PENDIDIKAN
JIHAD DALAM ISLAM
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Individu Semester II
Program Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah
Kelompok Kelas : II D
Mata
Kuliah : Filsafat Pendidikan
Islam
Dosen
Drs, H. DAWAMUDIN, M.Ag
Oleh
MUHAMMAD
SYAEFUL ABDULLOH
NIM. 2103958
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Puji syukur
kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta
inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”
PENDIDIKAN JIHAD DALAM ISLAM ” dengan lancar.
Dalam penulisan makalah ini saya tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan
terimakasih kepada Drs, H.
DAWAMUDIN, M.Ag Selaku dosen
pembimbing mata kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan semua pihak yang telah membantu selesainya
penyusunan makalah ini.
Saya sadar bahwa sebagai manusia
tentu mempunyai kesalahan dan kehilafan. Oleh karena itu saya selaku penyusun
makalah ini mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi saya khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
..................,...... Juni
2011
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah
.............................................................. 1
B. Perumusan Masalah
..................................................................... 1
C. Tujuan
............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 2
A. Arti Kata Jihad …………………………………........................ 2
B. Beberapa Peperangan Dalam Islam …....................................... 5
a.
Perang Melawan Orang-orang Murtad …………………... 5
b.
Perang Melawan Para Pengikut Bughot ………………….. 6
c.
Perang Melawan Kelompok Pengacau ……………………. 6
d.
Perang Mempertahankan Kehormatan Pribadi ………….. 7
e.
Perang Mempertahankan Kehormatan Secara Umum ….. 7
f.
Perang Menantang Penguasa Yang Menyimpang ………… 8
g.
Perang Fitnah ……………………………………………….. 9
h.
Perang Melawan Perampas Kekuasaan …………………… 9
i.
Perang Meelawan Ahlu Dzimmah ………………………..... 9
j.
Perang untuk Menegakkan Daulah Islamiyah ……………. 10
k.
Perang Untuk Menyatukan Negara-nagara Islam ………... 11
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 12
A. KESIMPULAN
................................................................................ 12
B. SARAN ........................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pandangan yang
keliru terhadap masalah Jihad dalam Islam masih banyak dijumpai dikalangan
kaum muslimin sendiri maupun non muslim hingga hari ini. Persoalan mendasar
ini begitu penting karena menyangkut aspek didalam rukun Islam.
Pandangan yang salah terhadap pemahaman makna jihad mendorong
pada sikap radikal dan demikian pula pandangan yang keliru dari kaum non muslim
terhadap masalah Jihad ini membawa sikap antipati dan
Islamophobia. Asas Agama Islam yang diwajibkan bagi setiap mukallaf ialah: salat, zakat,
puasa, haji dan jihad. Di antara lima kewajiban tersebut yang banyak
menimbulkan kesalah fahaman ialah Jihad,
baik bagi orang non Islam maupun orang-orang Islam sendiri.
B. Perumusan
Masalah
1. Apa jihad itu ?
2. Bagaimana jihad yang benar menurut Islam
?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Supaya kita bisa memahami jihad yang benar dan dapat merealisasikannya
dengan tindakan.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDIDIKAN JIHAD DALAM ISLAM
A. Arti Kata Jihad
Banyak orang menafsirkan makna jihad fi sabilillah dengan
berbagai macam penafsiran. Mana makna jihad yang benar menurut kaca mata
syariat Islam? Dan peperangan seperti apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
jihad fi
sabilillah?
Ada upaya baru yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam,
yakni meminggirkan dan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah Islam
di tengah-tengah kaum Muslim. Salah satu istilah yang berusaha mereka eliminir
dan kaburkan adalah istilah jihad. Hal itu dilakukan bukan saja dengan
menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, mujahid dan syahid, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad
secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.
Tidak dipungkiri, kata jihad memiliki pengarih yang amat
luas, dan masih memiliki greget yang mendalam di kalangan kaum Muslim. Gaung
jihad akan segera menghentakkan kaum Muslim, yang sehari-harinya biasa-biasa
saja. Seketika kita berubah wujud menjadi luar biasa. Fenomena semacam ini amat
dipahami, baik oleh musuh-musuh Islam maupun kalangan Muslim sendiri. Tidak
aneh jika kata jihad sering dipelintir maknanya untuk kepentingan politik
negara-negara besar maupun kalangan-kalangan tertentu.
Negara Barat kafir seperti AS, hingga kini tetap giat
mempropagandakan pandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama
dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan. Mereka khawatir
dengan bangkitnya semangat kaum Muslim melawan hegemoni sistem kufur yang
dipelopori AS. Kaum orientalis dan para pengikutnya mengarahkan makna jihad dalam
pengertian yang lebih luas, mencakup jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu,
jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, jihad politik dan sejenisnya. Semua itu
mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Dalam skala yang lebih sempit lagi,
kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang
atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah
yang sekarang terjadi di negeri ini.
Untuk
meluruskan persepsi keliru tentang makna jihad agar tidak digunakan untuk
kepentingan politik tertentu, yang dengan gampang mengangkat perkara ini guna
menghadang pihak lain yang menghalang-halangi atau mengganggu eksistensi dan
kepentingan kelompok mereka, sangatlah penting menjelaskan hakikat jihad yang
sebenarnya kepeda seluruh kaum Muslim.
Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah
saling mencurahkan usaha. Lebih jauh lagi dalam kitab tafsirnya menjelaskan
arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk
memperoleh maksud tertentu[1].
Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam
beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:
]وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا[
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (QS. Luqman
[31]: 15)
Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang
dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik
menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda
dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target
tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu
kerja keras.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang
lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan
Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat,
memperbanyak logistik, dan lain-lain.
Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada
dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat
dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat
umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]:
ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.
Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat
Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang
menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang
dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini
diwakili oleh firman Allah Swt:
]انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ[
Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa
berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian
adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (QS. at-Taubah [9]: 41)
Jihad dengan
makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan
oleh para fuqaha. Jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk
berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya[2],
jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka
menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi[3].
Para ulama berpendapat bahwa jihad berarti perang di
jalan Allah.
Sekalipun kata jihad menurut bahasa memliki arti mencurahkan segenap
tenaga, kerja keras, dan sejenisnya, tetapi syariat Islam lebih sering
menggunakan kata tersebut dengan maksud tertentu, yaitu berperang di jalan
Allah. Artinya, penggunaan kata jihad dalam pengertian berperang di jalan Allah
lebih tepat digunakan ketimbang dalam pengertian bahasa[4].
Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering digunakan para ahli ushul fiqih:
Makna syariat lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna
istilah (urf).
Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil
oleh kaum Muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir
dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini,
dengan cara mengalihkannya ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad
pembangunan, me untut ilmu, mencari nafkah, berpikir keras mencari
penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihad- merupakan
upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertian al-qitâl,
al-harb, atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).
Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi
sabilillah (sesuai dengan definisi diatas) atau termasuk perang
saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenis-jenis peperangan yang
dikenal dalam khasanah Islam.
B.
Beberapa Peperangan dalam Islam
a. Perang melawan orang-orang murtad
Murtad adalah orang
yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran,
dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun
berdasarkan keyakinan[5].
Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau pun lebih untuk
bertobat. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang
bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh.
Jika
yang murtad itu merupakan satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau
pun berdiri sendiri, hukumnya juga sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana
halnya memerangi musuh, bukan seperti memerangi bughât.
b. Perang melawan para pengikut bughat
Bughat
adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar
atau memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada
negara (Khalifah), mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara.
Tidak dibedakan lagi apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau
zhalim; baik mereka memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam
agama atau mungkin ada motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat
selama mereka mengangkat senajata atau pedang terhadap kekuasaan Islam.
Jika
ada kelompok orang semacam ini, menurut Imam Nawawi, yang harus dilakukan oleh
kepala negara adalah memberinya nasehat agar mereka kembali dan bertobat. Jika
tidak kembali mereka harus diperangi agar jera. Dalam perkara ini, peperangan
yang dimaksud adalah peperangan untuk mendidik mereka, bukan perang untuk
membinasakan mereka. Alasannya, mereka adalah kaum Muslim yang tidak sadar, dan
kesadarannya harus dikembalikan.
Oleh
karena itu, perang melawan bughat tidak tergolong ke dalam aktivitas jihad fi
sabilillah. Ada dua alasan penting: (1) yang diperangi adalah kaum
Muslim; (2) korban yang terbunuh dalam peperangan ini tidak termasuk syahid.
c. Perang melawan kelompok pengacau
Kelompok
pengacau adalah mereka yang melakukan tindak kriminal dalam wujud sekumpulan
orang bersenjata dan memiliki kekuatan. Tujuannya adalah merampok, menyamun,
membunuh, menebar teror atau ketakutan terhadap masyarakat umum. Para pelakunya
bisa terdiri dari empat jenis: (1) orang-orang murtad; (20 orang kafir ahlu dzimmah;
(3) orang-orang kafir
musta’man; (4) orang Islam.
Jika
di dalam Daulah Islamiyah muncul kelompok semacam ini, mereka wajib
diperintahkan untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, setelah sebelumnya
diberikan nasehat. Apabila mereka tidak mengindahkan seruan negara, maka mereka
wajib diperangi. Daulah Islamiyah wajib melenyapkan ancaman mereka atas kaum
Muslim.
Perang
melawan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan jihad fi sabilillah, jika
sasarannya adalah orang-orang murtad, ahlu dzimmah dan orang-orang kafir musta’man.
Sebaliknya, jika sasarannya adalah kaum Muslim yang melakukan kekacauan,
peperangan melawan mereka tidak tergolong sebagai jihad fi sabilillah.
d. Perang mempertahankan kehormatan pribadi
Para
fuqaha memberinya istilah lain dalam peperangan jenis ini, yaitu as-siyâl[6].
As-Siyâl adalah tindakan ancaman
atas harta benda, jiwa dan kehormatan. Ketiga perkara tersebut merupakan
perkara-perkara yang harus dijaga. Hukum mempertahankan ketiga jenis perkara
tersebut disyariatkan oleh Islam. Jika pihak yang merampas kehormatan, harta
benda, atau pun jiwa itu adalah orang-orang kafir, maka peperangan melawan
mereka dimasukkan sebagai jihad fi sabilillah. Akan tetapi jika pihak yang
mertampas kehormatan, jiwa dan harta benda kaum Muslim adalah juga dari kaum
Muslim, maka jenis peperangan melawan mereka tidak digolongkan sebagai jihad.
e. Perang mempertahankan kehormatan secara umum
Sekalipun obyeknya sama dengan jenis peperangan
sebelumnya, yaitu mencakup kehormatan, harta benda dan jiwa, akan tetapi
terdapat perbedaan yang mendasar dalam perkara ini. Perang dalam rangka
mempertahankan kehormatan secara umum, ditujukan kepada orang-orang yang
melakukan pelanggaran atas kehormatan, harta benda dan jiwa, yang dimilikinya
sendiri. Misalnya, sekelompok orang yang melacurkan diri, mengambil harta orang
lain secara sukarela untuk berjudi, atau sekelompok orang yang bermaksud
membunuh diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap
hak-hak Allah dan hak-hak masyarakat, karena dapat merusak kesucian jiwa dan kebersihan
hidup masyarakat.
Berperang untuk mengikis habis pelanggaran hak Allah dan
hak masyarakat ini, di dalam fiqih Islam lebih dikenal dengan taghyir
al-munkar. Negara wajib memelihara kesucian jiwa dan kebersihan
hidup masyarakat dengan memerangi mereka yang akan membinasakan kehormatan,
harta benda dan jiwa mereka sendiri. Perang dalam rangka ini tidak termasuk ke dalam
aktivitas jihad.
f. Perang menentang penguasa yang menyimpang
Peperangan
jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan
diri), ats-tsaurah
(pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl
azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi
penguasa), inqilâb
(revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan
pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara), dan lain-lain.
Yang perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah
Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan penguasa
dalam:
1. Meninggalkan
shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.
2. Tidak
menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.
3. Melakukan
kemaksiatan secara terang-terangan.
4. Melakukan kekufuran
secara terang-terangan.
Peperangan
jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar
telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan menjalankan kekufuran. Dalam kondisi
semacam ini, seorang Khalifah harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia
melawan, maka perang melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika
Khalifah hanya melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran
secara terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari kedudukannya
sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan, maka perang
melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad.
g. Perang fitnah (perang saudara)
Perang
saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang
melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh yang
paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan dialami oleh
kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan Thaliban).
Perang
saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak
hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke
dalam neraka.
h. Perang melawan perampas kekuasaan
Kekuasaan
itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai hadits yang
menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan kepada Rasulullah
saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang yang memperoleh
kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui paksaan dianggap sebagai pihak
yang merampas kekuasaan.
Perang
melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di
kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad. Sikap
beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan jenazah para
sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin. Sebaliknya adalah pendapat Asma
binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni Abdullah bin Zubair tatkala
berperang melawan pihak yang merampas kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam.
i. Perang melawan ahlu dzimmah
Ahlu dzimmah adalah setiap orang non
muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk
agamanya. Ahlu
dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah
Islamiyah serta memperoleh dzimmah (jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan
harta bendanya. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat
menggugurkan status dzimmah mereka.
Pelanggaran tersebut mencakup setiap perkara yang
mengganggu atau menghilangkan harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim,
seperti (1) membantu menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3)
merampok harta benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia
kaum Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7)
mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.
Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat
menggugurkan dzimmah
(jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa
mereka.
Perang
melawan ahlu
dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada
kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya.
Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi
bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim.
j. Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah
Untuk
mengetahui pakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau bukan, harus dicermati dulu
faktanya. Pertama, jika sasaran perang dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah
itu berasal dari kalangan kaum Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah
Islamiyah, maka perang jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat.
Kedua, perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah
Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan
orang-orang kafir
harbi. Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau
bergabung dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai
perang melawan bughât.
Keempat, perang melawan penjajah atau negara-negara kafir yang tidak ingin
melihat berdirinya Daulah islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi
sabilillah.
k. Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam
Perang
untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang untuk
menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati sasarannya. Jika
yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang telah mencampakkan perjanjiannya,
maka melawan mereka dikategorikan sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang
diperangi adalah sesama kaum Muslim yang teguh pada nasionalisme atau
kebangsaannya, sementara mereka dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk
melawan sesama kaum Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan
sebagai jihad
fi sabilillah.
Berdasarkan
uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi
provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh banyak
pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu. Alih-alih mengharapkan
mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol. Na’udzi billahi min dzalika.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Di kalangan alim ulama Islam secara garis besar ada dua pendapat tentang
jihad, yaitu: yang pertama berpendapat bahwa jihad identik dengan qitâl
(perang), oleh karena itu Islam disiarkan dan dipertahankan dengan pedang;
sedang yang lain berpendapat bahwa jihad tak identik dengan perang. Jihad ialah
berjuang sekuat tenaga dan sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu, setan, dan
musuh. Boleh jadi perang termasuk jihad.
B. SARAN
Demikianlah makalah Pendidikan Jihad dalam Islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua,
atas kesalahan dalam penulisan makalah ini saya mohon maaf, selanjutnya kritik
dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
REFERENSI
1.
Drs. Budi Abdullah, Taktis Jihad dalam Islam, PT. Al-Ma’rif bandung, cet. pertama, 1980
2.
Ebta Setiawan KBBI offline versi 1.1 http://ebsoft.web.id
3.
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Penerbit At Tahiriyah Jakarta, cet. ke-15
4.
Maulvi Muhammad Husain Batala, figur manusia lucu dalam fiksi Urdu” Isha’atus-Sunnah,
jilid vi, hlm. 364, Desember 1883
5.
Prof. Dr. Hamka, Hak-Hak Azasi Manusia antara Deklarasi PBB dan Syariat Islam,
Penerbit Panjimas, cet. I, 1971
6.
Zahid Aziz, M.Sc., Ph.D, Jihad dan Penerapannya Pada Masa Kini,
Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia Cabang Jogjakarta tahun 1402 H/1982 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar