NASAKH
DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
RESUME
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester
Program Strata Satu (S.1) Tarbiyah
Kelompok Kelas : III D
Mata Kuliah : Ulumul
Qur’an
Dosen
H. Ali Mu’in Amnur, Lc
Oleh
MUHAMMAD SYAEFUL ABDULLOH
NIM. 2103958
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011
NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
Secara
umum maqashid al-tasyri’ adalah untuk keselamatan manusia. Maka dalam
pembentukan keselamatan manusia tidak dapat dielakan adanya nasakh mansukh
terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan
tuntutan realitas zaman, waktu, dan keselamatan manusia. Proses serupa ini
disebut dengan nasakh mansukh.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa nasakh mansukh terjadi karena AL-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui AL-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu
nasakh mansukh dalam AL-Qur’an. Sangat tepat apa yang dikemukakan oleh Imam
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi Ulumul Qur’an bahwa
“seseorang tidak akan dapat menafsirkan AL-Qur’an dengan baik tanpa mengetahui
nasakh mansukh” [1]
A. Pengertian
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara
menghadapi ayat-ayat yang sepintas menunjukan adanya gejala kontradiksi. Dari
situlah muncul pembahasan tentang nasakh mansukh dalam AL-Qur’an.
Nasakh mansukh dalam AL-Qur’an diungkapkan sebanyak
empat kali :
1. AL-Baqarah ayat 106
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs%
Ayat mana saja yang
Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
2. AL-A’raf ayat 154
Îûur $pkÉJyó¡èS Wèd ×puH÷quur tûïÏ%©#Ïj9 öNèd öNÍkÍh5tÏ9 tbqç7ydöt
Dan dalam
tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada
Tuhannya.
3. AL-Hajj ayat 52
ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym
Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
4. AL-Jatsiah ayat 29
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZt Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès?
"Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan
terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang
telah kamu kerjakan".
Untuk mengetahui ada tidaknya nasakh mansukh dalam
AL-Qur’an terlebih dahulu kita ketahui apa hakikat nasakh mansukh tersebut.
1.
Pengertian Nasakh secara Etimologi
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai
makna nasakh secara etimologi. Karena memang kata tersebut memiliki makna yang
lebih dari satu. Nasakh dapat berarti لازالة[2]artinya menghilangkan atau meniadakan. Dalam AL-Qur’an dinyatakan :
ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym
Kemudian Allah
menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS.AL-Hajj:52)
Dalam
ungkapan orang Arab juga dikatakan : Matahari menghilangkan bayangan itu”
. نسخت ا لشمس ا لظل
Kata nasakh juga
berarti ا لتحو يل[3],
artinya pengalihan. Seperti pengalihan bagia harta warisan
(تنا سخ ا لم ار ث).
Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.
Kata
nasakh juga berarti “ا لتبد يل
”[4],
artinya pengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain. Ini dapat kita lihat
pada ayat yang berbunyi :
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä
Dan apabila
Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain(QS.AL-Nahl:101)
Kata nasakh
juga berarti “ ا لنقل ”[5],
artinya menyalin, memindahkan atau mengutip apa yang ada dalam buku, sebagai
contoh:
نسخت
ا لكتا ب
Aku memindahkan
atau mengutip isi buku persis menurut kata dan penulisannya.
2.
Nasakh menurut Terminologi
Secara
terminologi nasakh dapat dikategorikan pada dua kategori, yaitu kategori
menurut ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin.
a.
Mutaqaddimin
Menutul ulama Mutaqaddimin, nasakh
adalah
ر فع الحكم ا لشر عي بخطاب شر عي[6]
Mengangkat hukum syar’i
(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.
Misalnya, dikeluarkan hukum syar’i dengan berdasarkan kitab syara’
dari seseorang karena dia mati atau gila. Contoh tentang warisan, di mana hukum
waris dinasakhkan oleh hukum wasiat ibu bapak dan karib kerabat.
QS.AN-Nisa
ayat:11
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
Ayat tersebut
dinasakhkan oleh QS. AL-Baqarah ayat 180 yang berbunyi:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$#
Contoh lain, menurut ulama Mutaqddimin, adalah terdapat dalam
QS.AL-Baqarah ayat 183
$yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s%
Ayat tersebut dinasakh oleh QS.Al-Baqarah ayat 187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS
Ayat-ayat
tersebut diatas kadang-kadang oleh ulama mutaqddinmin disebut juga dengan takhsis.
Dengan
demikian tampak dengan jelas bahwa ulama mutaqaddimin memberikan batasan
pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil sya’i yang ditetapkan kemudian.
Jadi tidak hanya bagi ketentuan hukum yang mencabut dan membatalkan ketentuan
(hukum) yang sudah berlaku sebelumnya atau merubah ketentuan hukum yang sudah
dinyatakan pertama berakhir masa berlakunya,sejauh hukum tesebut tidak
dinyatakan berlaku terus-menerus.Pengertian nasakh menurut kelompok ini
mencangkup pengertian pembatasan (qayyad) terhadap pengertian bebas (muta’allaq),
pengkhususanterhadap yang umum, pengecualian, syarat, dan sifat. Ini berlaku
mulai pada abad kesatu sampai pada abad ketiga Hijriah
Ada diantara
mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh suatu
kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain akibat adanya
kondisi lain, misalnya “perintah bersabar untuk menahan diri pada periode
Mekkah disaat kaum muslim lemah dianggap telah nasakh oleh perintah atau izin
berperang pada peiode Madinah”, sebagamana ada yang beranggapan bahwa ketetapan
hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan
bagian dari pengertian nasakh. Imam Zarqoni mengartikan :
رفع الحكـم الشر عي بد
ليل شر عيّ[7]
Mengangkat (mengganti) hukum syara’
dengan dalil syara
b.
Mutaakhirin
Pengertian yang begitu luas kemudian
dipersempit oleh ulama yang datang kemudian. Pengertian nasakh menurut ulama mutakhirin diantaranya
adalah sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab: “Nasakh terbatas pada ketentuan
hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan
berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada
yang ditetapkan terakhir”.[8]
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam nasakh diperlukan syarat sebagai berikut.
·
Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
·
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang
lebih kemudian dari kitab yang hukumnya
mansukh.
·
Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan hukum tertentu.
Adapun manfa’atnasakh mansukh adalah
agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur, sebagaimana
perkataan Ali ra. Kepada seorang hukim:
أتعر ف
الناسخ والنسوخ قال: هلكت وأهلكت
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari
melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh
?, “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali “celakan kamu, dan kamu mencelakan
orang lain.
B. Cara MengetahuinNasakh dan Mansukh
Cara untuk
mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.
Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang
berbunyi:
كنت
نهبتكـم عن زيارة القبر فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنهاتذكرالاخرة
Aku (dulu) pernah melarangmu
berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah mendapat izin untuk menziarahi ke
kubur ibunya, kini berziarah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu
mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2.
Kesepakatan
umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3.
Mengetahui
mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasakh tidak dapat ditetapkan
berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara
lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua
perawi.
Ketiga-tiga
persyaratan tersebut merupakan factor yang sangat menentukan adanya nasakh dan
mansukJh dalam Al-Qur’an. Jadi, berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami
bahwa nasakh mansukhhanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk
penghapusan yang bersifat asal (pokok).
C Pendapat Ulama Tentang Nasakh dan Mansukh
Ada tidaknya nasakh mansukh dalam alquran sejak dahulu diperdebatkan
para ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah berawal dari pemahaman mereka tentang ayat:
öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã Îöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZÏW2
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(QS.An-Nisaaa 82)
Kesimpulan dari ayat diatas mengandung prinsip
yang diyakini kebenaranya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat
dalam menghadapi ayat-ayat Al quran yang secara zahir menunjukkan kontradiksi.
Sebelum memasuki pembahasan
perbedaan pendapat para ulama, maka perhatikanlah lebih dahulu firman alloh
yang berbunyi
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. (QS.2:106)
Dengan memperhatikan ayat diatas,
ulama sepakat bahwa dalam Alquran tidak terdapat wahyu yang bertentngan secara
hakiki. Selanjutnya dalam menghadapi ayat yang secara sepintas dinilai
kontradiksi, maka ada dua pendapat ulama yang harus diperhatikan, yaitu:
1.
Nasakh secara Logika bukan secara Syara’
Nasakh dapat terjadi menurut logika,
tetapi tidak secara syara’
Pendapat ini dianut oleh Abu Muslim
Al –Asfhina dkk. Menurut kelompok ini apabila ada ayat ayat secara sepintas
dinilai kontradiksi tidak diselesaikan dengan jalan nasakh, tapi dengan jalan
takhsis. Menurut Abu Muslim dkk, Alquran adalah syariat yang muhkam tidak ada
yang mansukh. Alquran menyatakan:
w ÏmÏ?ù't ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷yt wur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@Í\s? ô`ÏiB AOÅ3ym 7ÏHxq
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji. (QS. Fushilat:42)
Ayat diatas menjadi landasan bagi Abu
Muslim untuk menyatakan bahwa nasakh mansukh tidak ada dalam Alquran, yang ada
hanya ‘am takhsis. Jadi nasakh menurut yang lain, takhsis menurut Abu
Muslim. Hal ini untuk menghindari pendirian pembatalan suatu hokum yang telah
diturunkan Allah.
Bagi ulama yang menolak nasakh beranggapan
bahwa pembatalan hokum yang telah diturunkan-nya berarti akan muncul dua
pemahaman paling kurang yaitu:
1. Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehingga dia perlu mengganti
atau membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain.
2. Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan
permainan belaka.[9]
Tegasnya
bahwa Abu Muslim Al- Asfihani tidak sependapat atau tidak setuju dengan adanya
nasakh, baik secara garis besar maupun secara terperinci.
2. Nasakh Secara Logika dan Syara’
Sebagai
altenatif dalam menghadapi ayat yang kelihatannya memiliki kontradiksi, maka diantara
ulama ada yang mengakui adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Pendapat ini
dianut oleh Jumhur Ulama. Menurut mereka ayat nasakh dan mansukh tetap berlaku,
akan tetapi segi hokum yang berlaku menyeluruh hingga waktu tertentu tidak
dapat dibatalkan kecuali oleh syar’i.
Adapun
dalil yang digunakan oleh mereka adalah:
1. Naqli yaitu firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya.
2. Aqli atau Rasio
Menurut pendapat segolongan ulama bahwa
Allah berbuat secara mutlak. Dia dapat menyuruh berbuat sesuatu dalam waktu
tertentu, kemudian melarangnya dalam waktu tertentu lainnya.
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa
perbuatan Allah itu mengikuti kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Jadi
jika Allah menyuruh asti di dalamnya ada kemaslahatan dan jika Dia melarangnya
pasti disana ada kemudharatan. Kemaslahatan itu dapat berubah karena perubahan
masa, oleh karena itu Allah dapat saja melarang atau menyuruh melakukan suatu
perbuatan karena ada kemaslahatan.
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh dan
mansukh itu ada hikmah-hikmahny, lanjut tegasnya :
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali
untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan
waktu dan tempat sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu
waktukarena ada kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan itu berakhir, maka
hal itu merupakan suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang diundangkan
tersebut dinasakh (dibatalkan) dan diganti dengan hokum yang sesuai dengan
waktu tersebut, sehingga dengan demikian hukum itu akan jadi lebih baik dari
hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.[10]
Quraish Shihab mengkompromikan
pendapat-pendapat keduanya, sebab menurut kalangan yang mengaku adanya nasakh
ditetapkan bahwa nasakh baru dapat ditetapkan bila:
1. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang serta tidak dapat
lagi dikompromikan.
2. Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat tersebut. Ynag
dahulu dikatakan mansukh oleh yang kemudian.[11]
Namun dari masa ke masa makin banyakdiduga
bahwa ayat mansukh dapat dikompromikan dengan jamak atau talfiq ( اكجمع أوالتلفيق) . Quraish Shihab menyarankan
agar hendaknya para ulama (terutama Mufassirin) melakukan usaha rekonsiliasi
antar kedua kelompok tersebut, seperti meninjau kembali pengertian nasakh yang
diungkapkan oleh para ulama mutaakhirin.
Contoh
kasus nasakh mansukh dalam Al-Qur’an adalah nasakh dengan badal mumatsil, yaitu
perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis di Masjidil Aqsa ke kakbah di
masjidil Haram. Dalam Firman Allah :
tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx©
Sungguh kami sering melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu kekiblat yang
kamu senangi. Hadapkanlah mukamu (ketika shalat) ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada hadapkanlah mukamu kearahnya. (QS.AL-Baqarah
144)
Ayat tersebut menasakhan firman Allah dalam
surah Al Baqarah ayat 115 yang berbuyi:
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ
Timur dan barat itu adalah kepunyaan Allah , maka
kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah maha luas
rahmatnya lagi maha mengetahui.
Nasakh adakalanya dengan pengganti
adakalanya tidak dengan pengganti. Untuk lebih jelasnya ikutilah penjelasan
berikut ini :
1. Nasakh tanpa badal, contoh penghapusan keharusan bersedekah sebelum
berbicara dengan Rasul.
2. Nasakh dengan badal ringan, contoh larangan becampur pada bulan
Ramadhan.
3. Nasakh dengan badal sebanding.
4. Nasakh dengan badal lebih berat, contoh penghapusan tahanan rumah bagi
wanita pezina.[12]
Muhammad Abduh menolak dengan adanya nasakh
dan mansukh dalam pengertian pembatalan, tetapi dia sependapat nasakh dalam
pengertian penggantian, pengalihan dan pemindahan ayat hukum ke tempat ayat
hukum yang lain.[13]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
seluruh ayat Al Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanyalah
penggantian hukum bagi situasi kondisi tertentu.
D. Pembagian Nasakh
Nasakh ada empat bagian:
1. Nasakh Alquran dengan Alquran. Hal ini disepakati oleh ulama yang
mengatakan adanya nasakh mansukh. Sebagaimana keterangan dimuka.
2. Nasakh Alquran dengan sunnah. Ini terbagi dua:
3. Naskh Sunnah dengan Alquran.
4. Nasakh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
·
Nasakh Mutawatir dengan Mutawatir
·
Nasakh Ahad dengan Ahad.
·
Nasakh Ahad dengan Mutawatir.
· Nasakh Mutawatir dengan ahad.
E. Macam-macam Nasakh dalam Alquran
1. Nasakh tilawah dan hukum.
Maksudnya,
hukumnya nasakh ayatnya juga nasakh. Misalnya tentang kawin muth’ah. Rasulullah
membolehkan muth’ah dengan perintah Allah pada tahun penakhlukan mekah,
kemudian melarangnya dengan tegas pada masa perang Khaibar, yaitu pada bulan
shafar tahun ke-7 Hijrah.
2. Nasakh hukum, tilawahnya tetap.
Maksudnya, hukumnya nasakh ayatnya masih ada.
Misalnya:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
3. Nasakh tilawah, hukumnya tetap.
Maksudnya, ayatnya nasakh hukumnya masih ada. Misalnya
ayat rajam yang berbunyi:
الشيخ والشيخة إذازينافارجمو هما البتة نكالام
الله والله عزيز حكيمز
Dari bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa nasakh dan
mansukh terdapat hukum yang ada dalam Alquran adalah demi kemaslahatan manusia.
Ini salah satu kemukjizatan Alquran. Mudah-mudahan ini dapat menjadi pengantar
pembicaraan, selanjutnya untuk dapat kiranya lebih didalami dan dipahami
Referensi;
Drs. Abu Anwar, M. Ag Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Awzah 2009
Muchotob
Hamzah Studi AL-Qur’an Kompprehensif
Gama Media Yogyakarta 2003 kerjasama dengan LP3M UNSIQ Wonosobo
[1] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi
Ulumul Qur’an, Beirut, Darul Fikr, T. th, hlm. 20
[2] Manna’I
AL-Qathan, Mabahis fii Ulumul Qur’an, Riyath, Mansyurat AL-Asr
AL-Hadist, T, th, hlm.232: Lihat juga, Burhan fii Ulumul Quran, juz. 2.
Hlm. 34
[3] Imam
Badaruddin Muhammad bin Abdullah AL-Zarkasih, AL-Burhan fii Ulumul Qur’an, juz
2, Beirut, Dar AL-Fikr, 1988. Hlm 34 : Lihat juga Subhi Sholih, Mabahits fi
Ulumul Qur’an pada bab Nasak dan Mansukh.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]Manna Al-Qur’an, loc. cit. hlm. 232.
[7] M. Abdul
‘Azim Al-Zurqoni, Manahilul ‘irfan, Juz, 2. Dar Al-Fikr. tt., hlm. 176.
[8]Quraish Shihab, Membumikan
Alquran. Bandung,Mizan. Hlm 144.lihat juga Alie Yafie, Menggagas Fiqih
Sosial, hlm.33
[9]Quraish Shihab, Ibid., hlm.144.
[10]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, Mesir:Al-Babiy Al-Halabiy,Jilid 1,tt.hlm.187:Lihat juga Quraish
Shihab, Membumikan Alquran, hlm.145.
[11] Ibid
[12]Mana Khalil al-Qathan, Op.cit, hlm.
241.
[13]Pendapat tersebut dikutip oleh
Quraish Shihab dalam “Membumikan Alquran”, HLM. 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar