan memahami uraian di atas ; mulai dari batasan,
sejarah, mazhab, manhajul fikr, kaidah-kaidah, maupun mabadi’ khaira ummah,
telah nampak kerangka bangunan paham aswaja, baik dalam kontek keagamaan, ekonomi,
politik, sosial, budaya maupun lainnya. Adapun implementasi aswaja dan
aktualisasinya, materi tersebut tentu
belum mencukupi, dan masih perlu upaya pendalaman materi teologi, fiqh,
dan tasawuf serta cabang-cabang ilmu terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar