Kamis, 26 April 2012

Masailul Fiqh METODE FATWA MUHAMMADIYAH






PROSEDUR FATWA PADA MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

Oleh Slamet Mujiono, M.Hum
Dosen STAINU Kebumen
bahan kuliah/ hasil penelitian fatwa


Muhammadiyah organisasi ke-Islaman berdiri sejak 1912, mengeluarkan fatwa tahun 1927 . Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid. Identitas ini lebih di tonjolkan lagi setelah Muktamar ke 40 di Yogyakarta tahun1990, salah satu keputusan Muktamar berhubungan dengan tajdid yaitu membentuk suatu bidang yang menangani khusus tajdid yang sebelumnya tidak ada. Tajdid sejak awal berdirinya Muhammadiyah sudah ada, tetapi bentuknya belum memiliki format yang defenitif dan aplikatif, Muktamar Muhammadiyah XXII di Malang tahun 1986 mulai diperbincangkan masalah Tajdid, agaknya rumusan yang depenitif harus dirumuskan Muhammadiyah mengingat banyaknya pertanyaan dan kritikan terhadap konsep Tajdid yang diusung oleh Muhammadiyah. Rumusan secara defenitif Tajdid berdasarkan keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XII tahun 1990 adalah:
Dari segi bahasa, Tajdid bearti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki 2 arti:
“Permurnian” dan “peningkatan”, pengembangan. modernisasi, dan yang semakna dengannya. Dalam arti “Pemurnian” Tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah.
Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semana dengannya”, Tajdid dimaksud sebagai penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan Tajdid dalam dua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal fikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai ajaran Islam.
Menurut ajaran Islam Tajdid merupakan watak dari ajaran Islam

Rumusan tajdid di ataas merupakan ruh Muhammadiyah terhadap penyelesaian peristiwa, kasus, hukum, fenomena, dan permasalahan-permaslahan yang berkembang dalam konteks keagamaan atau non keagamaan. Rumusan tajdid ini sekaligus landasan majelis tarjih untuk menetapkan fatwa Muhammadiyah sebagai sebuah lembaga bagian dari keorganisasian Muhammadiyah yang memproduk fatwa-fatwa Muhammadiyah sebagai respon masalah keagamaan dan kemasrakatan.
Majelis tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke XVI pada tahun 1927 atas usul K.H. Mas Mansyur. Fungsi dan tujuan dibentuknya majelis tarjih adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum yang merupakan masalah-masalah tertentu yang berkembang di masyarakat dan disandarkan kepada persyarikatan untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan model dan metodologi yang dapat meyakinkan dan dipertanggung jawabakan. Masalah-masalah tersebut tidak semata-mata hanya ditempuh kepada masalah keagamaan amsi, tetapi lebih luas pada lapangan sosial dan ilmu pengetahuan. Dengan dasar penyelesaian Al-qur’an dan hadist yang dalam keputusan hukumnya didasarkan kepada ilmu Ushul Fiqh. Majelis ini berusaha mengembalikan suatu persoalan dikembalikan kepada sumbernya Al-Qur’an dan hadist, baik masalah tersebut sudah ada hukumnya dan berjalan di masyarakat akan tetapi masih diperdebatkan pada kalangan masyarakat tertentu atau masyarakat luas ataupun masalah-masalah baru yang sejak semula belum memiliki ketentuan hukumnya.
Tarjih berasal dari kata “ rajjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah Muhammadiyah menyandarkan kepada Ilmu Ushul fiqh yaitu Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “. Tarjih dalam konteks persyarikatan Muhammadiyah, sebagaimana lebih dikenal dengan istilah “Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah“ yaitu semangat untuk mencari pendapat dan membandingkannya dengan pendapat lain yang lebih kuat. Lajna Tarjih dan Majelis Tarjih adalah dua istilah yang selalu dihubungkan kepada lembaga ketarjihan dalam persyarikatan Muhammadiyah, terutama sejak diterbitkan surat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 5/PP/1971 tentang qaedah lajnah Tarjih Muhammadiyah.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi perkembangan berikutnya sebagai persyarikatan yang terus berkembang tentunya secara langsung dan tidak langsung mengalami banyak permasalahan hukum yang sifatnya baru dan tidak terdapat qaulnya, dan persyarikatan juga mengalami banyaknya qaul yang sumber dan dasarnya sulit dipertanggung jawabkan dari sisi Ushul Fiqh, maka gerakan yang kemudian dilakukan adalah oleh pesyarikatan adalah memurnikan qaul dengan memantapkan kembali kepada sumber al-Qur’an dan as-Sunah sebagai jalan utama penetapan hukum, unuk menghindari qaul yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sekaligus menjawab masalah hukum baru. Ijtihad merupakan lapangan yang akan dan terus dikembangkan oleh majelis tarjih. Atas logika ini idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, ketika awal berdirinya Muhammadiyah, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Persyarikatan Muhammadiyah dalam sejarahnya merupakan persyarikatan yang mendapat respon positif dan besar baik dari kalangan masyarakat, tetapi datang pula dari kalangan negarawan, seting sejarah dan kultur ketika kelahirannya bukan sesuatu yang mudah membentuk dan membesarkan persyarikatan karena benturan tradisi kolonial dan kultur Jawa saat itu dengan mudah menghambat bahkan menghanguskan lembaga baru, terlebih lembaga yang berafiliasi dengan sosial ke agamaan. Seiring dengan berkembangnya persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui keputusan kongres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrahman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar, MA ( 2000-2005 )
9. Prof .Dr.H. Syamsul Anwar MA (2005-2010)
Majlis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya, sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majlis Tarjih ini merupakan “Think Thank “ nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Untuk Menghdapi pesoalan-persoalan kontemporer, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bagian perubahan masyarakat, diperlukan istinbath hukum baru atau di kenalnya dengan upaya Ijtihad. Tajdid merupakan upaya istinbath hukum baru. Guna membuktikan jatidirinya sebagai gerakan tajdid, maka majelis tarjih sebagai jantung Muhammadiyah selama ini telah berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul sesuai dengan semangat tajdid Muhammadiyah dengan pembaharuan di lembaga tarjih dan mengaplikasikan tajdid dalam istinbath hukum.
Musyawarah Nasional ke 27 Tarjih Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 1 – 4 April 2010 bertepatan dengan tanggal 16-19 Rabiul Awal 1431 H merupakan jawaban dari respon Muhammadiyah terhadap permasalahan-permaslahan baru (kontemporer) yang tidak hanya dihadapi oleh persyarikatan tetapi oleh bangsa ini. Ilustrasi pada pembukaan buku Musyawarah Tarjih 27 di Malang digambarkan perubahan-perubahan yang sangat cepat telah membentuk gaya hidup mengingat secara geografis Indonesia merupakan titik pertemuan simpangan banyak Negara seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Timur Leste, Autralia, Brunei dan Papua Barat. Apa yang terjadi di belahan bumi lain akan cepat terimbas dalam gaya hidup di Indonesia. Sebagai Organisasi pembaharu yang mengimbau misi amar ma’ruf nahi mungkar memiliki tanggungjawab merespon dengan mentarjihkan produk-produk fatwa, pemikiran-pemikiran berdasarkan pada al-Qur’an dan as-Sunah ash-Shahihah. Respon pembaharuan hukum tercermin pada Musyawarah Nasional majelist tarjih ke 27 tahun 2010 di Malang dengan mengagendakan dan mengempokan dalam komisi pembahasan musyawarah yang terfokus pada 7 bidang yaitu:
1. Fiqh tata kelola
2. Fiqh al-maun
3. Fiqh perempuan.
4. Fiqh seni budaya
5. Pedoman hisab Muhammadiyah
6. Beberapa permasalahan dalam Ibadah dan Mu’amalat:
a. Penyempurnaan himpunan dan mu’amalah bacaan basmalah dan salam shalat.
b. Sistem Ekonomi Syari’ah (membangkitkan sistem ekonomi syari’ah)
c. Praktek mafia hukum.
7. Tajdid Pemikiran Islam Nuhammadiyah pada abad ke dua
Tugas utama majelis Tarjih adalah menetapkan hukum sekaligus menjawab persoalan-persoalan yang dipertentangkan umat, dan Majelis tarjih pada saat ini sesuai dengan manhaj Muhammadiyah juga menetapkan hukum terhadap persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan modern. Dalam menetapkan hukum Tarjih mempergunakan Ijtihad dan Ittiba’, dan pada saat ini ulama yang memiliki kemampuan menyeluruh terlebih memilki kemampuan pemahaman yang memadai masalah kontemporer Muhammadiyah kemudian mengambil pola Ijtihad Jama’iy. Dengan musyawarah para ahli untuk mencari dalil-dalil yang lebih kuat. Usaha demikian merupakan aktivitas mentarjihkan sumber hukum yang dijadikan dasar pendapat-pendapat dengan mengikuti dalil yang berasal dari al-qur’an dan sunnah.
Muhammadiyah memandang bahwa dasar hukum tertinggi ialah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai penjelas dari sumber hukum tersebut. Sesuai dengan semangat Tajdid (pembaharuan), terhadap Islam, masyarakat dan syari’at pendayagunaan akal untuk memahami wahyu. Dasar-dasar idologi Muhammadiyah terletak kepada tujuan tarjih yaitu ; (a). Tujuan penetapan hukum adalah Maqashid Syari’ah yakni hukum yang memiliki tujuan, obyek yang harus indikasi dan di implementasikan. (b). Tujuan adalah Mashalahah atau kepentingan umum dalam arti yang luas. Oleh karena itu penggunaan akal sebagai dalil aqliyah dibatasi oleh (a). Sumber al-Qur’an dan Sunnah (b). Teknis analisis yang telah dipergunakan dalam referensi fiqh.
Dengan mengemukakan sumber dalil hukum sebagai dasar penetapan maka akan terhindar dari taqlid. Sedangkan mengikuti pendapat dengan mengetahui dasar hukumnya pendapat demikian disebut dengan Ittiba’ dalam putusan fatwa Majelis Tarjih selalu menyertakan dalil dan alasan hukumnya, dan mengikutinya tidak dapat dikelompokan kepada Taqlid tetapi Ittiba’.
Dalam lapangan ijtihad Muhammadiyah berpendapat, ijtihad dalam arti menyelesaikan dan menkaji ulang hanya berlaku pada bidang fiqh saja, masalah Aqidah merupakan masalah yang sudah final yang harus dihindari apalagi secara rasional. Salah satu yang ditawarkan Muhammadiyah terkait dengan masalah-masalah kontemporer dan merupakan akibat dari kemajuan Ilmu Pengetahuan yaitu menawarkan ijtihad untuk memahami Al-Qur’an dan sunnah dengan pendekatan inter disipliner. Dari sini dapat difahami ijtihad Muhammadiyah dapat diartikan sebagai upaya menyelesaikan masalah secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadist atau sebagai reinterprestasi dan kontektualisasi ajaran Al-Qur’an dan Hadits.
Penyempurnaan Manhaj dan pemikiran ke Islaman dalam Muhammadiyah di putuskan pada Musyawarah Nasional ke 27 Tarjih Muhammadiyah tanggal 1 – 4 April tahun 2010 di Malang Jawa Timur. Keputusan ini merupakan respon terhadap kebutuhan hukum dan pemikiran ke Islaman terutama masalah-masalah kontemporer yang didalamnya memuat prosedur-prosedur penyelesaian masalah diantaranya asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi dan operasionalisasinya. Manhaj bersifat menyeluruh tidak hanya menyentuh kepada permasalahan hukum tetapi fleksibel, fungsional, toleran, terbuka, dan responsif terhadap pekembangan keilmuan dan kemasyarakatan. Sebagai gerakan keagamaan yang memiliki watak sosio kultural selalu merespon dan konsisten terhadap perkembangan yang senantiasa merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah al-Maqbulah. Hal yang baru pada perubahan Manhaj adanya istilah hermeunetic, walaupun istilah hermeunetic merupakan adopsi dari tradisi kajian ke Islaman yang banyak dipakai dan berkembang di luar Indonesia, namun pola hermeunetic yang di kembangkan oleh Muhmmadiyah berbeda. Hermeneutic yang dikembangkan dalam warna Islamologi, yang berangkat dari teori gerent memberikan peluang subyektifitas kepada manusia lebih tinggi dengan memutus jalur vertikal untuk memahami maksud sang pencipta dalil, tetapi yang dikembangkan oleh Muhammadiyah tetap memposisikan garis vertikal sang pencipta dalil sehingga terbangun suasana dialogis antara normatif din ar-ruju’ yaitu al-Qur’an dan as-sunnah, historisitas berbagai penasiran atas ad-din, realitas kekinian dan prediksi masa depan.
Beberapa istilah teknis dalam manhaj tarjih dalam masalah hukum yang digunakan oleh majelis tarjih Muhammadiyah adalah sebagai berikut,
1. Ijtihad, mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
2. Maqashid asy-syari’ah, tujuannya ditetapkan hukum dalam Islam, adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, yakni memelihara agama, jiwa, aqal, keturunan dan harta. Tujuan tersebut dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung kepada pemahaman kepada sumber hukum.
3. Ittiba’. Mengikuti pemikiran Ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya. Ittiba’ merupakan sikap minimal harus dapat dilakukan oleh warga persyarikatan.
4. Taqlid. Mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya. Taqlid merupakan sikap yang tidak dibenarkan diikuti bagi warga persyarikatan baik ulamanya maupun warga secara luas.
5. Talfiq. Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar’i. Talfiq terjadi dalam konteks taqlid dan ittiba’, Muhammadiyah membenarkan talfiq sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.
6. Tarjih; secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat mashlahatnya, sedangkan secara kontitusional majelis tarjih adalah lembaga Ijtihad jama’i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi ushuliyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing.
7. As-sunnah al-Maqbulah, perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi S.A.W yang menurut hasil analisa sesuai memenuhi kriteria shahih dan hasan
8. Ta’abbudi, perbuatan-perbuatan ‘ubudiyyah yang harus dilakukan oleh mukhallaf sebagai wujud penghambaan, pengurangan. Perbuatan ta’abbudi tidak dibenarkan dianalisa secara rasional.
9. Sumber hukum. Sumber hukum bagi Muhammadiyah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah.
10. Qath’iyyul-wurud, Nash yang memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya karena proses penyampaiaanya meyakinkan dan tidak mungkin ada keterpusan atau kebohongan dari para penyampaiannya.
11. Qath’iyyul-dalalah. Nash yang memiliki makna karena dikemukakan dalam bentuk lafaz bermakna tunggal dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna lain.
12. Zhanniyyud-dalalah: Nash yang memiliki makna tidak pasti, karena dikemukakan dalam bentuk lafaz bermakna ganda, dan dapat ditafsir dengan makna lain.
13. Tajdid, pembaharuan yang memiliki dua makna yakni pemurnian (tajdid salafi) dan pengembangan (tajdid tathwiri).
14. Pemikiran. Hasil rumusan dengan cara mencurahkan segenap kemampuan berfikir terhadap sesuatu masalah berdasarkan wahyu dengan metode ilmiah, meliputi bidang teknologi, filsafat, tasawwuf, hukum, dan disiplin ilmu lainnya.

Dalam proses pembentukan Fatwa Ijtihad dipahami sebagai aktifitas mencurahkan segena kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum syar’i yang bersifat zhanni dengan menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemapuan, berkompeten baik secara metodologis maupun permasalahan. Ijtihad berfungsi sebagai metode merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Qur’an atau yang ruang lingkupnya masalah-masalah yang memiliki dalil Zhanniyyud. Dengan demikian bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum.
Muhammadiyah dalam Ijtihad sesuai dengan qoeda ushul fiqh menempuh tiga jalur, yaitu:
1. Al-Ijtihad Bayani, (semantik) dengan pola metode kebahasaan, yakni menjelaskan hukum yang permaslahannya telah diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Bayani dapat diartikan pola ijtihad Muhammadiyah untuk memahami nash yang Mujmal dalam hal-hal yang mengandung musytarak. Hal-hal yang sudah jelas ketentuannya dalam nash baik Al-Qur’an maupun Hadist maka secara praktis dapat ditetapkan berdasarkan nash yang sudah jelas.
2. Tahlili (rasionalistik) metode pendekatan dengan jalan rasionalitik atau penalaran, sebelumnya majelis tarjih menggunakan istilah Qiyasi yakni menyelesaikan kasus hukum yang sifatnya baru dengan cara menganalogi atau mengqiaskan dengan masalah yang telah diatur oleh Al-Qur’an dan Hadist. Akan tetapi metode qiyasi disadari memiliki ruang lingkup yang terbatas, dengan metode Tahlili jauh lebih luas dari metode qiyasi sekaligus mencakup metode qiyasi.
3. Al-Ijtihad al-Istislahl (filosofis), yakni menyelesaikan hukum baru yang tidak terdapat dalam dua sumber pokok Al-Qur’an dan Hadist. Dengan cara penalaran dengan memperhatikan nilai-nilai maslahat.
Dengan demikian ada 2 teknis ijtihad dalam penetapan Hukum yaitu. (a) Masalah-masalah yang memiliki dalil nash, batasannya adalah apabilah sudah jelas ketentuan hukumnya maka majelis tarjih akan menetapkan fatwa berdasarkan nash yang tidak jelas, dan masalah yang memiliki nash yang sifatnya zhannyud-dalalah atau musytarak ,maka perlu langkah ijtihad dengan pendekatan aqliyah. (b). Masalah-masalah yang secara implisit tidak terdapat dalam nash.
Teknik Ijtihad yang dilakukan oleh majelis tarjih menggunakan teknik dalam menetapkan hukum adalah
1. Al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah, yaitu pemahaman terhadap kedua sumber tersebut dilakukan secara komprehensif integralistik melalui pendekatan bayani, burhani dan irfani dalam suatu hubungan yang spiral.
2. Ijma.
3. Qiyas.
4. Maslahah Mursalah.
5. Urf
Dalam proses penetapan fatwa terkadang dalam ta’arudh al-adillah terdapat pertentangan dalil yang masing-masing menunjukan ketentuan hukum yang berbeda. Jika terjadi ta’arudh maka penyelelesain yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dengan urutan cara-cara sebagai berikut:
1. Al-Jam’u wa al-taufiq. Menerima semua dalil walaupun terjadi pertentangan, Majelis Tajih dalam menetapkan fatwanya bisa mempersilakan umatnya untuk memilih pendapat yang dianggapnya kuat.
2. Al-Tarjih, yaitu memilih pendapat dengan memilki dalil yang lebih kuat di bandingkan dengan pendapat lain yang dianggap lemah.
3. Al-Naskh, yakni yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir dengan menggunakan kaedah ulama secara otomatis mentasich hokum yang datang lebih awal.
4. Al-tawaqquf. Mencari dalil baru dengan cara menghentikan penelitian dalil yang bertentangan
Pendekatan yang digunakan dalam menetapkan hukum-hukum ijtihadiyah adalah;
1. At-tafsir al-Ijtima’I al-mu’ashir (hermeunetik).
2. At-Tarikhi (historis).
3. As-Susiuluji (sosiologis)
4. Al-antrubuluji (antrapologi)
Metode terhadap nash berupa hadist Majelis Tarjih memperhatikan atau mengambil hukum berdasarkan hadist yang memenuhi;
Dari sisi sanad hadist yang dapat diterima berdasarkan kualitas sanad Hadist, dan kuantitas perawi, apakah dalam sebuah hadist sebagai pegangan penetapan hukum memilki sanad yang mustatir, memiliki derajat hadis yang maqbul dan seberapa banyak perawi dalam thabaqah dan jalur sanad, kemudian bentuk dan sifat periwayatan hadis. Sighat penerimaan dan pemberian Hadist.
Dari segi matan Hadist, majelis tarjih akan memperhatikan matan yang memiliki sighot cegahan (al-nahi) akan lebih diutamakan matan yang memilki sighat perintah (al-amr). Sighat yang khusus (khash) akan diutamakan dengan matan yang memiliki sighat umum (‘am). Beberapa kaedah mengenai hadist antara lain:
1. Hadist Mauquf murni tidak dapat dijadikan hukum.
2. Hadist mauquf yang termasuk kategori marfu’ dapat dijadikan hujjah.
3. Hadist mauquf termasuk katagori marfu’ apabila menemukan qarina
(penjelasan atau pembanding) yang dapat difahami kemarfuannya kepada Rasulullah SAW.
1. Hadist Mursal tabi’i murni tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Hadist Mursal tabi’i dapat dijadikan hujjah apabila terdapat qorina yang mampu menjelaskan ketersambungannya.
3. Hadis Mursal Sahabi dapat dijadikan Hujjah apabila di emukan qorina yang menjelaskan ketersambungnnya.
4. Hadist-hadist dha’if satu dengan yang lainnya saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah. Kecuali banyak jalannya dan terdapat qorina menunjukan aotentiknya asalnya dan tidak bertentangan dengan al-qur’an dan hadist.
5. Jarak (celah) didahulukan atas ta’dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara.
6. Riwayat orang yang terkenal dapat diterima dengan syarat tadlis yang sering dilakukan tidak sampai kepada merusak keadilannya dan mampu menjelaskan periwayatannya.
7. Penafsiran shahabat lafad musytarak dengan sala satu maknanya dapat diterima.
8. Penafsiran shahabat terhadap lafad zhahir dengan makna lain dapat di terima.
Keputusan Musyawarah Tarjih Nasional di Malang tahun 2010 dalam manhaj Muhammadiyah ditetapkan pula Manhaj Pengembangan pemikiran Islam. Tarjih pengembangan pemikiran Islam merupakan pondasi bagi pengembangan pemikiran ke Islaman, fungsinya sebagai metodologis pemikiran Islam yang signifikan untuk menentukan cara kerja epistimologi pemikiran ke Islaman, baik pendekatan maupun metode yang digunakan termasuk pengembanhan hukum Islam. Tajih pemikiran Iaslam yang menjadi ruh pembahruan melalui pola at-tajdid wa al-ibtikar merupakan pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakan di atas bangunan refleksi normativitas dan historisitas dengan aplikasi pada kehidupam masyarakat, sosial dalam arti luas, sehingga Islam sebagai rahmatalil ‘alamin tercapai.
Kerangka metodologi pengembangan pemikiran Islam yang merupakan alat untuk memperoleh kebenaran. Untuk memperoleh kebenaran diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery). Sejalan dengan epistimologi yang dikembangkan oleh Muhammadiyah pemikiran ke Islaman Muhammadiyah melalui pendekatan, Bayani, Irfani, dan Burhani. Pendekatan ini di harapkan memuat objek kajian teks, ilham dan relaitas, yang termasuk pula aspek transhistoris, transkultural dan transreligius.
1. Pendekatan Bayani
Bayani adalah pendekatan teks yang telah lama dipergunakan oleh para fuqaha mutakallimun dan ushuliyin. Pendekatan bayani mempergunakan alat bantu (intrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab al-nuzul dan istinbath, cakupan bayani antara lain :
a. Memahami dan menganalisa teks untuk mendapatkan makna yang dikandungnya atau di kehendaki oleh teks. Atau untuk mengetahui makna zhahir dari lafaz, dan makna ibarah yang zhahir.
b. Istinbath, hukum-hukum dari an-nushush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya.
Maka yang dikandung dalam teks dapat ditelusuri melalui hubungan atau adanya relasi antara makna dan lafaz teks. Hubungan antara makna dan lafaz dalam teks dapat dilihat dengan cara;
a. Makna Wadh’i merupakan penyelusuran untuk apa makna itu yang digunakan atau di rumuskan diantaranya makna khash, ‘amm dan musytarak.
b. Makna isti’mali, meliputi makna haqiqah (sharihah dan mukniyah), majaz (sharih dan kinayah).
c. Darajat al-Wudhu’, memahami dari sisi sifat dan kualitas lafzh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zhahir, khafi, muskil, mujmal, dan mutasyabih.
d. Thuruq al-dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nash dan dalalah al-dalalah al-mafhum baik mafhum al-mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut Syafi’iyah).
Sering ditemukan dalam pendekatan bayani meliputi ashl- far’; lafadz dengan makna manthuq al-lughah dan musykilah al-dalalah dan nizham al-khithab dan nizham al’-aql termasuk khabar dalam wilayah qiyas masuk dalam kajian bayani. Dalam qiyas bayani di bedakan ;
a. Al-qiyas yang meliputi adanya indikasi padanan atau kepantasan antara ashl dan far’ meliputi qiyas al-jali, al-qiyas fi makna al-nash, dan la-qiyas khafi.
b. Qiyas berdasarkan illat diantaranya qiyas al-illat, qiyas al-dalalah dan qiyas al-jami ashl dan far.
Dalam pendekatan baya dikenal ada 4 pendekatan bayan antara lain.
a. Bayan al-I’tibar meliputi al-qiyas bayani baik al-fiqhy, al-nahwy dan al-kalami, bayan I’tibar termasuk pula khabar yang bersifat yaqin maupun tashdiq.
b. Bayan al-Itiqad, penejelasan yang berhubungan dengan makna diantaranya makna haqq, mutasyabih fih dan batil.
c. Bayan al-ibarah, terdiri dari al-bayan al-zhahir tidak membutuhkan tafsir, al-bayan al-bathin membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar.
d. Bayan al-kitab, media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari kitab-kitab khat, katif lafzh, katif aql, katin hukm, dan katib tadbir
2. Pendekatan Burhani
Burhan merupakan pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani memahami sesuatu melalui kekuatan rasio melalui instrumen logika yaitu induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses dan lain-lain. Dengan memahami realitas
3. Pendekatan irfa’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar