EVOLUSI FIQH KONTEMPORER
Oleh: Slamet Mujiono, M.Hum
Bahan Kuliah Masaill Fiqh.
A. Fiqh Klasik merupakan dasar pembentukan
Pembentukan fiqh kontemporer dari sisi tasry’ Islami (Sejarah Hukum) merupakan mata rantai perkembangan dari sejarah Fiqh klasik. Fiqh kontemporer pada intinya merupakan respon fiqh terhadap masalah-masalah baru yang tidak memiliki legitimasi fiqh klasik. Walaupun fiqh klasik tidak memiliki legitimasi terhadap persoalan fiqh baru bukan berarti fiqh klasik tidak mampu menjawab persoalan baru, justru salah satu prinsip pembentukan fiqh kontemporer harus berpijak kepada fiqh klasik, dan metodologi pembentukan fiqh klasik sebagai pijakan dasar pembentukan fiqh kontemporer (dasar ini sering terlupakan oleh pakar fiqh ketika menyelesaikan persoalan baru)
Dari alinea di atas untuk dapat memahami fiqh kontemporer terlebih dahulu harus memahami fiqh klasik, (apabila perlu ada mata kuliah fiqh klasik sebagai dasar fiqh) tanpa kita mengetahui fiqh klasik maka pemahaman kita terhadap fiqh kontemporer tidak konprehensif (lengkap), bahkan perlu di sangsikan teori pembentukan (metodologi) pemecahan masalah baru-nya. (kenapa demikian?)
Wacana kajian hukum Islam, “FIQH” diartikan berbeda dengan “SYARI’AH”, fiqh merupakan aplikasi secara rinci keinginan syari’ah. Arti secara klasik “SYARI’AH” merupakan “jalan”, Prof Syamsul Anwar memahami Syari’ah sebagai “Titah Ilahi”, arti jalan dan titah Ilahi pada intinya sama yaitu “syari’ah” merupakan sekumpulan norma dasar yang wajib diikuti oleh umat manusia (lebih khusus mengaku dirinya Islam). Norma dasar ini berisikan aturan-aturan secara global (A’am) terhadap tatakelola, prilaku, manusia. Di karenakan bentuk syari’ah masih berisikan nilai-nilai umum berupa teks-teks kitab suci Al-Qur’an maka syari’ah kemudian diterjemahkan oleh hadist-hadist nabi baik berupa qouli (perkataan), amali, dan takrir nabi, apa yang dilakukan oleh nabi kemudian dikenal dengan “SUNNAH”, salah satu contoh:
Perintah Kewajiban Sholat tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an bagaimana prilaku sholat, hal-hal apa yang dapat membatalkan, apa syarat dan rukun sholat. Begitu pula dengan perinta Puasa dalam Al-Qur’an kita tidak menemukan aturan puasa secara rinci. Kemudian Nabi Muhammad SAW yang memiliki legitimasi penuh menterjemahkan keinginan syari’ah dalam bentuk aturan-aturan hukum yang aplikatif. Sehingga apa yang ditetapkan oleh nabi dalam bentuk Hadist merupakan norma dasar aplikasi syari’ah secara nyata. Perintah “sholat” dalam Al-Qur’an diaplikasikan oleh nabi dalam prilaku sholat yang rinci mulai dari syarat sah sholat, kewajiban thoharoh, pakaian yang boleh digunakan dalam sholat, rukun sholat yang wajib ada dalam sholat, dan hal-hal yang dapat membatalkan sholat. Nabi Muhammad juga meaplikasin syari’ah yang lainnya seperti zakat, puasa, haji, nikah, merawat jenazah, pembagian waris, wakaf, bahkan hingga hukum pidana, keluarga dan hukum ekonomi (mu’amalat dalam arti sempit). Konsep Al-Qur’an dan hadis inilah yang kemudian dikenal dengan dasar Syari’ah Islami.
Memahami syari’ah yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadist tidak semudah dan dapat langsung diaplikasikan dalam bentuk aplikasi hukum, dilihat dari teks-teks ayat-ayat Al-Qur’an sebagai norma syari’ah untuk dapat diaplikasikan dalam bentuk prilaku hukum membutuhkan kemampuan yang konprehensif tidak hanya menyandarkan kepada arti kosa kata (lafazh) teks-teks Al-Qur’an dan hadist. Ketika syari’ah dalam bentuk Al-Qur’an di aplikasikan dalam bentuk prilaku hukum (amaliyah) oleh nabi nuansa sosiologis, antropolgis pelaksanaan hukum amaliyah seringkali terjadi perbedaan ketetapan hukum yang dilakukan nabi, sehingga aplikasi hukum syari’ah dalam bentuk prilaku hukum terkadang memiliki satu ketentuan hukum, dan terkadang memiliki lebih dari satu ketentuan hukum. Contonya tentang syarat nikah Nabi dalam salah satu hadist pernah menetapkan sahnya nikah hanya dengan wali saja, satu kesempatan lain menetapkan hanya dengan kehadiran saksi nikah saja. Pada lapangan sholat kita dapat menemukan prilaku sholat yang berbeda-bedah dalam hadist nabi, contohnya tentang mengangkat tangan ketika takbir, doa iftitah, bacaan basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah dan sala satu surat pendek, berbeda juga pada bacaan rukuk, sujud, duduk i’tidal, hingga bacaan salam. Perbedaan terjadi pula pada lapangan hukum lainnya misalnya zakat, haji, mu’amalat. Dimensi pebedaan prilaku hukum syari’ah oleh nabi menunjukan bahwa syari’ah dalam bentuk fiqh memiliki kelenturan (elastis), terhadap perubahan-perubahan sosiologis atau phsichologis manusia, sesuai dengan prinsip syari’ah di bentuk bukan untuk memberatkan tetapi terciptanya tatanan prilaku yang baik dan bermatabat (lihat Maqosid asy-Syari’ah). Susahnya norma syari’ah di aplikasikan dalam bentuk hukum yang nyata di sebabkan pulah menterjemahkan teks-teks Al-Qur’an da Hadist yang terkadang memiliki arti Lafazh yang tidak mtlaq, atau terdapat lafzh-lafazh yang memiliki arti A’am (umum), Mustarok, Kully, Mutasabih sehingga membutuhkan alat bantu berupa kaeda bahasa. Terkadang kita membutuhkan asabubul Nujul Ayat Al-Qur’an atau Asbabul Wurud hadist untuk memahami tektual syari’ah dalam bentuk kontekstualnya ketika syari’at itu terbentuk. Disisi lain kita mendapatkan pula teks-teks Al-qur’an atau hadist yang secara fisik (matan/ ayat) seolah-olah betentangan misalnya ayat tentang larangan minum Khamer dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Quran juga terdapat minuman khamer tidak di larang, atau hadis nabih tentang doa qunut dalam sholat shubuh kita dapat menemukan hadist yang menggunakan doa qunut dan ada hadist lain yang tidak menggunakan doa qunut. Dalam menyelesaikan norma syari’ah yang demikian perlu adanya kompromi dan biasanya ulama menggunakan kaedah nasikh-mansukh, talfiq , tarjih dan metode lainya untuk menetapkan satu norma (dalil) hadist atau Al-qur’an sebagai landasan hukumnya.
Hadist sebagai sala satu sumber penetapan aplikasi Syari’ah di lihat dari sisi matan dan sanad kemudian ulama berbedah dalam penerapannya sebagai dalil. Ulama-ulama klasik sebagai peletak fiqh seperti imam Syafi’iy, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hambali pada abad ke 2 hijriyah mempercayakan teori sanad hadist sebagai ukuran hadist yang dapat di terima teori ini sangat jelas dalam kitab-kitab fiqh klasik yang ditulis langsung oleh para imam seringkali muncul komentar hadist di hubungkan dengan sanad hadist misalanya “Mursal”, “matsyur” dan lainnya. Setelah abad ke 4 hijriyah terbentuknya nilai hadist dengan ukuran Rowy yang di motori oleh Imam Hadist “Imam Muslim” dan Imam “Bukhori” mulai istilah hadist “Shohe”, “Hasan”, “Dhoif” di pergunakan dalam wacana penetapan norma syari’ah.
Dari uraian aplikasi syari’ah dalam bentuk prilaku yang amaliyah ternyata tidak sederhana kita hanya membaca teks-teks syari’ah kemudian di tafsirkan dan diterjemahkan dalam bentuk amaliyah, masih banyak kaedah syari’ah yang harus di perhatikan dalam proses pembentukannya (Fiqh), dan ini membutuhkan kemampuan ilmu pengetahuan yang memadai untuk dapat menetapkan atau mengaplikasikan nilai syari’ah dalam bentuk hukum amaliyah. Kaedah-kaedah pembentukan fiqh yang berisikan aturan-aturan atau norma-norma metodologis pembentukan syariah menjadi wilayah aplikasi (fiqh) inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Ushul Fiqh, untuk mempermudah ushul fiqh kemudian ulama ushul menyederhanakan berupa metodologis yang langsung aplikatif dalam bentuk kaeda Fiqhiyah dan Kaeda Ushuliyah.
Ushul fiqh sebagai alat induksi dan deduksi hukum kemudian dijadikan alat metodologis ulama untuk menterjemahkan norma-norma syari’ah dalam bentuk aturan yang lebih rinci, memiliki tuntutan yang konfrehensif berisikan tatacara pelaksanaannya, syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkan atau mengesahkan perbuatan hukumnya. Kegiatan berfikir dengan mencurahkan fikiran untuk mengeluarkan hukum dari norma (dalil) syari’ah di kenal dengan istilah istinbath hukum atau Ijtihad dengan mengaplikasin Ushul Fiqh sebgai metode istimbat. Ulama yang melakukan ijtihad dikenal dengan Mujtahid hasil ijtihad kemudian dikenal dengan Istilah “Fiqh”, kemudian fiqh dikodifikasi dalam bentuk kitab-kitab fiqh. Tradisi pembentukan fiqh dengan metode ushul fiqh menjadi dasar pembentukan fiqh hingga saat ini.
Dalam wacana hukum fiqh selama ini hasil kodifikasi fiqh yang dilakukan oleh ulama fiqh antara lain pada wilayah.
1. Fiqh Ibadah (sholat, zakat, puasa, haji)
2. Fiqh Munakahat (Nikah, Talaq, )
3. Fiqh Mawaris (Fiqh mengatur harta peninggalan)
4. Fiqh Zinayah (fiqh ketentuan Pidana)
5. Fiqh Mu’amalat (Akad Jual Beli)
6. Fiqh Janaiz (fiqh merawat Jenazah)
7. Fiqh Shultoniyah (tata pemerintahan terbatas)
8. Fiqh Syiasya (Politik penerapan hukum)
B. Terjadi kekosongan hukum (legitimasi Hukum Islam)
Perkembangan peradaban Manusia, di ikuti dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan, teknologi, informatika memunculkan banyak permaslahan hukum baru yang tidak terdapat dalam yurisprudensi fiqh klasik, contohnya saja masalah Zat tambahan pangan, penggunaan alkohol (khamar) dalam obat, penggunaan najis (darah) sebagai pewarna makanan, Bayi Tabung, keluarga berencana, Bunga Bank, Obligasi, Multi Level Marketing, Face book, Infotaiment, menyemir rambut, trafiking, liberalisme, multikultur, dan lainnya.
Dari sisi wilaya masalah fiqh apa yang disebutkan di atas merupakan wilayah yang benar-benar baru dan belum pernah di ijtihadi oleh ulama terdahulu. Kondisi ini dalam lapangan hukum dikenal dengan istilah kekosongan hukum sehingga perlu adanya upaya pencarian hukum (Restvinding), pencarian hukum baru ini dalam wacana fiqh baru merupakan upaya Tahkim (penetapan hukum). Ada kesan bahwa fiqh klasik tidak pernah andil dalam penetapan hukum baru karena adanya perbedaan wilayah hukum yang sangat berbeda, anggapan ini salah dan keliru. Fiqh klasik sebagai evolusi pertama fiqh dan disiplin ilmu pengetahuan hukum Islam tetap sebagai pijakan fiqh baru. Produk hukum dalam wilayah fiqh baru tetap mengambil dasar-dasar fiqh klasik sebagai norma legitimasi hukum yang sifatnya baru contohnya saja hukum tentang bunga bank di hukumi riba, kerteria ribah sebagai pijakan di ambil dari terminilogi fiqh klasik yang di ciptakan oleh ulama fiqh klasik, contoh lain akad jual beli di bank syariah, obligasi syari’ah, saham syari’ah dasar akadnya berupa akad syirkah, murabahah, mudharabah, merupakan teori mu’amalat yang dibentuk dalam fiqh klasik. Untuk persoalan-persoalan yang tidak terdapat dapat dijadikan fiqh klasik sebagai pijakan maka penetapan fiqh baru biasanya ditetapkan dengan jalan ijtihad dengan metodologi ushul fiqh ulama klasik.
C. Dimensi Elastis Fiqh
Sala satu karakter fiqh adalah muatan hukum yang memiliki dimensi elastis, artinya fiqh sebagai produk hukum tidak berhenti ketika terkodifikasi dalam bentuk kitab fiqh, fiqh akan melakukan koreksi produk hukum sehingga elastis terhadap persoalan baru. Nilai elastis fiqh terletak pada 4 titik utama yaitu dapat di gambarkan dibawah ini;
1. Dimensi permasalahan fiqh baru
Karakter wilayah fiqh “demensi permasalahan fiqh baru” merupakan respon fiqh terhadap persoalan-persoalan baru yang belum memiliki ketentuannya dalam fiqh klasik, contonya obligasi, bayi tabung, cloning, Keluarga berencana dan lainnya.
2. Fiqh tetap tidak berubah
Fiqh tetap tidak berubah merupakan prodak fiqh klasik yang pada saat ini tidak mengalami perubahan, contonya sholat, zakat puasa, haji
3. Fiqh tetap dengan dimensi baru
Fiqh pada karakter ini merupakan fiqh klasik yang ketentuannya tidak berubah, tetapi adanya demensi waktu, sosiologi, fhisiologi mengalami perubahan pada bagian aturan pelaksanaan fiqh contoh sholat di daerah yang tidak terdapat sinar matahari, maka pelaksanaan sholat tidak di tetapkan kepada bayangan matahi tetapi pada metode waktu yang berbeda misalnya dengan mengqiaskan waktu dengan negara tertentu. Contoh lain pelaksanaann nikah ketentuan syarat, dan rukun nikah tetap di berlakukan hal-hal yang tertuang dalam fiqh klasik, terjadi perubahan rukun pelaksanaan akad apabila nikah di laksanakan dengan tenologi telepon konfrensi, atau menggunakan media internet.
4. Fiqh tetap dimensi tidak terpakai
Lapangan fiqh terkadang dengan perbedaan waktu, tempat, sosiologis berbeda pelaksanaan fiqhnya, tetapi ada fiqh yang wilayah hukumnya tidak lagi dapat di aplikasikan hal ini di sebabkan karena perubahan obyek fiqh yang tidak membutuhkan aturan fiqh tersebut, contonya fiqh yang mengatur perbudakan, Fiqh Jihad, Fiqh Rampasan Perang obyek fiqh tersebut sudah memiliki perubahan bahwa saat ini perbudakan tidak ada lagi, jihad di butuhkan saat awal menegakan tauhid, rampasan perang di butuhkan keteika kondisi dalam keadaan perang.
Pola di atas yang memuat wilaya fiqh yang memiliki demensi tetap, demensi baru, demensi tetap tapi berubah, dan demensi tetap tidak terpakai inilah di kenal dengan istilah fiqh kontemporer. Dari uraian di atas maka dapat di simpulkan fiqh kontemporer adalah fiqh yang memiliki wilayah fiqh baru.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar