Rabu, 25 April 2012

PENDEKATAN ANTROPOLOGI TENTANG KAJIAN ISLAM YANG TELAH BERPROSES DALAM SEJARAH DAN BUDAYA


PENDEKATAN ANTROPOLOGI TENTANG KAJIAN ISLAM YANG TELAH BERPROSES DALAM SEJARAH DAN BUDAYA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Semester II
Program Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah
Kelompok Kelas : II D
Mata Kuliah : Antropologi Pendidikan
Dosen
SOBARI. WS, S.Pd, M.Pd.

Description: Logo_STAINU





Oleh
                                      MUHAMMAD SYAEFUL ABDULLOH
              NIM. 2103958


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”PENDEKATAN ANTROPOLOGI TENTANG KAJIAN ISLAM YANG TELAH BERPROSES DALAM SEJARAH DAN BUDAYA   dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini saya tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terimakasih kepada SOBARI. WS, S.Pd, M.Pd. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Antropologi Pendidikan, dan semua pihak yang telah membantu selesainya penyusunan makalah ini.
            Saya sadar bahwa sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan dan kehilafan. Oleh karena itu saya selaku penyusun makalah ini mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.
            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

..................,...... Mei  2011

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................   i
KATA PENGANTAR ..............................................................................   ii
DAFTAR ISI ............................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................               1
A.   Latar Belakang Masalah ...........................................................               1
B.   Perumusan Masalah .................................................................               1
C.   Tujuan ........................................................................................                  1         
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................                2
A.   PENGERTIAN KEBUDAYA ......................................................             2
B.   HUBUNGAN BUDAYA DENGAN KEPERCAYAAN ................         3
C.   KEBUDAYAAN MENURUT WILAYAH ......................................    8
BAB III PENUTUP ...................................................................................              11
A.   KESIMPULAN ..............................................................................              11
B.   SARAN .........................................................................................                11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................              12


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
            Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting.

B.    Perumusan Masalah
1.    Apa Agama itu ?
2.    Apa Antropologi itu ?
3.    Bagaimana hubungan Antropologi dengan agama Islam ?
4.    Bagaimana Agama dan budaya berinteraksi ?


C.   Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
Supaya kita bisa memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya.


BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN ANTROPOLOGI TENTANG KAJIAN ISLAM YANG TELAH BERPROSES DALAM SEJARAH DAN BUDAYA
A.   Antropologi
Antropologi adalah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna dan bentuk fisik, adat istiadfat, dan kepercayaannya. Antropologi yang mempelajari tentang manusia dan segala perilaku manusia untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan. Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Sesungguhnya Antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (pemimpin wakil Tuhan) di bumi.
B.   Agama
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Agama merupakan suatu fenomena abadi di alam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman bersilaturahmi kepada yang lebih tua, adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.
Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi (abangan, santri dan priyayi) di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya di Jawa, Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.


Antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu.
Menurut E.B. Taylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme.
Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme.
Tetapi, menurut Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (pemimpin wakil Tuhan) di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia, termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya, pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa pentingnya kajian tentang manusia, sehingga Antropologi menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Al-Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan.          
C.   Konsep Islam popular dan Islam formal
Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai “officel” (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama.
Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, “offical,” gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah.
Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen.
Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.
Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar.
Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam.
Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.
D.   Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion as a Cultural System,” dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark Weber dan Durkhem, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat.

Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat.
Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
E.   Kajian Islam dalam Antropologi
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.













PENUTUP
A. KESIMPULAN
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Allah memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Allah. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam.
B. SARAN
            Demikianlah makalah tentang Pendekatan Antropologi Tentang Kajian Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, atas kesalahan dalam penulisan makalah ini saya mohon maaf, selanjutnya kritik dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.







DAFTAR PUSTAKA

1.    rivafauziah.wordpress.com/.../pendekatan-antropologi-dalam-kajian-islam
2.    tarbiyah.uinsunankalijaga.ac.id/antropologi-pendidikan-islam


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar