Rabu, 25 April 2012

NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN


NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
RESUME
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ulangan Tengah Semester
Program Strata Satu (S.1) Tarbiyah
Kelompok Kelas : III D
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen
H. Ali Mu’in Amnur, Lc

Description: Logo_STAINU

Oleh
MUHAMMAD SYAEFUL ABDULLOH
                 NIM. 2103958


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2011



NASAKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
       Secara umum maqashid al-tasyri’ adalah untuk keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan keselamatan manusia tidak dapat dielakan adanya nasakh mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan keselamatan manusia. Proses serupa ini disebut dengan nasakh mansukh.
       Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasakh mansukh terjadi karena AL-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu, untuk mengetahui AL-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasakh mansukh dalam AL-Qur’an. Sangat tepat apa yang dikemukakan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi Ulumul Qur’an bahwa “seseorang tidak akan dapat menafsirkan AL-Qur’an dengan baik tanpa mengetahui nasakh mansukh”           [1]
A.      Pengertian
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas menunjukan adanya gejala kontradiksi. Dari situlah muncul pembahasan tentang nasakh mansukh dalam AL-Qur’an.
Nasakh mansukh dalam AL-Qur’an diungkapkan sebanyak empat kali :
1.      AL-Baqarah ayat 106
 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs%
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

2.      AL-A’raf ayat 154
 Îûur $pkÉJyó¡èS Wèd ×puH÷quur tûïÏ%©#Ïj9 öNèd öNÍkÍh5tÏ9 tbqç7ydötƒ
Dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
3.      AL-Hajj ayat 52
ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym 
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
4.      AL-Jatsiah ayat 29
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZtƒ Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès?  
"Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".
Untuk mengetahui ada tidaknya nasakh mansukh dalam AL-Qur’an terlebih dahulu kita ketahui apa hakikat nasakh mansukh tersebut.
1.        Pengertian Nasakh secara Etimologi
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai makna nasakh secara etimologi. Karena memang kata tersebut memiliki makna yang lebih dari satu. Nasakh dapat berarti لازالة[2]artinya menghilangkan atau meniadakan. Dalam AL-Qur’an dinyatakan :
ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym
Kemudian Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS.AL-Hajj:52)
Dalam ungkapan orang Arab juga dikatakan : Matahari menghilangkan bayangan itu”
. نسخت ا لشمس ا لظل
            Kata nasakh juga berarti ا لتحو يل[3], artinya pengalihan. Seperti pengalihan bagia harta warisan
 (تنا سخ ا لم ار ث). Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.
Kata nasakh juga berarti “ا لتبد يل[4], artinya pengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain. Ini dapat kita lihat pada ayat yang berbunyi :
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain(QS.AL-Nahl:101) 
Kata nasakh juga berarti “ ا لنقل[5], artinya menyalin, memindahkan atau mengutip apa yang ada dalam buku, sebagai contoh:
نسخت ا لكتا ب
Aku memindahkan atau mengutip isi buku persis menurut kata dan penulisannya.
2.    Nasakh menurut Terminologi
Secara terminologi nasakh dapat dikategorikan pada dua kategori, yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin.
a.    Mutaqaddimin
Menutul ulama Mutaqaddimin, nasakh adalah
ر فع الحكم ا لشر عي بخطاب شر عي[6]
Mengangkat hukum syar’i (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain.
Misalnya, dikeluarkan hukum syar’i dengan berdasarkan kitab syara’ dari seseorang karena dia mati atau gila. Contoh tentang warisan, di mana hukum waris dinasakhkan oleh hukum wasiat ibu bapak dan karib kerabat.
QS.AN-Nisa ayat:11
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
Ayat tersebut dinasakhkan oleh QS. AL-Baqarah ayat 180 yang berbunyi:

|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$#
Contoh lain, menurut ulama Mutaqddimin, adalah terdapat dalam QS.AL-Baqarah ayat 183
$yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s%
Ayat tersebut dinasakh oleh QS.Al-Baqarah ayat 187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS
Ayat-ayat tersebut diatas kadang-kadang oleh ulama mutaqddinmin disebut juga dengan takhsis.
Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa ulama mutaqaddimin memberikan batasan pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil sya’i yang ditetapkan kemudian. Jadi tidak hanya bagi ketentuan hukum yang mencabut dan membatalkan ketentuan (hukum) yang sudah berlaku sebelumnya atau merubah ketentuan hukum yang sudah dinyatakan pertama berakhir masa berlakunya,sejauh hukum tesebut tidak dinyatakan berlaku terus-menerus.Pengertian nasakh menurut kelompok ini mencangkup pengertian pembatasan (qayyad) terhadap pengertian bebas (muta’allaq), pengkhususanterhadap yang umum, pengecualian, syarat, dan sifat. Ini berlaku mulai pada abad kesatu sampai pada abad ketiga Hijriah
Ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain akibat adanya kondisi lain, misalnya “perintah bersabar untuk menahan diri pada periode Mekkah disaat kaum muslim lemah dianggap telah nasakh oleh perintah atau izin berperang pada peiode Madinah”, sebagamana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasakh. Imam Zarqoni mengartikan :
رفع الحكـم الشر عي بد ليل شر عيّ[7]
Mengangkat (mengganti) hukum syara’ dengan dalil syara
b.  Mutaakhirin
Pengertian yang begitu luas kemudian dipersempit oleh ulama yang datang kemudian. Pengertian  nasakh menurut ulama mutakhirin diantaranya adalah sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab: “Nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan terakhir”.[8]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam nasakh diperlukan syarat sebagai berikut.
·      Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
·      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih kemudian dari kitab   yang hukumnya mansukh.
·      Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan hukum tertentu.
Adapun manfa’atnasakh mansukh adalah agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur, sebagaimana perkataan Ali ra. Kepada seorang hukim:
أتعر ف الناسخ والنسوخ قال: هلكت وأهلكت
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh ?, “tidak” jawab hakim itu, maka kata Ali “celakan kamu, dan kamu mencelakan orang lain.
B. Cara MengetahuinNasakh dan Mansukh
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.    Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang berbunyi:
كنت نهبتكـم عن زيارة القبر فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنهاتذكرالاخرة
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2.    Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3.    Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
          Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan factor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukJh dalam Al-Qur’an. Jadi, berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa nasakh mansukhhanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).
C Pendapat Ulama Tentang Nasakh dan Mansukh
            Ada tidaknya nasakh mansukh dalam alquran sejak dahulu diperdebatkan para ulama. Adapun sumber perbedaan pendapat tersebut adalah  berawal dari pemahaman mereka tentang ayat:
 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã ÎŽöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(QS.An-Nisaaa 82)
Kesimpulan dari ayat diatas mengandung prinsip yang diyakini kebenaranya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat Al quran yang secara zahir menunjukkan kontradiksi.
Sebelum memasuki pembahasan perbedaan pendapat para ulama, maka perhatikanlah lebih dahulu firman alloh yang berbunyi
 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS.2:106)
Dengan memperhatikan ayat diatas, ulama sepakat bahwa dalam Alquran tidak terdapat wahyu yang bertentngan secara hakiki. Selanjutnya dalam menghadapi ayat yang secara sepintas dinilai kontradiksi, maka ada dua pendapat ulama yang harus diperhatikan, yaitu:
1.      Nasakh secara Logika bukan secara Syara’
Nasakh dapat terjadi menurut logika, tetapi tidak secara syara’
Pendapat ini dianut oleh Abu Muslim Al –Asfhina dkk. Menurut kelompok ini apabila ada ayat ayat secara sepintas dinilai kontradiksi tidak diselesaikan dengan jalan nasakh, tapi dengan jalan takhsis. Menurut Abu Muslim dkk, Alquran adalah syariat yang muhkam tidak ada yang mansukh. Alquran menyatakan:
žw ÏmÏ?ù'tƒ ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿwur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@ƒÍ\s? ô`ÏiB AOŠÅ3ym 7ŠÏHxq  
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. Fushilat:42)
Ayat diatas menjadi landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan bahwa nasakh mansukh tidak ada dalam Alquran, yang ada hanya ‘am takhsis. Jadi nasakh menurut yang lain, takhsis menurut Abu Muslim. Hal ini untuk menghindari pendirian pembatalan suatu hokum yang telah diturunkan Allah.
Bagi ulama yang menolak nasakh beranggapan bahwa pembatalan hokum yang telah diturunkan-nya berarti akan muncul dua pemahaman paling kurang yaitu:
1.    Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehingga dia perlu mengganti atau membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain.
2.    Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka.[9]
     Tegasnya bahwa Abu Muslim Al- Asfihani tidak sependapat atau tidak setuju dengan adanya nasakh, baik secara garis besar maupun secara terperinci.
2.    Nasakh Secara Logika dan Syara’
     Sebagai altenatif dalam menghadapi ayat yang kelihatannya memiliki kontradiksi, maka diantara ulama ada yang mengakui adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Pendapat ini dianut oleh Jumhur Ulama. Menurut mereka ayat nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hokum yang berlaku menyeluruh hingga waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syar’i.
     Adapun dalil yang digunakan oleh mereka adalah:
1.    Naqli yaitu firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3
 Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
2.    Aqli atau Rasio
Menurut pendapat segolongan ulama bahwa Allah berbuat secara mutlak. Dia dapat menyuruh berbuat sesuatu dalam waktu tertentu, kemudian melarangnya dalam waktu tertentu lainnya.
Pendapat lain lagi menyatakan bahwa perbuatan Allah itu mengikuti kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Jadi jika Allah menyuruh asti di dalamnya ada kemaslahatan dan jika Dia melarangnya pasti disana ada kemudharatan. Kemaslahatan itu dapat berubah karena perubahan masa, oleh karena itu Allah dapat saja melarang atau menyuruh melakukan suatu perbuatan karena ada kemaslahatan.
Al-Maraghi menyatakan bahwa nasakh dan mansukh itu ada hikmah-hikmahny, lanjut tegasnya :
Hukum-hukum tidak akan diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada suatu waktukarena ada kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan itu berakhir, maka hal itu merupakan suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang diundangkan tersebut dinasakh (dibatalkan) dan diganti dengan hokum yang sesuai dengan waktu tersebut, sehingga dengan demikian hukum itu akan jadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.[10]
Quraish Shihab mengkompromikan pendapat-pendapat keduanya, sebab menurut kalangan yang mengaku adanya nasakh ditetapkan bahwa nasakh baru dapat ditetapkan bila:
1.    Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang serta tidak dapat lagi dikompromikan.
2.    Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat tersebut. Ynag dahulu dikatakan mansukh oleh yang kemudian.[11]
Namun dari masa ke masa makin banyakdiduga bahwa ayat mansukh dapat dikompromikan dengan jamak atau talfiq ( اكجمع أوالتلفيق) . Quraish Shihab menyarankan agar hendaknya para ulama (terutama Mufassirin) melakukan usaha rekonsiliasi antar kedua kelompok tersebut, seperti meninjau kembali pengertian nasakh yang diungkapkan oleh para ulama mutaakhirin.
                                                                                                                                Contoh kasus nasakh mansukh dalam Al-Qur’an adalah nasakh dengan badal mumatsil, yaitu perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis di Masjidil Aqsa ke kakbah di masjidil Haram. Dalam Firman Allah :
tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx©
Sungguh kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu kekiblat yang kamu senangi. Hadapkanlah mukamu (ketika shalat) ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada hadapkanlah mukamu kearahnya. (QS.AL-Baqarah 144)
Ayat tersebut menasakhan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 115 yang berbuyi:
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ 
Timur dan barat itu adalah kepunyaan Allah , maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah maha luas rahmatnya lagi maha mengetahui.
Nasakh adakalanya dengan pengganti adakalanya tidak dengan pengganti. Untuk lebih jelasnya ikutilah penjelasan berikut ini :
1.      Nasakh tanpa badal, contoh penghapusan keharusan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasul.
2.      Nasakh dengan badal ringan, contoh larangan becampur pada bulan Ramadhan.
3.      Nasakh dengan badal sebanding.
4.      Nasakh dengan badal lebih berat, contoh penghapusan tahanan rumah bagi wanita pezina.[12]
Muhammad Abduh menolak dengan adanya nasakh dan mansukh dalam pengertian pembatalan, tetapi dia sependapat nasakh dalam pengertian penggantian, pengalihan dan pemindahan ayat hukum ke tempat ayat hukum yang lain.[13]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seluruh ayat Al Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanyalah penggantian hukum bagi situasi kondisi tertentu.
D. Pembagian Nasakh
Nasakh ada empat bagian:
1.      Nasakh Alquran dengan Alquran. Hal ini disepakati oleh ulama yang mengatakan adanya nasakh mansukh. Sebagaimana keterangan dimuka.
2.      Nasakh Alquran dengan sunnah. Ini terbagi dua:
3.      Naskh Sunnah dengan Alquran.
4.      Nasakh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
·      Nasakh Mutawatir dengan Mutawatir
·      Nasakh Ahad dengan Ahad.
·      Nasakh Ahad dengan Mutawatir.
·      Nasakh Mutawatir dengan ahad.
E. Macam-macam Nasakh dalam Alquran
1. Nasakh tilawah dan hukum.
     Maksudnya, hukumnya nasakh ayatnya juga nasakh. Misalnya tentang kawin muth’ah. Rasulullah membolehkan muth’ah dengan perintah Allah pada tahun penakhlukan mekah, kemudian melarangnya dengan tegas pada masa perang Khaibar, yaitu pada bulan shafar tahun ke-7 Hijrah.
2.      Nasakh hukum, tilawahnya tetap.
Maksudnya, hukumnya nasakh ayatnya masih ada.
Misalnya:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
3.      Nasakh tilawah, hukumnya tetap.
Maksudnya, ayatnya nasakh hukumnya masih ada. Misalnya ayat rajam yang berbunyi:
الشيخ والشيخة إذازينافارجمو هما البتة نكالام الله والله عزيز حكيمز

Dari bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa nasakh dan mansukh terdapat hukum yang ada dalam Alquran adalah demi kemaslahatan manusia. Ini salah satu kemukjizatan Alquran. Mudah-mudahan ini dapat menjadi pengantar pembicaraan, selanjutnya untuk dapat kiranya lebih didalami dan dipahami

Referensi;
Drs. Abu Anwar, M. Ag Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar. Awzah 2009
Muchotob Hamzah Studi AL-Qur’an Kompprehensif Gama Media Yogyakarta 2003 kerjasama dengan LP3M UNSIQ Wonosobo




[1] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumul Qur’an, Beirut, Darul Fikr, T. th, hlm. 20
[2] Manna’I AL-Qathan, Mabahis fii Ulumul Qur’an, Riyath, Mansyurat AL-Asr AL-Hadist, T, th, hlm.232: Lihat juga, Burhan fii Ulumul Quran, juz. 2. Hlm. 34

[3] Imam Badaruddin Muhammad bin Abdullah AL-Zarkasih, AL-Burhan fii Ulumul Qur’an, juz 2, Beirut, Dar AL-Fikr, 1988. Hlm 34 : Lihat juga Subhi Sholih, Mabahits fi Ulumul Qur’an pada bab Nasak dan Mansukh.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]Manna Al-Qur’an, loc. cit. hlm. 232.
[7] M. Abdul ‘Azim Al-Zurqoni, Manahilul ‘irfan, Juz, 2. Dar Al-Fikr. tt., hlm. 176.
[8]Quraish Shihab, Membumikan Alquran. Bandung,Mizan. Hlm 144.lihat juga Alie Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, hlm.33
[9]Quraish Shihab, Ibid., hlm.144.
[10]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Mesir:Al-Babiy Al-Halabiy,Jilid 1,tt.hlm.187:Lihat juga Quraish Shihab, Membumikan Alquran, hlm.145.
[11] Ibid
[12]Mana Khalil al-Qathan, Op.cit, hlm. 241.
[13]Pendapat tersebut dikutip oleh Quraish Shihab dalam “Membumikan Alquran”, HLM. 147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar