PENDIDIKAN
UNTUK PEMBEBASAN
Hakekat Pendidikan
Pendidikan
secara umum bertujuan membantu manusia menemukan akan hakekat kemanusiaannya.
Maksudnya, pendidikan harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan
berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal,
mengerti dan memahami relitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan
adanya pendidikan, diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki
sebagi makhluk yang berfikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual),
nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran) dan jasmaniyah (tubuh).
Dengan melakukan proses berfikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya
sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Selama
ini kita sering mengartikan pendidikan hanya sebagai proses formal yang ada
pada lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan
sebagi proses pendidikan. Jelas, ini merupakan kesalahan yang harus diluruskan.
Kita harus mampu membedakan antara pendidikan yang mempunyai makna luas dengan
pengajaran yang mempunyai makna terbatas. Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam
bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha
mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia.
Intelektualitas dan pengetahuan itupun belum sepenuhnya mewakili diri manusia.
Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge
atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan
diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi
yang mereka miliki.
Di
sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi”
(memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat
dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami
dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni budaya
lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran
dalam mengembalikan kemanusiakan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan
berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk
pembebasan.
Semua
hal di atas merupakan tujuan ideal pendidikan, namun bagaimana kenyataan di
lapangan? Ternyata praktek pendidikan yang terjadi justru sebaliknya.
Pendidikan dijadikan cara untuk melanggengkan doktrin tertentu dan sebagai alat
hegemoni kekuasaan. Peserta didik hanya dijadikan objek dan dilatih untuk
menjadi penurut dengan tujuan keseragaman nasional. Apabila hal ini terjadi,
pendidikan tidak lagi mampu menjadikan manusia sebagi insan kamil, tetapi
justru menjadikan manusia sebagai robot-robot kekuasaan yang tidak bisa
berfikir secara kritis dan bebas terhadap realitas yang ada di sekelilingnya.
Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan manusia mengalami kehampaan
eksistensi sebagai manusia yang pada dasarnya secara fitriyah memiliki potensi
berfikir bebas dan berkesadaran.
Kondisi
pendidikan seperti ini sama sekali menafikan peserta didik sebagai manusia yang
berpotensi untuk berfikir dan akan muncul kelompok masyarakat terbelakang dan
bodoh, yang sebenarnya merupakan akibat dari penindasan struktural.
Ketertindasan struktural inilah yang pada tataran global melahirkan proses
kemiskinan baik di bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sebagai
akibatnya, terjadi transformasi budaya yang bermakna dekaden, yaitu dari budaya
kritis menjadi budaya oportunis dan pragmatis. Dengan demikian penjinakan yang
dilakukan oleh struktur kekuasaan melalui cara penyeragaman berfikir telah
mengakibatkan suatu kondisi dimana kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran
kritis sebagai manusia yang dikaruniai akal, melainkan kesadaran na’if yang
bertumpu pada pemikiran pragmatis.
Inilah
persoalan pendidikan bangsa kita yang begitu kompleks dan hanya sedikit orang
yang peduli. Oleh karena itu, sudah saatnyalah pendidikan kritis diwujudkan,
demi terciptanya cita-cita yang berorientasi pada usaha penyadaran dan
pembebasan.
John Locke, seorang filsuf Inggris menggemakan pentingnya
pendidikan. Locke berpendapat bahwa “sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang
kosong dan dapat diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat
pendidikan dan pembentukan yang terus-menerus.” (Seri Buku VOX, Seri 38/3 1993
p. 28).
Subjek yang satu akan memperoleh subjektivitas diri yang penuh
bila ada subjek lain yang turut menegaskannya. Namun faktor keterbatasan bahasa
untuk mengungkapkan pikiran sebagai akibat rendahnya pendidikan menjadi
penghalang terjadinya relasi yang timbal-balik. Bedanya tingkat pendidikan
menyebabkan terjadinya pembelengguan satu kelompok terhadap kelompok lain.
Pribadi atau kelompok yang berpendidikkan tinggi membelenggu dan mengekang
pribadi atau kelompok yang berpendidikkan lebih rendah melalui teori-teori dan
retorika-retorika argumentatif.
Kebebasan pribadi atau
kelompok tertentu dicuri, dimanipulasi oleh kelompok lain. Hal ini berarti
kebebasan hanya dimiliki oleh sekelompok orang.
Peta pemikiran kaum tradisional tentang
pendidikan lebih terfokus pada teori pendidikan dan lebih berorientasi pada
pengalihan ide-ide konseptual dari satu generasi ke generasi berikutnya secara
mekanistis. Pendidikan dijadikan semacam satu wadah atau museum yang menyimpan
ide-ide konseptual yang sudah terbentuk untuk ditransfer kepada generasi
berikut. Pendidikan yang ditransfer dari generasi ke generasi merupakan upaya
untuk melegitimasi kemapanan status quo atau kaum elite yang menjadi pelaku
dalam drama penindasan.
Dengan
demikian dalam arti yang lebih luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan
usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah.
Di
samping konsep pendidikan yang tradisional, hambatan dalam usaha menuju
pendidikan yang membebaskan juga dilatarbelakangi oleh karakter masyarakat yang
sangat terikat dengan kesadaran magisistis dan kesadaran naif, serta karakter
masyarakat yang eksklusif. Karena karakter masyarakat yang eksklusif ini,
eksistensinya dirasuki oleh sikap ketergantungan pada pimpinan atau penguasa
politik. Dengan demikian pengalaman historisnya dikondisikan menjadi masyarakat
yang paternalistik dan masokistis.
Konsekuensi
dari semuanya ini, masyarakat yang bersangkutan menjadi masyarakat yang
berkebudayaan bisu dalam menerima pendidikan dan juga ajaran yang ditransfer
dari atas. Masyarakat menampilkan diri sebagai “bank” yang siap menampung
segala ide, persepsi, konsep, dan berbagai pikiran tanpa mengetahui dan
memahami apa arti dan esensi fundamental dari setiap ide, konsep, dan persepsi
yang diterimanya.
Satu hal lain yang menghambat jalannya pendidikan yang terarah pada pembebasan masyarakat adalah keberakaran masyarakat pada mitos-mitos. Masyarakat melihat realitas hidup harian yang sebenarnya mengikat kebebasannya sebagai satu kebiasaan, sebagai satu tradisi yang merupakan bagian dari hidup. Sebagai satu tradisi, maka adalah tabu bila melawan apalagi mengubah srtuktur yang mapan. Yang mampu dibuat adalah menghidupinya sebagai satu norma baku. Sikap yang dibangun atas fakta itu adalah kepasifan. Masyarakat hanya mampu bersikap pasif, bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup. Mereka hanya mampu menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.
Satu hal lain yang menghambat jalannya pendidikan yang terarah pada pembebasan masyarakat adalah keberakaran masyarakat pada mitos-mitos. Masyarakat melihat realitas hidup harian yang sebenarnya mengikat kebebasannya sebagai satu kebiasaan, sebagai satu tradisi yang merupakan bagian dari hidup. Sebagai satu tradisi, maka adalah tabu bila melawan apalagi mengubah srtuktur yang mapan. Yang mampu dibuat adalah menghidupinya sebagai satu norma baku. Sikap yang dibangun atas fakta itu adalah kepasifan. Masyarakat hanya mampu bersikap pasif, bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup. Mereka hanya mampu menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.
Kesadaran
magis ini dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu,
menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan. Masyarakat
tertindas menolak bahwa mereka memiliki masalah. Misalnya ketika ditanya, apa
masalah dehumanitatif dalam kehidupan anda sekarang? Secara spontan dijawab
“kami tidak menghadapi masalah, segalanya sejak dulu berjalan seperti ini.”
Sikap masyarakat yang demikian mengkondisikan mereka untuk menerima keadaan
yang mereka hadapi sebagai satu keharusan atau takdir. Konsekuensinya masalah
yang dihadapi diserahkan pada penguasa sebagai pengendali. Penguasa politis
adalah penguasa karismatik yang memiliki kekuatan dan karena itu apa yang
diucapkan harus diikuti. Kesadaran magis ini kemudian menangkap fakta-fakta
yang ada dan kemudian menyerahkannya kepada penguasa yang akan mengendalikan
kesadaran mereka dan harus dipatuhi. Hal ini berarti masyarakat pada tingkat
kesadaran ini lebih yakin akan kekuatan-kekuatan eksternal sebagai satu
kenyataan yang harus dihadapi dan harus diterima. Akibatnya karakter yang
mewarnai masyarakat ini adalah penolakan terhadap segala realitas sebagai satu
masalah.
Keterikatan
masyarakat pada kesadaran naif adalah salah satu fakta sosial lain yang
menghambat proses pendidikan menuju pembebasan. Pada level kesadaran magis
masyarakat menolak realitas sebagai satu masalah. Pada tingkatan kesadaran
naif, masyarakat berusaha menyederhanakan masalah. Masyarakat yang tergolong
dalam tingkat kesadaran naif memiliki kecenderungan kuat untuk berkelompok,
berpolemik daripada berdialog, Sebagai konsekuensinya yang terpenting bagi
mereka adalah akomodasi terhadap keadaan sekarang yang normal. Hal ini berarti
bila kepentingan akomodasi ini tidak terpenuhi maka yang dipersalahkan adalah
orang atau kelompok tertentu termasuk menyalahkan diri sendiri. Dan karena itu
pendidikan menjadi salah satu cara yang menjadikan kaum tertindas bisa menerima
penjelasan dari penindas.
Sikap
menerima penjelasan dari penindas mengarah pada sikap menyalahkan diri sendiri
dan individu atau kelompok tertentu. Konsekuensinya mereka menyerahkan diri
pada pengawasan sistem tertentu yang ketat. Aksi penyerahan diri pada satu
sistem tertentu ini terkadang menyebabkan mereka melakukan kekerasan terhadap
sesama tertindas karena alasan sepeleh. Kekerasan yang dilakukan sebenarnya
sebagai satu cara untuk mempertahankan diri serentak sebagai usaha
menghindarkan diri dari tekanan kaum penindas. Situasi yang semacam ini,
agaknya sulit bagi pengembangan satu model pendidikan yang membantu mereka
untuk keluar dari kekangan kaum penindas dengan sistem yang menindas.
Merujuk
pada penginternalisasian yang demikian tumbuh kebudayaan bisu. Orang miskin
menjadi bisu dan hampir tak sanggup lagi mengungkapkan pendapat dan kepentingan
mereka yang sebenarnya. Sebaliknya karena minimnya pendidikan yang diperoleh
terjadi pembungkaman terstruktur dalam masyarakat. Relasi antara rakyat dan
pemimpinnya atau para penguasa politis menjadi tersumbat. Komunikasi tidak
berjalan yang berakibat pada hilangnya kebebasan dalam masyarakat.
Konsekuensinya masyarakat kita semakin bernasib sial, sudah jatuh tertimpa
tangga, sudah miskin ditimpa penindasan pula.
Sekarang
saatnyalah kita mampu menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang berkesadaran.
Kita harus memulai mengenal dan memahami realitas dengan cara terjun langsung
pada permasalahan yang muncul dari masyarakat, juga membaca buku-buku
pengetahuan baik yang bersifat klasik maupun kontemporer sehingga ketinggalan
informasi. Apabila agenda besar dalam melakukan pendidikan kritis dapat
terealisasikan, maka saat itulah muncul yang namanya pembebasan.
Gagasan Pendidikan
Kritis Paulo Freire
Paulo Freire mendeskripsikan pendidikan
sebagai praktek pembebasan di dalamnya
mengandung suatu koreksi dan kritik atas pemikiran dan praktek pendidikan yang
dikonsepkan dan diwariskan oleh paham tradisional. Deskripsi ini adalah usaha
untuk membebaskan rakyat banyak dari diskriminasi.
Paulo
Freire bagi banyak praktisi pendidikan adalah tokoh pendidikan yang penuh
misteri. Banyak mitos yang menyelimuti pemikiran pendidikannya, sehingga banyak
orang lebih menghafalkan jargon-jargon dan istilah yang dipergunakannya dalam
bukunya yang terkenal, yakni Pendidikan
Kaum Tertindas (Pedagogy of The Opressed) ketimbang memahami secara praktis
kedalam proses belajar mengajar yang membebaskan. Banyak tema pikiran
pendidikan Freire yang tertuang dalam buku tersebut tidak mampu secara
metodologis diterjemahkan ke dalam proses dan teknis belajar mengajar oleh
pengagumnya yakni kalangan praktisi pendidikan. itulah makanya sebagian besar
pendidik ataupun guru yang merasa jadi pengikutnya, hanya pandai menghafalkan
mantra-mantra Freire yang terkenal, misalnya “Pendidikan adalah Proses Pembebasan dan Pendidikan adalah Proses
Membangkitkan Kesadaran Kritis”. Bahkan ironisnya banyak praktisi dengan
menggunakan semboyan pendidikan pembebasan dan humanisasi, tanpa menyadari
terjerumus dalam tindak praktik pendidikan penindasan dan dehumanisasi, yang
justru menjadi agenda utama kritik Freire.
Apa
sesungguhnya yang dia maksud dengan ‘pembebasan’
dan ‘kesadaran kritis’, lebih banyak
dibicarakan dalam seminar dan diskusi mahasiswa maupun aktivis arnop, ketimbang dipraktikkan di
lapangan. Namun demikian, ternyata terdapat banyak tafsiran mengenai apa yang
dimaksud Freire dengan ‘pendidikan
pembebasan’ maupun ‘pembangkitan
kesadaran kritis’ yang menjadi tema pokok pendidikan Freire tersebut.
Dalam
karyanya Pedagogia do Oprimido (1979;
serta buku, Pedagogy of the Opressed,
yang terbit tahun 1972) Freire membongkar watak pasif dari praktik pendidikan
tradisional yang melanda dunia pendidikan. Dia menganggap bahwa pendidikan
pasif sebagaimana dipraktikkan pada umumnya pada dasarnya melanggengkan “sistem relasi penindasan”. Freire
mengejek sistem dan praktik pendidikan yang menindas tersebut, yang disebutnya
sebagai pendidikan ‘gaya bank’ dimana
guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara maurid
dijejali informasi untuk disipmpan. Freire menyusun daftar antagonism
pendidikan ‘gaya bank’ itu sebagai
berikut :
1. Guru mengajar murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu
apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan.
5. Guru mengatur, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya,
murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan,
murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu
pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan
kebebasan murid.
10. Guru adalah subjek proses belajar, murid
objeknya.
Sebagai antitesa, Freire mengajukan
konsep tandingan terhadap pendidikan ‘gaya
bank’ tersebut dengan suatu ‘pedagogy
of libeartion’ yakni proses pendidikan
hadap masalah (problem posing of
education) yang justru mendorong dialog antara guru dan murid, serta suatu
proses pendidikan yang mampu mendorong peserta didik untuk mengajukan
pertanyaan dan menantang ‘status quo’.
Freirean, Pendidikan
untuk Bebas dari Dominasi dan Penindasan
Freirean, atau aliran pendidikan Paulo Freire pada
dasarnya adalah suatu pendekatan dan pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa
pendidikan adalah proses pembebabasan dari sistem yang menindas. Penganut
pendidikan Freirean berangkat daru suatu kepercayaan bahwa pendidikan tidak
pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan
sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Sebaliknya pandangan ini juga
berasumsi bahwa pendidikan bagi kekuasaan, selalu digunakan untuk melanggengkan
ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakikat pendidikan
umumnya bagi mereka tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi
sisteotip dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas,
relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainnya. Pandangan ini
dikenal dengan ‘teori reproduksi’
terhadap sistem yang tidak adil melalui pendidikan.
Berbeda dengan pandangan maupun teori ‘reproduksi’ dalam pendidikan tersebut,
ada pandangan maupun teori pendidikan yang juga datang dari kelompok pendidikan
radikat, yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa kesadaran
gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Pandangan kedua inilah yang dianut
oleh aliran Freirean tersebut. Oleh karena itu pendidikan bagi kelompok
Freirean merupakan proses pembebasan manusia. Pendirian Freirean berangkat dari
asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya
mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun
karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan
merupakan suatu sarana untuk ‘memproduksi’
kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan, dan dalam kaitan ini, pendidikan
berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk
pembebasan. Freire percaya bahwa tugas pendidikan adalah memproduksi kesadaran
kritis untuk suatu proses pembebasan.
Bagaimana proses pembebasan, pembangkitan kesadaran
kritis, dan pembebasan itu dilakukan? Para praktisi dalam menjawab pertanyaan
ini umumnya lebih konsentrasi pada metode pendidikan belaka. Namun
sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara
dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan
diselenggarakan. Oleh karena itu proses pendidikan sebagai proses pembebasan
tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial
yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan
keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan. Dalam era globalisasi
kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana
mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara
kritis. Strategi umumnya pendidik lebih tertuju pada bagaimana membuat kelas
mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominan saat ini. Strategi seperti
ini lebih berkesan menerima dan mensiasati dan yang paling penting melakukan
penyesuaian terhadap ideology dominan. Sementara itu jarang pendidikan yang
mengintegrasikan analisis kritis dan bagaimana mereka berperan dengan proses
kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk menemukan solusi alternatif terhadap
globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap sistem
doninan ataupun diskursus dominan dengan perspektif alternatif.
Untuk mendorong pendidikan menjadi peka terhadap
persoalan ketidakadilan sosial, perlu setiap kelas secara otonom menentukan
visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana mereka memperjelas
keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial, serta bagaimana mereka
menterjemahkan semua itu dalam metodologi pendidikan. Oleh karena itu metode
dan teknik pendidikan ‘hadap masalah’
menjadi salah satu kegiatan strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang
dominan. Persoalannya, proses pendidikan kelemahannya dan sekaligus
kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak
termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan peserta didik
menjadi subjek dan pusat kegiatan pendidikan. oleh karena itu orientasi untuk
setiap peserta pendidikan adalah menghayati visi dan misi pendidikan mereka.
Yang jauh lebih penting adalah kesadaran kritis peserta didik sangat diperlukan
jika pendidikan hendak meletakkan peserta didik sebagai subjek dan pemonitor.
Kesadaran kritis perlu agar proses dan metode pendidikan dapat menuju pada
tujuan sesungguhnya yakni sebuah transformasi sosial.
Untuk itu perlu ditunjukkan bagaimana proses
‘penyadaran kritis’ itu beroperasi dalam metodologi pendidikan sehingga secara
teknis metode tersebut dapat dilakukan. Secara konkret perlu dijabarkan
bagaimana teori pendidikan ‘konsistensi’ yang menjadi pemikiran dasar Paulo
Freire dipraktikkan, dan disajikan dalam bentuk uraian yang mudah ditangkap.
Dengan cara penyajian dan analisis seperti ini diharapkan memberi inspirasi
bagi setiap kalangan yang ingin mengetahui lebih mendalam metode pendidikan
Paulo Freire. Dasar terpenting dari metodologi Freire ini adalah meletakkan
peserta didik sebagai subyek pendidikan. Secara lebih khusus melalui metodologi
Freire akan ditunjukkan bagaimana ideologi di balik metode penyelenggaraan
pendidikan dibongkar. Oleh karena itu pendirian teoretik dan paradigm
pendidikan pembebasan Freirean memang akan memberikan inspirasi alternatif bagi
semua, kalangan yang memerlukan perubahan pendidikan secara mendasar. Seperti,
penting kiranya untuk dikupas secara lebih mendalam bagaimana operasionalsiasi
dari berbagai ideologi serta perspektif dunia pendidikan yang berkembang.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah
melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ideologi yang dominan’ yang
tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan
sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang
adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar
muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta
melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju
sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral,
objektif maupun dari kodnisi masyarakat sekitar lembaga pendidikan.
Visi kritis pendidikan terhadap sistem dominan
digunakan sebagai bagian pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas.
Metode ini digunakan bagi munculnya sistem sosial baru yang lebih adil dan yang
selam ini menjadi cita-cita pendidikan Freirean. Dalam perspektif Freirean,
pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan
menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain
tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’
kembali manusia yang mengalami ‘dehumanisasi’
karena sistem dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan Freirean ini cocok
dengan paradigm transformatif. Pendidikan dalam perspektif ini juga menjadi
arena kritik ideologi. Dalam pelatihan bagi para buruh misalnya, peserta
pendidikan perlu ditantang untuk memahami proses eksploitasi yang mereka alami,
serta memikirkan proses pembebasan dari alienasi dan eksploitasi yang buruh,
disamping penekanan pada teori motivasi kerja demi efisiensi yang hanya
menguntungkan akumulasi kapital. Demikian halnya dalam konteks pendidikan
pertanian misalnya, para petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi
ambisi produktivitas dan efisiensi. Ambisi ini muncul karena pandangan
peltanian yang didominasi oleh ideology Revolusi Hijau dan rekayasa genetika.
Dengan metodologi Freirean, petani difasilitasi untuk mempertanyakan relasi
kekuasaan yang selama ini mengambil peranan besar dalam mempermainkan kehidupan
mereka. Dalam konteks itulah pilihan paradigm pendidikan memainkan peran
strategis untuk proses perubahan dan transformasi sosial.
Pendidikan Yang Membebaskan
Meminjam
pendapat Paulo Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang mengatakan bahwa
“tujuan pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada partai ini atau partai itu,
juga bukan kepada agama ini atau agama itu yang sectarian atau ideologis,
melainkan pendidikan harus ditujukan untuk pembebasan yakni agar orang mampu
secara beradab menentukan pilihannya”. Friere terkenal dengan terobosannya
membuat sistem pendidikan alternatif dengan mengedepankan proses dialogis dan
proses penyadaran pada masing masing individu didalamnya (peserta didik).
Friere menekankan kepada kita untuk mendasarkan pada kesadaran dalam melakukan
segala sesuatu tanpa ada suatu tekanan maupun paksaan/penindasan dari luar
diri.
Ketika
kita mulai memberi kepercayaan akan akal manusia, maka kita mulai mengakui
adanya suatu kesadaran (the conciousness)
dalam diri manusia. Pikiran manusia dapat membuat kesadaran, kesadaran adalah
pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran atau akal manusia. Karena itu kita akan
mengenang pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku
sadar, maka aku ada” dengan demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu
membuat kita memiliki pengetahuan. Dari kesadaran itu kemudian muncul pemahaman
tentang nilai-nilai, dimana kita memiliki kebebasan untuk memberikan pengertian
terhadap istilah yang dibuat dengan menggunakan kebebasan berpikir yang
disertai dengan rasio.
Kondisi
pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran
peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat
dominan dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam
“mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus
dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi secara
demokratis.
Segenap
komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia
sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan
bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan,
hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga
pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses
pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa
sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual tidak hanya cukup
bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di masyarakat juga harus
menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Pemerintah dan lembaga politik lainnya
harus memiliki komitmen untuk terus berupaya meningkatkan anggaran bagi dunia
pendidikan di Indonesia sehingga angka 20% dapat segera terealisasikan. Dengan
ketatnya persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu
berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada
waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan national
character dari bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar