MAKALAH
JIHAD
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen
Pembimbing : Drs. Sudadi,M.pd.i
Disusun
Oleh :
Muhammad Syaeful Abdulloh
NIM :
2103958
KELAS : 1 D PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
TAHUN AKADEMIK 2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul ”JIHAD” dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini saya tidak
terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan terimakasih kepada Drs. Sudadi,M.pd.i
selaku dosen pembimbing mata kuliah
Pengantar Studi Islam, dan semua pihak yang telah membantu selesainya
penyusunan makalah ini.
Saya sadar bahwa sebagai manusia tentu mempunyai
kesalahan dan kehilafan. Oleh karena itu saya selaku penyusun makalah ini mohon
maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya
dan para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Kebumen,
Januari 2011
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ................................................................................. i
KATA
PENGANTAR
.............................................................................. ii
DAFTAR
ISI
............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................
2
JIHAD
......................................................................................... 2
BAB III PENUTUP
.................................................................................. 13
A.
KESIMPULAN
....................................................................... 13
B.
SARAN
.................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................... 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan
yang keliru terhadap masalah Jihad dalam Islam masih banyak dijumpai
dikalangan kaum muslimin sendiri maupun non muslim hingga hari ini. Persoalan
mendasar ini begitu penting karena menyangkut aspek didalam rukun
Islam. Pandangan yang salah terhadap pemahaman makna jihad
mendorong pada sikap radikal dan demikian pula pandangan yang keliru dari kaum
non muslim terhadap masalah Jihad ini membawa sikap antipati dan
Islamophobia. Asas Agama Islam yang diwajibkan bagi setiap mukallaf ialah: salat,
zakat, puasa, haji dan jihad. Di antara lima kewajiban tersebut yang banyak
menimbulkan kesalah fahaman ialah Jihad,
baik bagi orang non Islam maupun orang-orang Islam sendiri.
1
BAB II
PEMBAHASAN
JIHAD
Kata jihâd berasal dari akar
kata jahada, yajhudu, jahd
au juhd artinya sungguh-sungguh
atau berusaha keras. Kata jahd atau juhd artinya tenaga, usaha atau kekuatan. Dari akar kata
jahada (bentuk tsulatsi
mujarrad) dibentuk tsulatsi
mazid dengan
menambahkan alif
sesudah fâ’ fi’il (suku pertama) sehingga menjadi jâhada, yujâhidu, mujâhadah wa jihâd.
Menurut
KBBI jihad adalah (1) usaha dengan daya upaya untuk mencapai kebaikan; (2)
usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta, benda,
jiwa, dan raga; (3) perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama
Islam.
Menurut
Imam Raghib, kata mujâhadah dan
jihâd artinya berjuang sekuat tenaga untuk menangkis
serangan musuh. Selanjutnya beliau menerangkan bahwa jihad terdiri
dari tiga macam: berjuang melawan musuh yang kelihatan, berjuang melawan setan,
dan berjuang melawan hawa nafsu.
Menurut
Imam Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad Jazari dalam kitab An-Nihâyah, jihad berarti bertempur melawan kaum kafir, dan ini
adalah perjuangan secara intensif (mubâlaghah), dan berarti pula berjuang dengan segala tenaga dan
kekuatan, baik dengan lisan (qaul) ataupun dengan perbuatan (fi’il).
Menurut
E. W. Lane dalam Arabic
English lexicon diterangkan bahwa
jihad artinya menggunakan
atau mengeluarkan tenaga,
daya usaha atau kekuatan untuk melawan obyek yang tercela; dan
obyek yang tercela itu tiga macam: musuh yang kelihatan, setan, dan nafsu.
Atas
dasar arti harfiah di atas, kata jihad
dalam arti istilah berarti “usaha atau berjuang sekeras-kerasnya dan
sungguh-sungguh untuk: (1) melawan dan menghadapi musuh yang menggunakan
kekerasan untuk menyerang agama dan umatnya; (2) melawan setan dan ajarannya;
dan (3) melawan hawa nafsu yang bersarang dalam dirinya.
Menurut Imam
Mirza Ghulam Ahmad dalam Government
Angrezi aur Jihad: “Haruslah diketahui bahwa kata jihad berasal dari kata juhd yang berarti berjuang. Kata ini
kemudian diartikan secara metafora atau majazi, yang berarti perang keagamaan.”
2
Para
orientalis berpendapat bahwa jihad sama dengan perang, dan dengan peperangan
inilah Islam disiarkan
D.B.
Macdonald menulis arti kata jihad dalam Encyclopaedia
of Islam sebagai berikut: “Penyiaran Islam dengan senjata adalah
suatu kewajiban bagi muslim umumnya”.
F.A.Klein
dalam Religion of Islam juga
telah menulis sebagai berikut: ”Menyebarkan Islam dengan pedang adalah wajib
bagi tiap-tiap orang Islam. Maka dari itu mereka memerangi orang-orang kafir
dengan tujuan untuk memaksa mereka memeluk Islam.”
Tuduhan-tuduhan
itu memang telah dibantah oleh kaum Muslimin, terutama para ulamanya. Tetapi
sayang bantahan itu umumnya tanpa alasan yang kuat, bahkan dalam tulisan-tulisan
mereka membenarkan tuduhan para orientalis Barat itu. Dalam buku-buku fiqih
yang diajarkan di madrasah, pondok pesantren dan majlis ta’lim, jihad diartikan
perang. Jihad fi sabilillah artinya perang untuk menyiarkan agama Allah, agama
Islam.
H. Sulaiman
Rasyid dalam bukunya Fiqih
Islam menerangkan sebagai berikut:
“Jihad artinya
peperangan terhadap kafir yang dipandang musuh, karena membela agama Allah (Li
i’lâi kalimâtillâh)” (Fiqh
Islam, Penerbit At Tahiriyah Jakarta, cet. ke-15, hlm. 422)
Drs. Budi
Abdullah dalam bukunya Taktis
Jihad dalam Islam, mengakhiri keterangannya tentang jihad sebagai
berikut:
“Secara singkat kekuatan yang ada dapat ditujukan untuk dua
kepentingan: Interen dan extern. Interen untuk menolak kekuatan yang
merintangi, mengurangi atau menghancurkan kekuatan Islam. Di sini tidak saja
berlaku jihadun-nafsi, jihad mâl, mujahadisy-syaithan tetapi juga jihad bin nafsi. Tujuan khusus tahap ini
ialah:”mempertahankan dan mengusahakan agar kekuatan Islam lebih tinggi dari
kekuatan aliran manapun” (Taktis Jihad dalam Islam, PT. Al-Ma’rif
bandung, cet. pertama, 1980, hlm. 57)
3
Dari
uraian tersebut terang sekali bahwa kekuatan senjata itu dianggap sebagai suatu
syarat mutlak untuk menyiarkan dan mempertahankan Islam. Dan ini dipandang
sebagai jihad yang terbesar (jihad akbar) yang sifatnya ekstern, sedang yang
sifatnya intern adalah memancung kepala orang-orang yang murtad, yakni orang
yang meninggalkan Islam. Hal ini akan lebih terang lagi jika diperhatikan
tulisan alm. Prof. Dr. Hamka yang menerangkan sebagai berikut:
“Maka kalau hukum
Islam berdiri, penguasa Islam wajib menghukum bunuh orang yang murtad dari
Islam. Cara pelaksanaan hukum tersebut di dalam kitab-kitab hadits dan fiqih,
bahwa kalau ada orang Islam murtad, hendaklah orang itu diperiksa dan ditanya
lebih dahulu, apa alasannya, tersebab apa Islam ditinggalkannya. Tersebut lagi
dalam kitab-kitab fiqih, orang yang diajak berunding dan bertaubat, ialah yang
keluar dari Islam dengan kesadaran, hendaklah ia disadarkan kembali: Tetapi
kalau dia berkeras kepala juga, dibunuh! (Hak-Hak Azasi Manusia antara Deklarasi
PBB dan Syariat Islam, Penerbit Panjimas, cet. I, 1971, hlm. 18)
Di dalam
Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menggunakan kata jihad. Sekurang-kurangnya
ada 40 ayat yang menggunakan kata-kata yang berasal dari kata jahada. Kata-kata itu
misalnya: jâhada (4
ayat), jâhadû (1
ayat), yujâhidû (2
ayat), dan sebagainya. Semua kata itu artinya ialah berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras.
Jadi, jihad
yang diperintahkan Al-Qur’an adalah berusaha keras untuk
menegakkan Kebenaran dan untuk mencapai tujuan suci yang diridhai Ilahi.
Mengenai
kewajiban jihad dengan pedang yang disebut qital
– yang pada dasarnya kaum mukmin tidak suka (2:216) – Sayid Abul A’la
Al-Maududi, pakar teologi Muslim Pakistan, menjelaskan:
“Dalam
terminologi syariat, qitâl
dan jihâd
merupakan dua hal yang berbeda. Qital diterapkan pada suatu tindakan militer
terhadap pasukan musuh. Jihad diterapkan pada usaha menyeluruh yang dilakukan
oleh seluruh bangsa demi keberhasilan tujuan perang. Selama perjuangan ini,
qital dapat berhenti sewaktu-waktu dan dapat juga ditunda. Akan tetapi, jihad
terus berlangsung sampai pada suatu waktu ketika tujuan tercapai.” (Harian Mashriq Lahore, 12 Oktober
1965).
4
Al-Maududi telah menerangkan arti kata jihad
sebagai berikut: “Jihad tidak hanya berarti berperang dengan senjata, tetapi
diterapkan secara kolektif kepada seluruh perjuangan yang dilakukan demi
keberhasilan dalam perang.” (Harian Kohistan
Lahore, 18 September 1965).
Imam
Mirza Ghulam Ahmad Berpendapat: “Menyangkut arti yang dipakai, apakah perang
fisik atau perang spiritual, apakah perang dengan menggunakan pedang atau
dengan pena, ayat berikut ini cukup menjadi petunjuk kita: “Bersiaplah menghadapi mereka (musuh)
dengan segenap kemampuanmu” (8:60). Dalam ayat tersebut Allah
memerintahkan kita untuk mengerahkan segenap kemampuan dalam melawan musuh, dan
menggunakan cara yang kita anggap sebagai cara terbaik dan paling efektif” (Majmu’a Ishtiharat, jilid
1:360).
Tentang
perang (qitâl)
beliau menjelaskan: “Haruslah diketahui bahwa AL-Qur’an tidaklah semena-mena
memberikan perintah perang. AL-Qur’an memerintahkan berperang hanya melawan
orang-orang yang menghalangi orang lain untuk beriman kepada Allah, mengikuti
perintah-Nya dan memuja-Nya. AL-Qur’an memberikan perintah berperang terhadap
orang-orang yang menyerang kaum Muslim tanpa sebab dan mengusir mereka dari
rumah dan negara mereka serta menghalangi mereka menjadi muslim. Orang-orang
tersebutlah yang dimurkai oleh Allah dan orang-orang muslim haruslah memerangi
mereka apabila mereka tidak menghentikan perbuatannya.” (Nurul-Haqq, jilid 1:46).
Dalam
kitab-kitab Hadits,
kata jihad juga
mengandung arti yang luas, tidak khusus digunakan dalam arti perang. Imam
Bukhari misalnya, dalam bab jihad menulis berbagai judul tentang ajaran
(dakwah) memeluk Islam sebagai berikut:
- “Hendaklah orang Islam memberi petunjuk kepada kaum Ahli Kitab pada jalan yang benar, atau hendaklah orang Islam mengajarkan Kitab kepada mereka” (Bu 56:99)
- “Memohonkan petunjuk bagi kaum musyrik, agar orang Islam dapat meningkatkan persahabatan dengan mereka” (Buk 56:100)
- “Ajakan Nabi Muhammad SAW (kepada kaum musyrik) untuk memeluk Islam dan kenabian, dan agar mereka tak mengambil Tuhan lain sebagai Tuhan selain Allah” (Bu 56:102)
- “Keunggulan seseorang yang masuk Islam dari kalangan kaum Ahli Kitab (Bu 56:143)
- “Keunggulan seseorang ialah yang orang lain masuk Islam di bawah tangannya” (Bu 56:145)
- “Bagaimana caranya memasukkan Islam kepada anak-anak” (Bu. 56:178)
5
Imam Baihaqi meriwayatkan suatu Hadits yang menceritakan
bahwa pada suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat kembali dari
peperangan, Nabi SAW bersabda:”Kita
kembali dari jihad kecil (jihâdil asHghar) menuju jihad terbesar (jihâdil
akbar)”. Sahabat bertanya:”Ya Rasulullah, apakah jihad terbesar itu?” Beliau
menjawab: “Jihad melawan nafsu (jihâdun-nafs)”.
Nafsu itu ada dua macam, yaitu:
- Nafsu tinggi, yang menyadarkan manusia akan kehidupan yang tinggi atau kehidupan ruhani, dan
- Nafsu rendah, yang berhubungan dengan kehidupan jasmani di dunia.
Nafsu
rendah inilah yang oleh Al-Qur’an disebut hawâ
terjemahannya hawa
nafsu (53:3). Hawa Nafsu adalah penting sekali bagi kehidupan
jasmani manusia, tetapi ini merintangi manusia mencapai tingkat kehidupan yang
tinggi, selama hawa nafsu tak dikendalikan. Mengendalikan hawa nafsu inilah
yang disebut jihad akbar. Dinamakan jihad akbar karena manusia itu kuat
menghadapi apa saja dan dapat menaklukan alam dengan akal, ilmu pengetahuan dan
kekuatan yang diberikan kepadanya, tetapi manusia itu lemah menaklukan hawa
nafsunya, karena iblis yang tak mau sujud kepada manusia selalu menggoda dan
membangkit-bangkitkan hawa nafsu. Menaklukkah hawa nafsu dan iblis itu sangat
berat, karena tidak kelihatan dan bersarang dalam diri manusia sendiri. Jika
manusia dapat menaklulkannya, hawa nafsu dan iblis itu bukan lagi menjadi
perintang, malahan menjadi pembantu dalam meningkatkan kehidupan ruhani
manusia, sebagaimana yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW pada waktu menjawab
pertanyaan salah seorang sahabat, apakah Nabi Muhammad SAW juga mempunyai
setan? “Ya” jawab beliau
“tetapi Allah menolongku mengalahkan dia, sehingga dia tunduk kepadaku dan tak
menyuruh aku selain kebaikan.”
Selanjutnya
Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa tujuan jihad ashghar atau qital ialah untuk
menjunjung tinggi kalimah Allah (li
i’lâ’i kalimâtillâh), maka niatnya harus bersih dari mencari untung
atau ingin dipuji atau mencari nama. Suatu hadits meriwayatkan:
“Seorang
laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan berkata sebagai berikut: Ada kalanya
orang berperang untuk mencari ghanimah (harta rampasan perang) dan ada kalanya
orang berperang untuk mencari nama baik; dan ada kalanya orang berperang untuk
dilihat keberaniannya; perang yang manakah yang di jalan Allah? Nabi Muhammad
SAW menjawab: Orang yang berperang agar kalimah Allah dijunjung tinggi itulah
perang di jalan Allah” (Bu 56:15)
6
Maksud
Hadits tersebut di atas selaras dengan firman Ilahi dalam Al-Qur’an bahwa
keselamatan hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah adalah sebagai “membuat rendah kalimah kaum kafir,
dan menjunjung tinggi
kalimah Allah”. Jika demikian perang yang diizinkan oleh Islam
adalah benar-benar perbuatan mulia dan suci. Orang mengorbankan harta dan
jiwanya demi tegaknya kebenaran dan kedilan serta lenyapnya penindasan. Oleh
karena itu Nabi Muhammad SAW menerangkan betapa mulianya orang yang memelihara
kuda (Bu 56:45), atau memelihara kuda yang siap diberangkatkan ke medan perang
(Bu 56:73), Nabi Muhammad SAW menganjurkan belajar memanah (Bu. 56:78), atau
belajar menggunakan alat perang (Bu 56:79).
Ini
semuanya bukanlah menunjukan bahwa kaum Muslimin menyiarkan Islam dengan
kekerasan atau agar kaum Muslimin melancarkan perang (agresi) terhadap
tetangga, melainkan hanya menunjukkan bahwa kaum Muslimin harus bertempur, dan
untuk mensukseskan pertempuran itu kaum Muslimin dianjurkan supaya mengadakan
persiapan yang baik. Mereka yang maju ke medan perang demi li i’lâ’i kalimâtillâh (menjunjung
tinggi kalimah Allah) dijamin masuk surga. Dalam konteks inilah Nabi Muhammad
SAW bersabda: “Surga
(jannah) itu di bawah bayang-bayang pedang” (Bu 56:22).
Hadits-hadits
tentang manfaat qital (perang) itu janganlah disalah-tafsirkan sebagai perintah
agar kaum Muslimin selalu memerangi kaum non-Muslim. Itu adalah keliru. Perang
itu sendiri bukanlah barang baik atau barang buruk; perang adalah kesempatan
yang menjadikan itu suatu perbuatan yang amat baik atau amat buruk. Yang jelas
menurut Hadits Nabi SAW, orang Islam adalah “orang
lain akan selamat dari tangan dan lisannya” atau ”yang orang-orang akan merasa aman”
(Bu 2:4)
Senada
dengan hadits-hadits tersebut Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan:
“Singkatnya, terdapat tiga kategori perang yang Islami: untuk melindungi diri
sendiri, untuk menghukum, yaitu darah dibayar dengan darah, dan untuk
menciptakan perdamaian, yakni memerangi kekuatan yang menghalangi orang
memeluk agama Islam. Karena tidak ada perintah untuk memaksa seseorang masuk ke
dalam agama Islam dengan ancaman pembunuhan, maka tidak perlu ada pertumpahan
darah dalam menunggu Masih dan Mahdi. Tidaklah mungkin Masih atau Mahdi datang
dengan ajaran yang berbeda dengan Al-Qur’an dan memerintahkan orang masuk Islam
dengan pedang” (Masih
Hindustan Main, hlm. 18-19).
7
Dalam
kitabnya yang lain beliau menjelaskan: “Kita diperintahkan untuk menghadapi
orang-orang kafir dengan cara yang sama seperti mereka menghadapi kita. Atau
kita harus memperlakukan mereka sama seperti mereka memperlakukan kita. Selama
mereka tidak mengangkat senjata dalam menghadapi kita, kita juga tidak
diperbolehkan mengangkat senjata dalam menghadapi mereka” (Haqiqatul-Mahdi, hlm. 28).
Para
ulama Islam ahli fiqih umumnya mengemukakan pengertian yang salah tentang jihad
dan menjunjung tinggi kalimah Allah. Kesalahan mereka telah berlangsung lama,
sejak zaman dahulu pasca Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai sekarang. Imam
Mirza Ghulam Ahmad mengungkapkan realitas tersebut:
“Haruslah
diingat bahwa konsep dalam pikiran ulama sekarang dan cara para ulama
menjelaskan permasalahan jihad kepada masyarakat jelas tidak benar. Akibatnya,
para ulama tersebut membuat masyarakat mempunyai karakteristik seperti binatang
dengan khotbahnya berapi-api mereka menghilangkan nilai-nilai baik kemanusiaan.
Jadi, apabila terjadi demikian, maka saya mengetahui dengan pasti bahwa dosa
dari semua pembunuh keji dilakukan oleh orang-orang yang bodoh dan bersemangat,
yang tidak menyadari mengapa Islam harus berperang pada zaman dahulu. Para
ulama tersebutlah yang harus bertanggung jawab terhadap ajaran-ajaran yang
menyebabkan pertumpahan darah” (Government
Angrezi aur Jihad, hlm. 7).
Tatkala
terjadi pembunuhan dua orang Inggris yang dilakukan oleh orang Muslim fanatik,
beliau berkomentar:
“Apakah
pembunuhan terhadap dua orang Inggris ini disebut jihad? Apabila demikian,
pembunuh tersebut merusak nama baik Islam. Hal yang seharusnya kita lakukan
adalah menjalin hubungan dengan mereka dengan cara yang baik, sehingga mereka
dapat menjadi Muslim karena melihat perbuatan baiknya, Sewaktu saya mendengar
tentang orang-orang tersebut, saya benar-benar sedih karena mereka telah berada
jauh dari Al-Qur’an, dan meyakini bahwa pembunuhan terhadap orang-orang yang
tidak bersalah merupakan perbuatan baik” (Malfuzat,
bab II, hlm. 49-50).
8
Dalam
kesempatan yang lain beliau menyatakan sebagai berikut: “Di sini kami juga
harus menyesalkan dua hal, yaitu: di satu pihak para ulama yang bodoh
menyembunyikan arti jihad yang sebenarnya dan mengajarkan masyarakat untuk
membunuh dan mengistilahkan pembunuhan itu dengan jihad; di lain pihak para
pendeta Kristen juga melakukan hal yang sama. Mereka menerbitkan beribu-ribu
buku dalam bahasa Urdu, bahasa Fasko dan sebagainya yang mengatakan bahwa Islam
disiarkan dengan pedang. Buku-buku ini disebarkan ke seluruh India, Punjab dan
tempat-tempat lain. Akibatnya, masyarakat mendapatkan dua pernyataan yang sama
yaitu pendapat para ulama dan pendapat pendeta Kristen mengembangkan nafsu
primitif mereka” (Government
Angrezi aur Jihad, hlm. 9).
Kesalahan
para ulama tentang doktrin jihad dalam Islam sehingga sejajar dengan pendapat
para pendeta Kristen itu disebabkan karena:
- Salah mengartikan kata jihad. Jihad yang artinya luas, digunakan dalam arti sempit, yaitu perang (qitâl). Kesalahan itu terus berkembang, jihad ialah bertempur melawan bangsa atau negara kafir, baik mereka diserang atau tidak, seperti tersirat dalam definisi Sulaiman Rasyid. Pengertian ini tak dikenal sama sekali oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
- Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang jihad atau qital, mereka tidak memperhatikan hubungan ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, juga karena mengabaikan asbabun-nuzul ayat dan implementasinya pada zaman Nabi Muhammad SAW. Misalnya dalam menafsirkan firman Ilahi dalam surat At-Taubah 9:5 sebagai berikut:
“Maka
apabila bulan-bulan suci telah berlalu, bunuhlah kaum musyrik, di mana
saja kamu berjumpa dengan mereka, dan tawanlah mereka dan kepunglah mereka dan
hadanglah meeka di tiap tempat pengadangan. Tetapi jika mereka bertobat dan
menegakkan shalat dan membayar zakat, bebaskanlah jalan mereka”.
Ayat ini
disebut âyatus-saif (ayat
pedang), yang difahami seakan-akan ayat itu mengandung perintah pembunuhan
besar-besaran secara serampangan terhadap kaum musyrik. Kesalah-fahaman ini
disebabkan karena tak melihat ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat sebelumnya
(ayat ke empat) menjelaskan kaum musyrik yang memutuskan perjanjian dan
menyerang kaum Muslimin; jadi bukan sembarang kaum Musyrik yang tersebar di
dunia.
9
Maka
kepada mereka itulah serangan wajib dilancarkannya. Ayat berikutnya (ayat ke
enam) menerangkan bahwa orang-orang musyrik perorangan, meskipun ia termasuk
golongan kabilah yang memusuhi kaum Muslimin, tetap dijamin keamanannya. Jadi
terang sekali bahwa serangan kaum Muslimin itu hanya ditujukan kepada kaum
musyrik atau kafir yang melancarkan serangan terlebih dahulu, sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Baqarah 2:190 dan Al-Hajj 22:39-40.
- Berdasarkan pengertian yang keliru tentang jihad, ulama ahli fiqih berkhayal membagi dunia ini menjadi tiga macam yaitu: Dârul-harb, Dârul-Islâm dan Dârush-shulk. Dârul-harb arti aslinya rumah atau tempat pertempuran, yang dimaksud ialah tempat yang diperintah oleh non Muslim; sedangkan kata dârul-Islâm arti aslinya ialah tempat tinggal Islam; selanjutnya kata dârul-sulh arti aslinya ialah tempat perdamaian, yakni negara non-Islam yang mengadakan perdamaian dengan kaum Muslimin. Pembagian semacam ini tak ada dalilnya satupun dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, maka wajib ditolak karena tak selaras dengan prinsip dasar agama Islam yang sifatnya fitriah.
- Kepercayaan bahwa pada zaman akhir akan turun Al-Masih dan Imam Mahdi, keduanya akan bekerja sama bahu-membahu menyiarkan Islam ke seluruh dunia dan barang siapa tak mau memeluk Islam akan dipenggal lehernya dengan pedang. Kepercayan ini jelas bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, bahwa tak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah 2:256).
- Kesalahpahaman tentang hukum bunuh orang yang murtad juga mempengaruhi pada pola pikir para ulama Islam. Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW, yakni yang berhubungan dengan kasus kabilah ‘Uqul, orang-orang yang murtad dihukum bunuh bukan karena kemurtadannya, tetapi karena permusuhannya terhadap kaum Muslimin.
Abul
Hasan Ali bin Abi Bakar Al-MarghHinani dalam kitab Al Hidâyah, hal. 537 menulis sebagai berikut: “Jihad bukanlah diwajibkan karena
keadaan jihad itu sendiri (li’amihi), karena jihad itu menyebabkan kerusakan
(ifsad), tetapi jihad itu diwajibkan karena jihad itu meneguhkan agama Allah
dan menangkis kejahatan (daf’usy-syarri) dari hamba-hamba-Nya” Digunakan
kata daf’usy-syarri itu
menunjukan bahwa, jihad itu asal mulanya untuk menangkis kejahatan: oleh karena
itu jihad adalah perbuatan membela diri bukan perbuatan menyerang.
10
Imam
Ghazali, Mujaddid Islam abad ke lima Hijriah dalam kitab Mukasyafatul-Qulûb menulis
sebagai berikut:
Diutarakan oleh
beberapa ahl-ma’rifah bahwa mereka mengatakan jihad itu ada tiga macam: (1)
jihad terhadap orang kafir. Jihad ini dinamakan jihâd dzahir yang di dalam
Al-Qur’an disebut “yujâhidûna fî sabiliillâh (mereka yang berjihad di jalan
Allah). (2) jihad dengan dalil-dalil dan ilmu untuk menghadapi
orang-orang dhalim. Ini disebutkan oleh ayat Al-Qur’an “adakanlah diskusi
dengan mereka dengan jalan yang sebaik-baiknya: (3) jihad dengan nafsu amarah
(hawa nafsu). Ini disebutkan oleh ayat Al-Qur’an “ orang yang berjihad di jalan
Kami dan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. Sama halnya dengan Hadits
Nabi SAW mengatakan jihad yang paling baik ialah jihad terhadap diri sendiri….”
Maulana
Abul Kalam Asad, pujangga, ulama dan negarawan India yang terkenal telah
mengatakan sebagai berikut:
“Mengenai
pengertian jihad telah terjadi kesalah fahaman yang serius. Banyak orang
mengartikan jihad itu ialah berperang (kekerasan). Orang-orang yang memusuhi
Islam juga terlibat dalam kesalah fahaman ini. Padahal dengan pengertian ini
berarti membatasi arti dari hukum yang amat luas lagi suci dan luhur. Dalam
istilah AL-Qur’an dan Sunnah, jihad artinya usaha keras untuk mengatasi
kepentingan pribadi guna kepentingan kebenaran. Usaha ini dilakukan dengan
lisan, dengan harta, dengan membelanjakan waktu, umur dan sebagainya dengan
memikul macam-macam kesukaran dan juga dengan menghadapi pasukan musuh
menumpahkan darah juga. Untuk menghadapi pasukan musuh diperlukan waktu
tertentu, tetapi untuk menghadapi diri pribadi bagi seorang mukmin ialah usaha
seumur hidup, jihad pagi dan sore…” (Masalah Khalifah)
Ibrahim
Al Bajuri dalam kitabnya telah menulis sebagai berikut:
“Jihad atau
peperangan di jalan Allah, diambil dari perkataan mujâhadah yang artinya
perjuangan untuk menegakkan agama, dan ini disebut jihad ashghar, sedangkan
jihad akbar ialah memerangi hawa nafsu. Karena itulah Nabi Muhammad SAW
bersabda ketika kembali dari peperangan: Kita kembali dari jihad ashghar menuju
jihad akbar.”
11
Dr. Sir
Muhammad Iqbal, filsuf dan pujangga Muslim terkenal ini dicatat dalam berita
mingguan seperti diungkapkan berikut:
“(Dokter Iqbal mengatakan) ‘Islam
tidaklah akan pernah ditaklukkan, dia akan menang’. Seseorang menyangkal
pertanyaannya tersebut dan bertanya bagaimana Islam akan menang apabila
diperbudak oleh Inggris? Dokter Iqbal menjawab, ‘Tidakkah kaum yang disamakan
dengan Tartar telah dibangkitkan sekarang ini? Bangsa yang mempunyai
hukum-hukum tempat kita hidup akan menjadi Muslim. Bukti hidup dari hal ini
adalah Lord Headly yang masih hidup di antara kita semua. Kekuatan Islam
tidaklah terbatas. Ada zaman pedang. Sekarang adalah zaman pena. Islam
menyerang dari dalam dan dapat membuat kamu menerimanya” (Paigham Sulh, 4 Januari
1928).
Maulvi
Muhammad Husain Batala, pemimpin golongan ahli Hadits dan editor majalah Isha’atis-Sunnah, pernah
menulis sebagai berikut:
“Beberapa saudara Muslim kami
percaya bahwa kemalangan para pengikut Islam sekarang tidaklah dapat
dihilangkan tanpa pedang. Mendapatkan pendidikan keduniawian tidaklah berguna.
Meskipun demikian, kepercayaan tersebut di atas kelihatannya tidak mungkin
apabila melihat kondisi Muslim saat ini. Wahai saudaraku! Zaman menggunakan
pedang tidak ada lagi. Sekarang daripada menggunakan pedang lebih baik kita
pentingkan untuk menggunakan pena. Bagaimana pedang dapat berada dalam
genggaman orang-orang Muslim apabila mereka sendiri tidak mempunyai tangan.
Mereka tidak mempunyai identitas nasional, juga tidak mempunyai eksistensi
nasional … dalam kondisi yang lemah tersebut, menganggap mereka sebagai suatu
bangsa adalah melampaui imajinasi Shaikh Chilli (figur manusia lucu dalam fiksi Urdu)” (Isha’atus-Sunnah, jilid
vi, hlm. 364, Desember 1883)
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Di kalangan
alim ulama Islam secara garis besar ada dua pendapat tentang jihad, yaitu: yang
pertama berpendapat bahwa jihad identik dengan qitâl (perang), oleh karena itu Islam
disiarkan dan dipertahankan dengan pedang; sedang yang lain berpendapat bahwa
jihad tak identik dengan perang. Jihad ialah berjuang sekuat tenaga dan
sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu, setan, dan musuh. Boleh jadi perang
termasuk jihad.
B. SARAN
Demikianlah
sekelumit tentang pengertian jihad, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua,
atas kesalahan dalam penulisan makalah ini saya mohon maaf, selanjutnya kritik
dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
13
REFERENSI
1.
Ebta Setiawan
KBBI offline versi 1.1 http://ebsoft.web.id
2.
H. Sulaiman
Rasyid, Fiqh Islam, Penerbit
At Tahiriyah Jakarta, cet. ke-15
3.
Drs. Budi
Abdullah, Taktis Jihad dalam
Islam, PT. Al-Ma’rif bandung, cet. pertama, 1980
4.
Prof. Dr. Hamka, Hak-Hak Azasi Manusia antara
Deklarasi PBB dan Syariat Islam, Penerbit Panjimas, cet. I, 1971
5.
Zahid Aziz,
M.Sc., Ph.D, Jihad dan Penerapannya Pada Masa Kini, Gerakan Ahmadiyah
Lahore Indonesia Cabang Jogjakarta tahun 1402 H/1982 M
6.
Maulvi Muhammad
Husain Batala, figur manusia
lucu dalam fiksi Urdu” Isha’atus-Sunnah,
jilid vi, hlm. 364, Desember 1883
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar