Rabu, 25 April 2012

PENDIDIKAN UNTUK PEMBEBASAN


PENDIDIKAN UNTUK PEMBEBASAN

Hakekat  Pendidikan
Pendidikan secara umum bertujuan membantu manusia menemukan akan hakekat kemanusiaannya. Maksudnya, pendidikan harus mampu mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan proses penyadaran terhadap manusia untuk mampu mengenal, mengerti dan memahami relitas kehidupan yang ada di sekelilingnya. Dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang ia miliki sebagi makhluk yang berfikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniyah (spiritual), nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran) dan jasmaniyah (tubuh). Dengan melakukan proses berfikir manusia akan menemukan eksistensi kehadirannya sebagai makhluk yang telah diberi akal oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Selama ini kita sering mengartikan pendidikan hanya sebagai proses formal yang ada pada lembaga-lembaga pendidikan dan menganggap proses penyadaran informal bukan sebagi proses pendidikan. Jelas, ini merupakan kesalahan yang harus diluruskan. Kita harus mampu membedakan antara pendidikan yang mempunyai makna luas dengan pengajaran yang mempunyai makna terbatas. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Pendidikan dalam bentuk formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itupun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.
Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses “humanisasi” (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiakan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
Semua hal di atas merupakan tujuan ideal pendidikan, namun bagaimana kenyataan di lapangan? Ternyata praktek pendidikan yang terjadi justru sebaliknya. Pendidikan dijadikan cara untuk melanggengkan doktrin tertentu dan sebagai alat hegemoni kekuasaan. Peserta didik hanya dijadikan objek dan dilatih untuk menjadi penurut dengan tujuan keseragaman nasional. Apabila hal ini terjadi, pendidikan tidak lagi mampu menjadikan manusia sebagi insan kamil, tetapi justru menjadikan manusia sebagai robot-robot kekuasaan yang tidak bisa berfikir secara kritis dan bebas terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan manusia mengalami kehampaan eksistensi sebagai manusia yang pada dasarnya secara fitriyah memiliki potensi berfikir bebas dan berkesadaran.
Kondisi pendidikan seperti ini sama sekali menafikan peserta didik sebagai manusia yang berpotensi untuk berfikir dan akan muncul kelompok masyarakat terbelakang dan bodoh, yang sebenarnya merupakan akibat dari penindasan struktural. Ketertindasan struktural inilah yang pada tataran global melahirkan proses kemiskinan baik di bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sebagai akibatnya, terjadi transformasi budaya yang bermakna dekaden, yaitu dari budaya kritis menjadi budaya oportunis dan pragmatis. Dengan demikian penjinakan yang dilakukan oleh struktur kekuasaan melalui cara penyeragaman berfikir telah mengakibatkan suatu kondisi dimana kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran kritis sebagai manusia yang dikaruniai akal, melainkan kesadaran na’if yang bertumpu pada pemikiran pragmatis.
Inilah persoalan pendidikan bangsa kita yang begitu kompleks dan hanya sedikit orang yang peduli. Oleh karena itu, sudah saatnyalah pendidikan kritis diwujudkan, demi terciptanya cita-cita yang berorientasi pada usaha penyadaran dan pembebasan. 
John Locke, seorang filsuf Inggris menggemakan pentingnya pendidikan. Locke berpendapat bahwa “sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan pembentukan yang terus-menerus.” (Seri Buku VOX, Seri 38/3 1993 p. 28).
Subjek yang satu akan memperoleh subjektivitas diri yang penuh bila ada subjek lain yang turut menegaskannya. Namun faktor keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan pikiran sebagai akibat rendahnya pendidikan menjadi penghalang terjadinya relasi yang timbal-balik. Bedanya tingkat pendidikan menyebabkan terjadinya pembelengguan satu kelompok terhadap kelompok lain. Pribadi atau kelompok yang berpendidikkan tinggi membelenggu dan mengekang pribadi atau kelompok yang berpendidikkan lebih rendah melalui teori-teori dan retorika-retorika argumentatif.
Kebebasan pribadi atau kelompok tertentu dicuri, dimanipulasi oleh kelompok lain. Hal ini berarti kebebasan hanya dimiliki oleh sekelompok orang.
Peta pemikiran kaum tradisional tentang pendidikan lebih terfokus pada teori pendidikan dan lebih berorientasi pada pengalihan ide-ide konseptual dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mekanistis. Pendidikan dijadikan semacam satu wadah atau museum yang menyimpan ide-ide konseptual yang sudah terbentuk untuk ditransfer kepada generasi berikut. Pendidikan yang ditransfer dari generasi ke generasi merupakan upaya untuk melegitimasi kemapanan status quo atau kaum elite yang menjadi pelaku dalam drama penindasan.
Dengan demikian dalam arti yang lebih luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.
Di samping konsep pendidikan yang tradisional, hambatan dalam usaha menuju pendidikan yang membebaskan juga dilatarbelakangi oleh karakter masyarakat yang sangat terikat dengan kesadaran magisistis dan kesadaran naif, serta karakter masyarakat yang eksklusif. Karena karakter masyarakat yang eksklusif ini, eksistensinya dirasuki oleh sikap ketergantungan pada pimpinan atau penguasa politik. Dengan demikian pengalaman historisnya dikondisikan menjadi masyarakat yang paternalistik dan masokistis.
Konsekuensi dari semuanya ini, masyarakat yang bersangkutan menjadi masyarakat yang berkebudayaan bisu dalam menerima pendidikan dan juga ajaran yang ditransfer dari atas. Masyarakat menampilkan diri sebagai “bank” yang siap menampung segala ide, persepsi, konsep, dan berbagai pikiran tanpa mengetahui dan memahami apa arti dan esensi fundamental dari setiap ide, konsep, dan persepsi yang diterimanya.
Satu hal lain yang menghambat jalannya pendidikan yang terarah pada pembebasan masyarakat adalah keberakaran masyarakat pada mitos-mitos. Masyarakat melihat realitas hidup harian yang sebenarnya mengikat kebebasannya sebagai satu kebiasaan, sebagai satu tradisi yang merupakan bagian dari hidup. Sebagai satu tradisi, maka adalah tabu bila melawan apalagi mengubah srtuktur yang mapan. Yang mampu dibuat adalah menghidupinya sebagai satu norma baku. Sikap yang dibangun atas fakta itu adalah kepasifan. Masyarakat hanya mampu bersikap pasif, bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup. Mereka hanya mampu menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.
Kesadaran magis ini dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan. Masyarakat tertindas menolak bahwa mereka memiliki masalah. Misalnya ketika ditanya, apa masalah dehumanitatif dalam kehidupan anda sekarang? Secara spontan dijawab “kami tidak menghadapi masalah, segalanya sejak dulu berjalan seperti ini.” Sikap masyarakat yang demikian mengkondisikan mereka untuk menerima keadaan yang mereka hadapi sebagai satu keharusan atau takdir. Konsekuensinya masalah yang dihadapi diserahkan pada penguasa sebagai pengendali. Penguasa politis adalah penguasa karismatik yang memiliki kekuatan dan karena itu apa yang diucapkan harus diikuti. Kesadaran magis ini kemudian menangkap fakta-fakta yang ada dan kemudian menyerahkannya kepada penguasa yang akan mengendalikan kesadaran mereka dan harus dipatuhi. Hal ini berarti masyarakat pada tingkat kesadaran ini lebih yakin akan kekuatan-kekuatan eksternal sebagai satu kenyataan yang harus dihadapi dan harus diterima. Akibatnya karakter yang mewarnai masyarakat ini adalah penolakan terhadap segala realitas sebagai satu masalah.
Keterikatan masyarakat pada kesadaran naif adalah salah satu fakta sosial lain yang menghambat proses pendidikan menuju pembebasan. Pada level kesadaran magis masyarakat menolak realitas sebagai satu masalah. Pada tingkatan kesadaran naif, masyarakat berusaha menyederhanakan masalah. Masyarakat yang tergolong dalam tingkat kesadaran naif memiliki kecenderungan kuat untuk berkelompok, berpolemik daripada berdialog, Sebagai konsekuensinya yang terpenting bagi mereka adalah akomodasi terhadap keadaan sekarang yang normal. Hal ini berarti bila kepentingan akomodasi ini tidak terpenuhi maka yang dipersalahkan adalah orang atau kelompok tertentu termasuk menyalahkan diri sendiri. Dan karena itu pendidikan menjadi salah satu cara yang menjadikan kaum tertindas bisa menerima penjelasan dari penindas.
Sikap menerima penjelasan dari penindas mengarah pada sikap menyalahkan diri sendiri dan individu atau kelompok tertentu. Konsekuensinya mereka menyerahkan diri pada pengawasan sistem tertentu yang ketat. Aksi penyerahan diri pada satu sistem tertentu ini terkadang menyebabkan mereka melakukan kekerasan terhadap sesama tertindas karena alasan sepeleh. Kekerasan yang dilakukan sebenarnya sebagai satu cara untuk mempertahankan diri serentak sebagai usaha menghindarkan diri dari tekanan kaum penindas. Situasi yang semacam ini, agaknya sulit bagi pengembangan satu model pendidikan yang membantu mereka untuk keluar dari kekangan kaum penindas dengan sistem yang menindas.
Merujuk pada penginternalisasian yang demikian tumbuh kebudayaan bisu. Orang miskin menjadi bisu dan hampir tak sanggup lagi mengungkapkan pendapat dan kepentingan mereka yang sebenarnya. Sebaliknya karena minimnya pendidikan yang diperoleh terjadi pembungkaman terstruktur dalam masyarakat. Relasi antara rakyat dan pemimpinnya atau para penguasa politis menjadi tersumbat. Komunikasi tidak berjalan yang berakibat pada hilangnya kebebasan dalam masyarakat. Konsekuensinya masyarakat kita semakin bernasib sial, sudah jatuh tertimpa tangga, sudah miskin ditimpa penindasan pula.

Sekarang saatnyalah kita mampu menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang berkesadaran. Kita harus memulai mengenal dan memahami realitas dengan cara terjun langsung pada permasalahan yang muncul dari masyarakat, juga membaca buku-buku pengetahuan baik yang bersifat klasik maupun kontemporer sehingga ketinggalan informasi. Apabila agenda besar dalam melakukan pendidikan kritis dapat terealisasikan, maka saat itulah muncul yang namanya pembebasan.

Gagasan Pendidikan Kritis Paulo Freire
Paulo Freire mendeskripsikan pendidikan sebagai praktek pembebasan   di dalamnya mengandung suatu koreksi dan kritik atas pemikiran dan praktek pendidikan yang dikonsepkan dan diwariskan oleh paham tradisional. Deskripsi ini adalah usaha untuk membebaskan rakyat banyak dari diskriminasi.
Paulo Freire bagi banyak praktisi pendidikan adalah tokoh pendidikan yang penuh misteri. Banyak mitos yang menyelimuti pemikiran pendidikannya, sehingga banyak orang lebih menghafalkan jargon-jargon dan istilah yang dipergunakannya dalam bukunya yang terkenal, yakni Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of The Opressed) ketimbang memahami secara praktis kedalam proses belajar mengajar yang membebaskan. Banyak tema pikiran pendidikan Freire yang tertuang dalam buku tersebut tidak mampu secara metodologis diterjemahkan ke dalam proses dan teknis belajar mengajar oleh pengagumnya yakni kalangan praktisi pendidikan. itulah makanya sebagian besar pendidik ataupun guru yang merasa jadi pengikutnya, hanya pandai menghafalkan mantra-mantra Freire yang terkenal, misalnya “Pendidikan adalah Proses Pembebasan dan Pendidikan adalah Proses Membangkitkan Kesadaran Kritis”. Bahkan ironisnya banyak praktisi dengan menggunakan semboyan pendidikan pembebasan dan humanisasi, tanpa menyadari terjerumus dalam tindak praktik pendidikan penindasan dan dehumanisasi, yang justru menjadi agenda utama kritik Freire.
Apa sesungguhnya yang dia maksud dengan ‘pembebasan’ dan ‘kesadaran kritis’, lebih banyak dibicarakan dalam seminar dan diskusi mahasiswa maupun aktivis arnop, ketimbang dipraktikkan di lapangan. Namun demikian, ternyata terdapat banyak tafsiran mengenai apa yang dimaksud Freire dengan ‘pendidikan pembebasan’ maupun ‘pembangkitan kesadaran kritis’ yang menjadi tema pokok pendidikan Freire tersebut.
Dalam karyanya Pedagogia do Oprimido (1979; serta buku, Pedagogy of the Opressed, yang terbit tahun 1972) Freire membongkar watak pasif dari praktik pendidikan tradisional yang melanda dunia pendidikan. Dia menganggap bahwa pendidikan pasif sebagaimana dipraktikkan pada umumnya pada dasarnya melanggengkan “sistem relasi penindasan”. Freire mengejek sistem dan praktik pendidikan yang menindas tersebut, yang disebutnya sebagai pendidikan ‘gaya bank’ dimana guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara maurid dijejali informasi untuk disipmpan. Freire menyusun daftar antagonism pendidikan ‘gaya bank’ itu sebagai berikut :
1.      Guru mengajar murid belajar.
2.      Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3.      Guru berpikir, murid dipikirkan.
4.      Guru bicara, murid mendengarkan.
5.      Guru mengatur, murid diatur.
6.      Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7.      Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
8.      Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9.      Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid.
10.  Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya.
Sebagai antitesa, Freire mengajukan konsep tandingan terhadap pendidikan ‘gaya bank’ tersebut dengan suatu ‘pedagogy of libeartion’  yakni proses pendidikan hadap masalah (problem posing of education) yang justru mendorong dialog antara guru dan murid, serta suatu proses pendidikan yang mampu mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan menantang ‘status quo’.

Freirean, Pendidikan untuk Bebas dari Dominasi dan Penindasan
Freirean, atau aliran pendidikan Paulo Freire pada dasarnya adalah suatu pendekatan dan pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebabasan dari sistem yang menindas. Penganut pendidikan Freirean berangkat daru suatu kepercayaan bahwa pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Sebaliknya pandangan ini juga berasumsi bahwa pendidikan bagi kekuasaan, selalu digunakan untuk melanggengkan ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakikat pendidikan umumnya bagi mereka tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sisteotip dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainnya. Pandangan ini dikenal dengan ‘teori reproduksi’ terhadap sistem yang tidak adil melalui pendidikan.
Berbeda dengan pandangan maupun teori ‘reproduksi’ dalam pendidikan tersebut, ada pandangan maupun teori pendidikan yang juga datang dari kelompok pendidikan radikat, yang justru berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Pandangan kedua inilah yang dianut oleh aliran Freirean tersebut. Oleh karena itu pendidikan bagi kelompok Freirean merupakan proses pembebasan manusia. Pendirian Freirean berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu sarana untuk ‘memproduksi’ kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan. Freire percaya bahwa tugas pendidikan adalah memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan.
Bagaimana proses pembebasan, pembangkitan kesadaran kritis, dan pembebasan itu dilakukan? Para praktisi dalam menjawab pertanyaan ini umumnya lebih konsentrasi pada metode pendidikan belaka. Namun sesungguhnya, pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan. Dalam era globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis. Strategi umumnya pendidik lebih tertuju pada bagaimana membuat kelas mereka relevan terhadap formasi sosial yang dominan saat ini. Strategi seperti ini lebih berkesan menerima dan mensiasati dan yang paling penting melakukan penyesuaian terhadap ideology dominan. Sementara itu jarang pendidikan yang mengintegrasikan analisis kritis dan bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk menemukan solusi alternatif terhadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap sistem doninan ataupun diskursus dominan dengan perspektif alternatif.
Untuk mendorong pendidikan menjadi peka terhadap persoalan ketidakadilan sosial, perlu setiap kelas secara otonom menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana mereka memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial, serta bagaimana mereka menterjemahkan semua itu dalam metodologi pendidikan. Oleh karena itu metode dan teknik pendidikan ‘hadap masalah’ menjadi salah satu kegiatan strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan. Persoalannya, proses pendidikan kelemahannya dan sekaligus kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan peserta didik menjadi subjek dan pusat kegiatan pendidikan. oleh karena itu orientasi untuk setiap peserta pendidikan adalah menghayati visi dan misi pendidikan mereka. Yang jauh lebih penting adalah kesadaran kritis peserta didik sangat diperlukan jika pendidikan hendak meletakkan peserta didik sebagai subjek dan pemonitor. Kesadaran kritis perlu agar proses dan metode pendidikan dapat menuju pada tujuan sesungguhnya yakni sebuah transformasi sosial.
Untuk itu perlu ditunjukkan bagaimana proses ‘penyadaran kritis’ itu beroperasi dalam metodologi pendidikan sehingga secara teknis metode tersebut dapat dilakukan. Secara konkret perlu dijabarkan bagaimana teori pendidikan ‘konsistensi’ yang menjadi pemikiran dasar Paulo Freire dipraktikkan, dan disajikan dalam bentuk uraian yang mudah ditangkap. Dengan cara penyajian dan analisis seperti ini diharapkan memberi inspirasi bagi setiap kalangan yang ingin mengetahui lebih mendalam metode pendidikan Paulo Freire. Dasar terpenting dari metodologi Freire ini adalah meletakkan peserta didik sebagai subyek pendidikan. Secara lebih khusus melalui metodologi Freire akan ditunjukkan bagaimana ideologi di balik metode penyelenggaraan pendidikan dibongkar. Oleh karena itu pendirian teoretik dan paradigm pendidikan pembebasan Freirean memang akan memberikan inspirasi alternatif bagi semua, kalangan yang memerlukan perubahan pendidikan secara mendasar. Seperti, penting kiranya untuk dikupas secara lebih mendalam bagaimana operasionalsiasi dari berbagai ideologi serta perspektif dunia pendidikan yang berkembang.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ideologi yang dominan’ yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, objektif maupun dari kodnisi masyarakat sekitar lembaga pendidikan.
Visi kritis pendidikan terhadap sistem dominan digunakan sebagai bagian pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas. Metode ini digunakan bagi munculnya sistem sosial baru yang lebih adil dan yang selam ini menjadi cita-cita pendidikan Freirean. Dalam perspektif Freirean, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami ‘dehumanisasi’ karena sistem dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan Freirean ini cocok dengan paradigm transformatif. Pendidikan dalam perspektif ini juga menjadi arena kritik ideologi. Dalam pelatihan bagi para buruh misalnya, peserta pendidikan perlu ditantang untuk memahami proses eksploitasi yang mereka alami, serta memikirkan proses pembebasan dari alienasi dan eksploitasi yang buruh, disamping penekanan pada teori motivasi kerja demi efisiensi yang hanya menguntungkan akumulasi kapital. Demikian halnya dalam konteks pendidikan pertanian misalnya, para petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi ambisi produktivitas dan efisiensi. Ambisi ini muncul karena pandangan peltanian yang didominasi oleh ideology Revolusi Hijau dan rekayasa genetika. Dengan metodologi Freirean, petani difasilitasi untuk mempertanyakan relasi kekuasaan yang selama ini mengambil peranan besar dalam mempermainkan kehidupan mereka. Dalam konteks itulah pilihan paradigm pendidikan memainkan peran strategis untuk proses perubahan dan transformasi sosial.
Pendidikan Yang Membebaskan
Meminjam pendapat   Paulo Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang mengatakan bahwa “tujuan pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada partai ini atau partai itu, juga bukan kepada agama ini atau agama itu yang sectarian atau ideologis, melainkan pendidikan harus ditujukan untuk pembebasan yakni agar orang mampu secara beradab menentukan pilihannya”. Friere terkenal dengan terobosannya membuat sistem pendidikan alternatif dengan mengedepankan proses dialogis dan proses penyadaran pada masing masing individu didalamnya (peserta didik). Friere menekankan kepada kita untuk mendasarkan pada kesadaran dalam melakukan segala sesuatu tanpa ada suatu tekanan maupun paksaan/penindasan dari luar diri.
Ketika kita mulai memberi kepercayaan akan akal manusia, maka kita mulai mengakui adanya suatu kesadaran (the conciousness) dalam diri manusia. Pikiran manusia dapat membuat kesadaran, kesadaran adalah pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran atau akal manusia. Karena itu kita akan mengenang pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Dari kesadaran itu kemudian muncul pemahaman tentang nilai-nilai, dimana kita memiliki kebebasan untuk memberikan pengertian terhadap istilah yang dibuat dengan menggunakan kebebasan berpikir yang disertai dengan rasio.

Kondisi pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam “mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi secara demokratis.
Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Pemerintah dan lembaga politik lainnya harus memiliki komitmen untuk terus berupaya meningkatkan anggaran bagi dunia pendidikan di Indonesia sehingga angka 20% dapat segera terealisasikan. Dengan ketatnya persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar