AKSIOLOIGI
1. Pendahuluan
Filsafat adalah ilmu yang
menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia,
dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Bagian dari filsafat pengetahuan
membicarakan tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi. Dalam kajian
aksiologi ilmu membicarakan untuk apa dan untuk siapa. Tulisan ini membicarajan
Ilmu dan Moral, Pengertian Aksiologi, Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan, seera Ilmu
dan Agama.
2. Aksiologi
2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi
berasal dari perkataan axios yang berarti nilai dan logos berarti teori. Jadi
aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Suriasumantri (1987: 234)
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia (1955: 19) aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi
tiga bagian, yaitu :
1. Moral
Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu
etika
2. Estetic
Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan
3.
Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di
atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama mengenai nilai. Nilai yang
dimaksud adalan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia,
maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma
kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah
laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang
normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
2.2 Ilmu dan Moral
Ilmu merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia. Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia
bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri bahwa peradapan manusia sangat berhutang kepada ilmu.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya.
Teknologi tidak hanya menjadi berkah
dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan untuk kerja manusia, namun
kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan
malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada
nilai-nilai, kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jaun lagi memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan
mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul kembali namun
dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap kotemplasi masalah moral
berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi
aksiologi keilmuan.
2.3 Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
Ilmu menghasilkan teknologi yang
akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi
berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi
manusia. Disinilah pemanfataan pengetahuan dan teknologi diperhatikan
sebaik-baiknya.
Dihadapkan dengan masalah moral dan
ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam
dua golongan pendapat, yaitu :
1. Golongan
yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu
secara ontologis maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan
digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini
ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era
Galileo.
2. Golongan
yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika
keilmuwan, sedangkan dalam penggunannya harus berlandaskan nilai-nilai moral.
Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
* Ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara deskrutif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya dus perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuwan.
* Ilmu telah
berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui
tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan
* Ilmu telah
berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah
manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika
dan teknik pembuatan sosial.
Proses ilmu pengetahuan menjadi
teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuwan serta
masalah bebas nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuwan
secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwannya
sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat.
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial
untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung
jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung
dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat
dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya
seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap
masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi
masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa
yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya
adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan
tidak menolak dan menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang
cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir
orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat.
Inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti
berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka
keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga
apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Dibidang etika tanggung jawab sosial
seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus
tampil di depan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima
kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap
benar dan berani mengakui kesalahan. Tuga seorang ilmuwan harus menjelaskan
hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis
yang tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak
akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang mempergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah
mencatat para ilmuwan bangkti dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang
menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan,
kekuasaan yang dapat dipakau untuk kemasalahan manusia atau sebaliknya dapat
pula disalah gunakan. Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah ”dipupuk” dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab
moral.
2.4 Ilmu dan Agama
Ilmu pengetahuan harus terbuka pada
konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya. Agama mengarahkan ilmu
pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami
eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya,
dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ”melulu” pada praxis, pada
kemudahan-kemudahan material duniawi.
Solusi yang diberikan Al-qur’an
terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara
mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur yang semestinya, sehingga ia menjadi
berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu
tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tetapi harus bergerak pada
arah maknawi dan umat berkuasa mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu
pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan
untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaalah yang menggenggam ilmu
pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang
Pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada
beberapa perbedaan pendapat filosof dengan para ulama. Sebagaian berpendapat
bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya.
Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa
tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan manusia dalam kehidupan
yang sangat terbatas di muka bumi ini. Pendapat yang lain cenderung menjadikan
ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi
umat manusia secara keseluruhan.
3. Penutup
Ilmu menghasilkan teknologi yang
akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi
berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperharikan
sebaik-baiknya. Dalam filsafati penerapan teknologi meninjaunya dari segi
aksiologi keilmuwan.
Aksiologi adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
Agama mengarahkan ilmu pengetahuan
pada tujuan hakikinya. Al-qur’an mengembalikan ilmu pengetahuan yang terikat
dengan nilai dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya,
sehingga ia menjadi berkag dan rahmat bukan sebaliknya membawa mudharat.
DAFTAR PUSTAKA
Baktiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Salam, Burhanudin. 1997. Logika Materiil Filsafat
Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka
Cipta
Susriasumantri, Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
TIM. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI
DAN AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan
tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama di sebut landasan
ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana
ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang
membuakan pengetahuan?. Kedua di sebut dengan landasan epistimologis;
berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut
dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan
yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional?[1]
Jadi untuk membedakan jenis
pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan
jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat
membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan
manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada
seperti ilmu, seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya
masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri
tiap pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan
kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannya. Ilmu
di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada
anarki yang lebih menyedihkan dari itu?
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Objek telaah
ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat
pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya.
1.
Objek Formal
Objek formal
ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas
akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau
hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak.
Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural
ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.
Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus
memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan
sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik
mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi
yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan
metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a
priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat;
dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :
Sesuatu yang
bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri
(S-Tt)
Jadi, badan itu fana’
(S-P)
Sedangkan
pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata
silogistik sebagai berikut:
Contoh :
Gigi geligi
itu gigi geligi rahang dinasaurus
(Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan
tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan
(S-P)
Bandingkan
tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
Sementara Jujun S. Suriasumantri
dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang asumsi dan peluang.
Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point
tersebut.
B. Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan
sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui
batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang
pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki
pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan
“bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan”?[3]
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang
mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke,
bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan
akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh
sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan
ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama
dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat
penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai
kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau
tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau
setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan
terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman,
melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi
pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika
kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel
Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana
terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh
akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan
jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang
sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme
benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun
benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar,
karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau
sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan
yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil
pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur
yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya
suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan
demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant
masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada
pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman
inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme
tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa
bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui
intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian
saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang
diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa
yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu
tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
e.
Dan masih masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.
C. Aksiologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan
yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu
bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan
lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe
yang menciptakan Faust.” Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl
gustav jung,” melainkan faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini,
ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu
harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak
merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan
seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah
mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang
dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya
ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang
berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan
sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana
adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan
kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran
diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut,
dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan
semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa
yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum
racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan
tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral
maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.
Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti
sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan
kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri
ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam
gelap; keberanian yang esensial dalam avontur intelektual?).
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi
kajian dalam bidang ontologi ini adalah berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[4]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di
tarik kesimpulan :
1.
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana
ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang
membuakan pengetahuan?.
2.
Epistemologi berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di
perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
3.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral?[5]
DAFTAR
PUSTAKA
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff, Pengantar
filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba, Sistematika
filsafat II, Yogjakarta, 1995.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada
tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang
hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek
apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud
hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana
caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan
mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi
membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan
diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu
sendiri apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai
nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan-pertanyaan model begini:
untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode
pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar